Amdal dan Kebencanaan

Jum'at, 15 November 2019 - 07:19 WIB
Amdal dan Kebencanaan
Amdal dan Kebencanaan
A A A
Yonvitner
Kepala Pusat StudiBencana-LPPM IPB
USULAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang menghentikan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin mendirikan bangunan (IMB) demi menyederhanakan administrasi investasi, adalah bentuk kegagalan paham dari makna pembangunan berkelanjutan. Apalagi, kemudian amdal dan IMB dianggap yang menghambat penciptaan lapangan pekerjaan selama ini.
Penulis sepakat jika administrasi investasi perlu disederhanakan, tapi skema penyederhanaan perlu disusun secara baik dan terukur. Mengamputasi peran amdal tidak hanya berdampak pada soal perubahan administrasi proyek, tapi lebih jauh berdampak pada perubahan tata kelola lingkungan. Jadi, penulis melihat ada tiga alasan kenapa amdal penting dipertahankan bahkan harus diperkuat.
Penguatan amdal

Ketiga hal tersebut adalah: 1) amdal merupakan instrumen lingkungan yang bersifat komprehensif dan digunakan juga di berbagai negara; 2) amdal menjadi instrumen penghubung masyarakat dengan industri serta lingkungan; 3) amdal jadi basis data dan menjadi tolok ukur (threshold) pencapaian pembangunan berwawasan lingkungan melalui aktivitas industri.

Amdal pertama kali diperkenalkan US pada 1969; kemudian diterapkan pada 1970. Sementara di Indonesia mulai berlaku pada 1986. Kelahiran amdal secara global adalah buah kepedulian terhadap lingkungan lestari, yang harus sejalan dengan pembangunan. Amdal perlu untuk memastikan ada instrumen yang bisa menjamin sebuah investasi tidak menimbulkan risiko kerusakan dan kehancuran lingkungan serta bencana bagi masyarakat.Dalam perjalanannya, amdal menjadi instrumen lingkungan yang selalu menjadi penyerta dalam setiap rencana pembangunan. Dalam negara yang heterogen seperti Indonesia, amdal sudah disepakati sebagai sebuah instrumen penting yang tidak hanya bertujuan menyelamatkan sumber daya alam dan lingkungan, tetapi juga masyarakat.
Maka bagian kedua yang tidak kalah pentingnya adalah, peran amdal sebagai instrumen penghubung antara investasi, masyarakat, dan lingkungan. Pada proses penyusunan amdal, ada kegiatan konsultasi publik yang dilakukan kepada masyarakat di sekitar tapak proyek tentang rencana kegiatan.Kenapa perlu konsultasi? Jawaban sederhana, yaitu agar masyarakat paham akan ada kegiatan di sekitar daerah mereka yang dapat mengandung risiko, berpotensi bahaya dan bencana jika terjadi kegagalan. Kegagalan bisa berupa prediksi lokasi ataupun teknologi seperti yang terjadi di Lapindo, kebocoran minyak Montara, dan kekeringan akibat perubahan bentang lahan hutan menjadi tanaman industri.
Masyarakatlah pihak yang akan pertama merasakan dampak, kerugian, bahkan kehilangan mata pencarian ketika satu usaha investasi tidak tepat. Dalam mekanisme ini, masyarakat menjadi benteng terakhir yang harus mengawal kegiatan di sekitar lokasinya. Kesertaan masyarakat menjadi penting mengawal kegagalan investasi dan pembangunan.Ketika ditemukan ketidaksetujuan karena potensi bahaya yang sangat tinggi atau potensi kerusakan sangat tinggi, masyarakat berhak merekomendasikan sikap atas bahaya yang tinggi tersebut. Ketika amdal hilang maka peran masyarakat akan hilang dan bisa timbul potensi kekuasaan mutlak negara terhadap wilayah tertentu dalam investasi.Dalam beberapa wilayah adat, peran masyarakat menjadi penentu terhadap izin usaha. Misalnya di daerah Sumatera Barat dan Papua, apabila masyarakat adat tertentu tidak memberikan izin atas tanah maka investasi tidak bisa dilakukan. Untuk kasus seperti ini, pemerintah harus memandang dan menghargai masyarakat sebagai kelompok yang menghargai lingkungan, dan jangan dipandang sebagai penghalang investasi.Kemudian, pandangan ketiga yaitu amdal sebagai instrumen pencipta keharmonisan spasial dan tolok ukur relatif pembangunan berkelanjutan. Hal ini menjadi penting, yaitu amdal memuat pedoman pengelolaan dan pemantauan lingkungan, sekaligus untuk memastikan bahwa pembangun sejalan dengan lingkungan dan indikator pemantauan menjadi instrumen pengontrol.
Green Investasi
Pengalaman penulis berkunjung ke pelabuhan Shanghai, di mana dalam kesempatan diskusi dengan direktur pelabuhan, terlontar pertanyaan tentang amdal dan lingkungan. Dengan lugas dijawab, bahwa apa yang dilakukan di pelabuhan sudah berdasarkan persetujuan Beijing dan tidak perlu amdal. Dengan cepat kita paham, bahwa kekuasaan partai komunis China di Beijing menjadi penentu penting atau tidaknya sebuah investasi strategis.

