Golkar Rawan Pecah jika Pemilihan Ketua Umum Dipaksa Aklamasi

Kamis, 14 November 2019 - 17:04 WIB
Golkar Rawan Pecah jika...
Golkar Rawan Pecah jika Pemilihan Ketua Umum Dipaksa Aklamasi
A A A
JAKARTA - Berubah sebagai partai modern pascareformasi, Partai Golkar dikenal selalu dinamis dalam setiap penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) sebagai forum tertinggi partai dan pemilihan ketua umum.

Persaingan sengit antarcalon ketua umum dinilai sebagai iri khas Golkar dalam setiap munas.

"Oleh karena itu jika dalam Munas Golkar pada Desember mendatang ada pihak-pihak yang ingin meredam persaingan tersebut dengan memaksakan aklamasi, hal tersebut berbahaya bagi eksistensi Partai Golkar. Ancamannya adalah Golkar berpotensi terjerumus dalam lubang yang sama," kata Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus, Kamis (14/11/2019).

Menurut dia, sejarah mencatat pemilihan ketua umum Partai Golkar lewat aklamasi selalu membawa permasalahan di kemudian hari. Misalnya saja, terpilihnya Aburizal Bakrie secara aklamasi di Munas Bali 2014, yang kemudian memicu munas tandingan di Ancol yang juga memilih Agung Laksono secara aklamasi. Akhirnya Golkar terbelah.

Begitu juga, lanjut dia, Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar 2016 yang memilih Setya Novanto secara aklamasi.

"Suara-suara kader yang kritis melihat Setnov sebagai ‘sosok bermasalah’ menjadi terpinggirkan, sampai KPK sendiri yang mengungkapkannya. Akhirnya perjalanan ketum yang korup itu justru membawa citra buruk bagi partai," tuturnya. (Baca Juga: Bamsoet Yakin Airlangga Tetap Punya Penantang di Munas Golkar)

Mengenai terpilihnya Airlangga secara aklamasi dalam Munas tahun 2017, Sulthan menilai hal tersebut berbeda. Sebab kondisi Golkar saat itu dalam keadaan darurat pasca terungkapnya kasus Setya Novanto. Saat itu seluruh kader bersepakat meredam persaingan dan gejolak demi menyelamatkan partai guna menghadapi kontestasi Pemilu 2019.

Dia mengatakan saat ini Golkar dalam keadaan normal. Jika Munas Golkar hendak dipaksakan berlangsung secara aklamasi, sementara di sisi lain ada kandidat ketua umum lebih dari dua orang, maka tinggal menunggu waktu saja masalah-masalah yang sebelumnya pernah dialami Golkar terulang kembali.

"Perpecahan partai di 2014 dan kasus yang menimpa Setya Novanto harusnya menjadi pengingat bagi seluruh kader yang tetap mengkehendaki eksistensi Partai Golkar terjaga dengan baik," tuturnya.

Dia mengakui aklamasi tidak salah. Justru itu menjadi ciri khas bangsa yang mengedepankan musyawarah mufakat.

"Tapi ketika aklamasi dipaksakan untuk membungkam suara-suara yang berbeda, disitulah sikap antidemokrasi pihak yang memaksakan tersebut justru sangat terlihat," katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1417 seconds (0.1#10.140)