Sukmawati dan Penegakan Hukum

Kamis, 21 November 2019 - 08:00 WIB
Sukmawati dan Penegakan Hukum
Sukmawati dan Penegakan Hukum
A A A
ANGGOTA Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Aboe Bakar Al Habsyi melontarkan pertanyaan cukup menohok yang ditujukan kepada Kapolri Jenderal Idham Azis pada rapat dengar pendapat di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Aboe Bakar menyoroti kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh Sukmawati Soekarnoputri.

Kasus ini sudah dilaporkan oleh sejumlah orang atau kelompok masyarakat ke polisi. Putri Proklamator RI Soekarno tersebut dilaporkan atas pernyataannya yang membandingkan peran Nabi Muhammad SAW dengan Soekarno di Abad XX. Video saat Sukmawati menyampaikan pernyataan itu beredar luas melalui media sosial.

Aboe Bakar mempertanyakan kinerja kepolisian yang dinilai belum juga memproses kasus dimaksud. Dia lalu membandingkannya dengan kasus dugaan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo. Polisi lantas dianggapnya lebih sigap menangkap orang-orang yang diduga menghina Presiden ketimbang yang menghina Rasul. Dalam kasus Sukmawati polisi disebutnya diam.

Apa yang dilontarkan anggota Fraksi PKS kepada kapolri baru ini sebenarnya hal yang lumrah. Komisi III adalah mitra kerja Polri sehingga sudah kewajibannya untuk melakukan pengawasan atas kinerja lembaga kepolisian. Lagi pula, pertanyaan Aboe Bakar tersebut faktanya mewakili aspirasi publik. Saat ini publik sedang ingin melihat polisi bekerja cepat merespons laporan terhadap Sukmawati.

Kepolisian memang perlu segera menindaklanjuti laporan terkait Sukmawati dengan melakukan penyelidikan. Polisi perlu melakukan panggilan terhadap Sukmawati sebagai terlapor untuk dimintai keterangan. Begitu pun saksi-saksi yang diperlukan. Jika itu tidak dilakukan, akibatnya akan makin timbul kesan bahwa hukum berlaku secara tebang pilih. Akan menguat persepsi bahwa di negeri ini hukum akan tajam jika menyasar yang lemah, sedangkan akan tumpul jika targetnya adalah oknum yang dekat dengan kekuasaan. Kesan ini bisa makin menguat mengingat faktanya Sukmawati adalah salah satu tokoh penting.

Demi menghindari citra negatif seperti itu, jalan satu-satunya bagi polisi adalah melakukan penyelidikan. Proses hukum dalam kasus seperti ini harus dilakukan tanpa pandang bulu. Persoalan apakah nanti laporan tersebut cukup bukti sehingga kasus layak naik ke tingkat ke penyidikan dan dilakukan penetapan tersangka; atau justru sebaliknya, yakni tidak ditemukan perbuatan melanggar hukum sehingga kasus dihentikan, itu urusan lain. Begitu pun jika kasusnya masuk ke ranah pengadilan, apakah di persidangan dugaan penodaan agama terbukti atau tidak, biarkan hakim yang memutuskan. Intinya, ada mekanisme hukum yang berjalan demi menjamin terciptanya rasa keadilan di masyarakat.

Kasus seperti Sukmawati ini selalu sensitif karena menyangkut kepercayaan dan keyakinan pemeluk agama. Karena itu sangat memerlukan respons hati-hati. Kendati demikian kehati-hatian tidak lantas harus menutup peluang masyarakat dalam mencari kebenaran dan menemukan keadilan.

Tanpa penegakan hukum yang berkeadilan, hal yang akan timbul adalah kegaduhan terus-menerus, terutama di ranah media sosial. Antara kubu yang pro dan kontra akan terus saling serang dan saling menyudutkan. Demi menghindari situasi yang tidak diinginkan bersama, jalan satu-satunya aparat keamanan harus melakukan tindak lanjut sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

Kita semua menyadari bahwa Indonesia adalah negara hukum sehingga penegakan supremasi hukum secara benar, seimbang, dan jujur di atas segalanya. Penegakan hukum yang adil akan menjamin terciptanya suasana tenang, damai, dan kondusif di tengah-tengah masyarakat, sekaligus menjauhkan sikap saling curiga dan prasangka.

Respons publik atas kasus Sukmawati ini sejak awal sudah sangat keras. Ini cukup beralasan mengingat Sukmawati sudah dua kali terseret kasus yang sama. Sebelumnya dia dilaporkan lantaran isi puisinya yang juga dinilai menodai agama. Saat itu Sukmawati membacakan puisi berjudul "Ibu Indonesia" di acara Indonesia Fashion Week 2018 . Pada kasus yang pertama ini, Sukmawati lolos karena polisi mengklaim tidak menemukan perbuatan melanggar hukum dan pidana. Meskipun saat itu pengaduan yang masuk ke polisi mencapai 30 laporan.

Penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih memang salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Presiden Joko Widodo di periode keduanya. Jika tak ada pembenahan serius pada sisi penegakan hukum ini kemungkinan kepercayaan publik kepada pemerintah akan menurun. Saat ini salah satu titik lemah pemerintah adalah penegakan hukum. Hal ini tergambar pada hasil survei yang mengukur tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintah.

Berdasarkan survei Parameter Politik Indonesia yang dirilis 17 Oktober 2019, publik yang menilai Jokowi berkinerja baik mencapai 41,0%, biasa saja 33,4%, dan buruk 23,3%. Selebihnya tak menjawab. Publik menilai Jokowi sukses membangun infrastruktur strategis, menyalurkan bansos, sembako, dana desa, PKH, KIS, dan KIP. Namun, pada saat bersamaan Jokowi dianggap kurang maksimal dalam beberapa aspek, salah satunya penegakan hukum yang dinilai masih tebang pilih.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6698 seconds (0.1#10.140)