Kondisi ini tentu berbeda dengan Indonesia yang negara dibangun oleh beragam budaya masyarakat. Setiap kelompok memiliki hukum adat dan tata nilai dalam menjaga lingkungan. Kondisi ini seharusnya diangkat jadi instrumen pembangunan berwawasan lingkungan, bukan menghilangkan dan menarik kendali kekuasaan terpusat dan seolah memaksa masyarakat menerima keputusan pembangunan tanpa amdal. Kita harus kuat berinvestasi di bidang sumber daya alam dan pangan, dengan tetap menjaga lingkungan. Jadi, nature investasi yang dibangun di Indonesia adalah investasi yang berwawasan lingkungan.

Selanjutnya, jika memang terjadi penghentian amdal tanpa pengganti, investasi bisa mengarah pada penurunan kapasitas lingkungan dan dapat menimbulkan kerusakan bahkan bencana. Sampai 2018 saja tercatat 2.564 kejadian bencana dengan kerugian lebih dari Rp100 triliun.Beberapa bentuk kejadian bencana yang memiliki hubungan dengan investasi serta daya rusak yang tinggi seperti kebakaran hutan, banjir dan longsor, tumpahan minyak. Kejadian tumpahan minyak di Balikpapan tahun lalu merusak ekosistem pesisir dan perikanan. Begitu juga kebocoran minyak pantai Karawang yang menghancurkan ekosistem dan daerah penangkapan rakyat.Bencana lainnya banjir di Konawe Utara yang menurut Indah Prasti (Lapan, 2018) akibat perubahan tata guna lahan hutan menjadi lahan hutan industri. Saat panas, terjadi kekeringan dan saat hujan kebanjiran karena hilangnya sistem penahan alami yaitu areal hutan alami.
Beberapa contoh di atas adalah aktivitas yang sudah punya dokumen amdal yang disertai komitmen pengelolaan dan pemantauan masih rentan dengan kejadian bencana. Atas berbagai kegagalan tersebut, penulis bukan melihat posisi amdal diturunkan, malah harus ditingkatkan dengan mengintegrasikan risiko dan kebencanaan.Kementerian Agraria dan Tata Ruang seharusnya juga tidak ansich bicara soal legalitas tanah, perubahan pemanfaatan dan alokasi ruang, tapi juga memikirkan risiko setiap perubahan dan izin tersebut. Dengan mengetahui risiko bahaya dan bencana maka kementerian membantu menyelamatkan uang negara dengan mengurangi potensi bencana atau dikenal dengan green investment.
Solusi
Sebagai solusi bahwa investasi penting, tapi harus berbasis karakteristik alam dan masyarakat Indonesia. Untuk itu, solusi yang bisa ditawarkan menurut penulis adalah 1) izin satu pintu diperkuat; 2) pengawasan terpadu; 3) amdal digital; 4) Share Holding Investment.

Pertama, dengan OSS seharusnya kriteria investasi setiap sektor terkait sudah tergabung jadi satu. Kemudian persyaratan agregat non-amdal menjadi salah satu pertimbangan izin. Dengan kriteria izin terpadu dengan pelayanan satu pintu maka proses perizinan akan cepat diselesaikan.Kedua,dengan melakukan pengawasan terpadu pada setiap rencana kegiatan. Pengawasan terpadu ini menjadi turunan dari pelayanan satu pintu untuk memantau kinerja investasi. Ketiga, hal yang perlu dipikirkan adalah sistem amdal digital. Sistem ini dapat dilakukan lebih cepat karena proses otomatisasi analisis yang dilakukan akan sangat membantu penyelesaian dokumen amdal.Salah satu catatan selama ini juga yang sering terjadi adalah lamanya koordinasi antarlembaga pemerintahan. Koordinasi antarlembaga ini yang dipangkas dengan amdal digital, tapi bukan menghapus proses amdal. Di era Revolusi 4.0, proses analisis tentu akan sangat cepat dan data pemantauan juga akan terkontrol. Maka bukan hanya dokumen amdal yang menjadi mudah, melainkan juga pemantauan lingkungan.Orang yang selama ini terbiasa dengan sistem "potong kompas" karena ingin cepat, kemudian memaksa amdal seolah seperti pelengkap saja tanpa analisis yang memadai, inilah yang menjadi tidak tepat. Keempat, hal yang tidak kalah penting adalah menyusun mekanisme Share Holding Investment.Model ini sebenarnya adalah model kerja sama antara pengusaha besar dan masyarakat kecil pemilik lahan. Pemilik modal cukup hanya membangun holding dan menjadikan masyarakat sebagai bagian holding tersebut. Dengan tidak mengubah struktur ekologi, biologi, dan sosial ekonomi, dokumen lingkungan yang diperlukan bisa setara pemantauan dan pengelolaan lingkungan.
Ke depan, kita semestinya berpikir bahwa amdal bukanlah penghambat, tetapi perlu pengayaan substansi dan penyederhanaan proses. Amdal hanya perlu penyederhanaan administrasi dan penguatan substansi sehingga menjadi lebih powerfull dalam mengurangi kerugian karena bencana, serta tetap sejalan dengan prinsip pembangunan hijau (green development).
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3966 seconds (0.1#10.140)