Basarah: Rekonsiliasi Harus Dilihat dari Perspektif Politik, Sosial dan Ideologi
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua MPR, Ahmad Basarah mengatakan, bicara rekonsiliasi nasional yang dilakukan elit dan masyarakat hari ini harus dilihat dalam perspektif politik, sosial dan ideologi.
"Kalau kita bicara rekonsiliasi suatu cara memperbaiki hubungan. Memang seringkali eskalasi konflik itu muncul saat pemilu," kata Basarah saat menjadi narasumber diskusi bertajuk 'Rekonsiliasi Nasional: Apa, Untuk Apa dan Bagaimana' di Kantor CDCC, Warung Buncit, Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Basarah menjelaskan, dalam banyak penelitian, konflik itu secara kategoris memuat dimensi politik. Biasanya mereka hanya memberikan dukungan secara sosial, mendukung paslon tertentu, tapi tidak punya motif ekonomi, apalagi motif ideologi dan segala macam.
Akibatnya, Politikus PDI Perjuangan itu menilai, konflik tersebut terkadang melibatkan internal keluarga. Bahkan, ada sebuah survei yang menyatakan, dampak dari konflik itu membuat keluarga bercerai.
"Biasanya konflik semacam ini mudah selesai. Begitu juga dengan konflik yang alasannya politik. Karena dalam tradisi politik kita terutama sejak pemilihan langsung, karena memang kita tidak mengenal sistem oposisi," ujarnya.
Basarah menambahkan, dalam praktek politik dan demokrasi yang berkembang di Indonesia, tidak dikenal istilah oposisi. Oposisi hanya dikembangkan melalui sikap kritis masyarakat yang diwakilkan kepada partai politik melalui perwakilannya di legislatif.
"Praktek demokrasi yang lain sejak zaman SBY, partai yang tidak mendukung koalisi, dalam prakteknya setelah pemilu selesai itu diajak bergabung. Hal yang sama itu juga dilakukan pak Jokowi, ketika pemilihan dia yang pertama, partai pak Zul (Zukifli Hasan Ketum PAN) ini selesai pemilu bergabung, Golkar bergabung, PPP bergabung," pungkasnya.
"Kalau kita bicara rekonsiliasi suatu cara memperbaiki hubungan. Memang seringkali eskalasi konflik itu muncul saat pemilu," kata Basarah saat menjadi narasumber diskusi bertajuk 'Rekonsiliasi Nasional: Apa, Untuk Apa dan Bagaimana' di Kantor CDCC, Warung Buncit, Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Basarah menjelaskan, dalam banyak penelitian, konflik itu secara kategoris memuat dimensi politik. Biasanya mereka hanya memberikan dukungan secara sosial, mendukung paslon tertentu, tapi tidak punya motif ekonomi, apalagi motif ideologi dan segala macam.
Akibatnya, Politikus PDI Perjuangan itu menilai, konflik tersebut terkadang melibatkan internal keluarga. Bahkan, ada sebuah survei yang menyatakan, dampak dari konflik itu membuat keluarga bercerai.
"Biasanya konflik semacam ini mudah selesai. Begitu juga dengan konflik yang alasannya politik. Karena dalam tradisi politik kita terutama sejak pemilihan langsung, karena memang kita tidak mengenal sistem oposisi," ujarnya.
Basarah menambahkan, dalam praktek politik dan demokrasi yang berkembang di Indonesia, tidak dikenal istilah oposisi. Oposisi hanya dikembangkan melalui sikap kritis masyarakat yang diwakilkan kepada partai politik melalui perwakilannya di legislatif.
"Praktek demokrasi yang lain sejak zaman SBY, partai yang tidak mendukung koalisi, dalam prakteknya setelah pemilu selesai itu diajak bergabung. Hal yang sama itu juga dilakukan pak Jokowi, ketika pemilihan dia yang pertama, partai pak Zul (Zukifli Hasan Ketum PAN) ini selesai pemilu bergabung, Golkar bergabung, PPP bergabung," pungkasnya.
(pur)