Pemuda dan Pengokohan (Kembali) Demokrasi Kita

Selasa, 29 Oktober 2019 - 08:30 WIB
Pemuda dan Pengokohan (Kembali) Demokrasi Kita
Pemuda dan Pengokohan (Kembali) Demokrasi Kita
A A A
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik-LIPI

SEBAGAI sebuah komunitas yang dibayangkan (imagined community), Indonesia hadir sebagai sebuah karya monumental yang dikreasikan tangan-tangan visioner para pemuda. Oktober 1928 adalah momentum bagaimana komunitas yang dibayangkan itu perlahan tapi pasti bergerak menjadi sebuah kenyataan yang tak terbendung. Dalam menjalankan peran sejarahnya itu, pemuda Indonesia bersama-sama kaum intelegensia, melakoni posisi sebagai motor penyadaran dan perubahan.

Mereka menjadi kelompok yang memberikan kesadaran bagi khalayak ramai tentang duduk persoalan yang tengah terjadi, sekaligus memberikan arah solusinya. Dalam banyak momen mereka menjadi kelompok yang memecah kebuntuan atau stagnasi politik, termasuk polarisasi masyarakat yang berkepanjangan. Di sini, pemuda memainkan peran kritis dan penyeimbang (balancer) bagi penguasa maupun pihak yang bertikai.

Sejarah menunjukkan peran kontinum pemuda dalam percaturan kehidupan politik yang membuat mereka selalu berada dalam episentrum pada momen pergerakan adalah dalam rangka meluruskan praktik manipulasi kekuasaan, mengingatkan makna berbangsa dan bernegara maupun membela kedaulatan rakyat.

Tidak mengherankan jika persoalan yang melibatkan pemuda–apakah pada 1928, awal kemerdekaan, pada 1966, hingga jatuhnya Orde Baru di 1998–lagi-lagi pada akhirnya selalu terkait dengan soal menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Alhasil, sebenarnya selain persoalan mewujudkan imaji kebangsaan, para pemuda selalu terlibat dengan upaya mewu­jud­kan imaji tentang tegaknya kedaulatan rakyat banyak.

Terkait dengan penegakan kedaulatan rakyat itu, situasi bangsa kita saat ini sejatinya cukup memprihatinkan. Layaknya sebuah pengulangan (repertoire) saja dari masa-masa selanjutnya. Dalam situasi inilah muncul kembali sebuah tantangan bagi para pemuda untuk sekali lagi mengambil peran besar. Terutama sebagai sebuah elemen, bersama-sama dengan anak bangsa lainnya, yang dapat memulihkan kembali kondisi demokrasi kita.

Pelemahan Demokrasi sebagai Momentum
Meski demokrasi diakui oleh mayoritas rakyat sebagai sistem politik yang paling tepat dijalankan bagi bangsa kita, namun akhir-akhir ini semakin terindikasi mengalami pelemahan kualitas. Hal ini ditandai, di antaranya, dengan menguatnya praktik oligarki yang dimulai dalam internal partai untuk kemudian berimbas di luar partai.

Kehidupan politik kita saat ini sejatinya ditentukan oleh segelintir orang. Para elite politik yang berkolaborasi dengan pemilik modal dengan arahan/masukan para political advisors mendesain kehidupan politik bangsa (Crouch 2004) dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Akibatnya meski terdapat prosedur dan institusi demokratis serta kontestasi elektoral, secara riil rakyat kerap menjadi penonton semata. Ini tercermin misalnya dari berbagai kebijakan yang tidak kunjung mampu meningkatkan marwah kehidupan mereka.

Selain itu, fokus pada pembangunan fisik dan ekonomi tidak terlalu diikuti dengan pembangunan demokrasi. Apa yang terjadi di akhir September 2019 sesungguhnya merupakan puncak gunung es sebuah bangun sistem politik yang tidak aspiratif dan memiliki jarak dengan masyarakat.

Korupsi sebagai sebuah keprihatinan bersama di level masyarakat, ternyata tidak dimaknai sama dengan kalangan elite. Di sinilah hakikatnya oligarki dan elitisme menunjukkan lagi raut wajah yang tidak ramah atas kehendak masyarakat kebanyakan.

Melihat kondisi dan kebutuhan dasar bangsa kita tersebut, terdapat momentum bagi pemuda untuk berperan. Pembangunan kembali kehidupan demokrasi saat ini harus menjadi penjuru bagi pergerakan kaum muda saat ini dan menjadikannya sebagai momentum kembali untuk berkiprah sebagai elemen penyadar, sekaligus penyeimbang dan penggerak.

Peran yang harus diambil pemuda itu tidak saja terhenti pada unjuk rasa, melainkan sebuah misi historis yang total dan menyeluruh menuju pematangan kehidupan berbangsa, bernegara dan berdemokrasi.

Strategi Pergerakan
Dalam upaya membangkitkan lagi kualitas demokrasi diperlukan strategi yang melibatkan beberapa hal. Pertama, memperkuat soliditas kaum pemuda dalam rangka membangun dan mengokohkan jati diri. Di sini berarti pemuda harus memiliki standing position yang disepakati secara kolektif, yakni sebagai bagian tak terpisahkan dari rakyat. Ini bermakna bersedia mengabdikan dirinya sebagai pembela kedaulatan rakyat. Sejurus dengan itu pemuda harus berani membebaskan diri dari segala bentuk elitisme dan praktik oligarki.

Kedua, dalam upaya membangun posisi tersebut, para pemuda harus mendasarkan diri pada penelaahan yang komprehensif. Dengan kata lain, berdasarkan intelektualisme, agar perjuangannya memiliki akar legitimasi intelektual yang kuat. Tanpa intelektualisme, eksistensi para pemuda tidak akan berbeda dengan sekumpulan kerbau yang mudah dikendalikan atau dimanipulasi.

Untuk itu harus ditumbuhkan budaya literasi dan berdialog dengan banyak kalangan, demi mencari sintesis pemikiran yang terbaik. Lihatlah contoh para pemuda kita masa lalu yang demikian akrab dengan buku dan beragam bacaan bermutu kelas dunia. Pemuda juga harus terbiasa berwacana dan berdialog mematangkan sudut pandang dan sikap.

Dengan terbiasa berdialektika ini, akan banyak terobosan pemikiran dan konsep yang orisinal, cerdas dan relevan bagi kehidupan bangsa. Friedrich Nietzsche mengatakan untuk menghancurkan potensi pemuda itu mudah yakni, tempatkan mereka pada kelompok yang berpikiran sama, yang dari situ akan muncul stagnasi atau kejumudan berpikir.

Ketiga, membangun sinergi dan berinteraksi. Dalam memainkan perannya, jelas pemuda tidak bisa sendiri. Berjuang dalam skala nasional memerlukan rekan-rekan seperjuangan yang beragam. Untuk itu pemuda harus membuka diri seluas-luasnya. Di satu sisi, mereka harus berakar dan hadir secara positif di tengah masyarakat. Karena musykil jika pemuda tidak paham apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat padahal akan berjuang bersama mereka.

Di sisi lain, pemuda harus bersinergi dengan beragam komunitas dan kelompok-kelompok kepentingan/pergerakan lain. Hal ini agar perjuangan menegakkan demokrasi itu akan menjadi lebih efektif dan berdampak luas.

Keempat, memberikan pendidikan dan contoh yang relevan kepada masyarakat. Para pemuda harus dapat menunjukkan kepada khalayak perilaku demokratik. Ini berarti pemuda harus menjadi pelopor sikap menghargai perbedaan, mengedepankan musyawarah, membela keadilan dan menegakan nilai-nilai persamaan.

Selain itu, pemuda harus dapat menunjukkan sikap kritis yang membangun dan menjauhkan diri dari sikap manipulatif demi meraih tujuan. Kesemua itu harus dilakukan dengan tulus dan bersungguh-sungguh. Hal ini penting, karena memberikan contoh nyata akan jauh lebih efektif ketimbang segudang wacana saja.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7685 seconds (0.1#10.140)