Bahasa Terpuji jika Teruji

Jum'at, 25 Oktober 2019 - 06:22 WIB
Bahasa Terpuji jika Teruji
Bahasa Terpuji jika Teruji
A A A
Niknik M Kuntarto

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara

SUNGGUH ini merupakan kabar yang menggembirakan bagi masyarakat Indonesia ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani dan menerbitkan Peraturan Presiden No 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Apalagi, berita ini muncul pada Bulan Bahasa tempat terukirnya peristiwa Sumpah Pemuda yang salah satu isinya adalah menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Tempat seorang Tabrani dengan tekad bulat dan semangat yang kuat mengukuhkan identitas bangsa Indonesia. Meskipun bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, wartawan senior itu mengusulkan agar nama bahasa kita bukan bahasa Melayu, melainkan bahasa Indonesia. Jika sudah bertumpah darah satu Tanah Air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu pun haruslah bahasa Indonesia!

Perpres No 63/2019 ini diterbitkan untuk melengkapi regulasi sebelumnya, yakni Perpres No 16/2010 yang dinilai belum memiliki kelengkapan penggunaan bahasa Indonesia, tidak hanya dalam pidato presiden, wakil presiden, dan pejabat negara, tetapi juga menyangkut penggunaan bahasa Indonesia dalam peraturan, dokumentasi resmi negara, bahasa pengantar pendidikan, karya ilmiah, hingga nota kesepahaman. Perpres yang ditandatangani pada 30 September 2019 ini memang baik, tetapi akan lebih bermakna bila dihubungkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 70/2018 tentang Standar Kemahiran Berbahasa Indonesia.

Bagaimana mengukur bahwa bahasa Indonesia sudah digunakan dengan baik dan benar sesuai Pasal 2 Ayat (1)? Bagaimana mengukur bahwa bahasa Indonesia sudah digunakan sesuai dengan konteks berbahasa dan selaras dengan nilai sosial masyarakat seperti pada ayat (2)? Bagaimana mengukur bahwa bahasa Indonesia telah digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia seperti pada ayat (3)? Bagaimana mengukur bahwa seseorang telah menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai situasi dan kondisi? Rangkaian pertanyaan inilah yang jawabannya tidak dapat ditemukan di dalam Perpres No 63/2019. Memang, pada Pasal 1 Ayat (5) dijelaskan bahwa terdapat ketentuan mengenai kaidah bahasa Indonesia telah ditata di dalam Peraturan Menteri. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri No 50/2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Namun, bagaimana cara menguji kemahiran bahasa seseorang belumlah dirujuk.

Bahasa kita akan terpuji jika sudah teruji. Bagaimana cara mengukurnya? Sebenarnya pemerintah sendiri melalui Badan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, telah merancang dan melahirkan standar kemahiran berbahasa Indonesia yaitu Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Pengujian tersebut memiliki tujuh level, yaitu terbatas (skor 251-325), marginal (skor 326-404), semenjana (skor 405-481), madya (skor 482-577), unggul (skor 578-640), sangat unggul (skor 641-724), dan istimewa (skor 724-800).

Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa terdapat standar kemahiran berbahasa Indonesia bagi sepuluh jabatan di Indonesia, yakni TNI/POLRI, pimpinan/manajer, profesional, teknisi, tata usaha, jasa, pekerja terampil, pekerja olah, operator, dan pekerja kasar. Sebagai contoh standar kemahiran berbahasa bagi TNI/ Polri adalah madya dan unggul, pimpinan lembaga/instansi adalah sangat unggul, manajer madya, profesional seperti guru bahasa Indonesia unggul, guru nonbahasa Indonesia madya, dosen unggul, guru besar sangat unggul, hakim unggul, pengacara unggul, anggota DPR/DPD/DPRD madya, dan seterusnya. Pertanyaannya, apakah mereka sudah melakukan uji kemahiran berbahasa Indonesia? Di level apakah kemahiran berbahasa Indonesia mereka? Ini merupakan agenda besar bagi pemerintah.

Beberapa cara yang bisa menjadi solusi atas masalah kemahiran berbahasa Indonesia, pertama, adanya keteladanan, sesuatu yang dapat atau patut dicontoh dan menjadi teladan bagi orang lain. Seorang pemimpin yang baik tentu akan menerapkan ilmu pengetahuan apa pun, termasuk kemahiran berbahasa Indonesia kepada bawahannya. Bagaimana mungkin seorang pemimpin mengajak atau mewajibkan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, jika dirinya sendiri bukan merupakan contoh yang baik.

Kedua, saat pemerintah merancang kurikulum Bahasa Indonesia yang akhirnya melahirkan silabus dan diwujudkan melalui tujuan pembelajaran dalam materi ajar seharusnya disesuaikan dengan peta masalah UKBI. Pemerintah atau sekolah harus menyesuaikan materi ajar dan evaluasi pada tingkat pendidikan SD hingga pascasarjana dengan pelevelan kemahiran berbahasa Indonesia dan alat evaluasi UKBI. Berdasarkan Permendikbud No 70/2016 standar kemahiran berbahasa bagi pelajar sekolah dasar (marginal), sekolah menengah pertama (semenjana), sekolah menengah atas madya, perguruan tinggi (unggul), dan akan meningkat seiring tingkat pendidikan hingga pascasarjana pada level sangat unggul.

Ketiga, perlunya ketegasan dari pemerintah untuk menerapkan syarat UKBI ini sesuai dengan pelevelan dan jenjang kemahiran kepada masyarakat Indonesia yang penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan klasifikasi baku jabatan dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. berdasarkan Pusat Pembinaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Badan Bahasa dan Perbukuan, Kemendikbud RI, data jumlah orang jati dan asing yang telah melakukan UKBI sejak 2005-2017 mencapai 37.893 orang (guru Bahasa Indonesia sebanyak 19.313, mahasiswa 964 orang, siswa 469 orang, pegawai negeri 74 orang, staf/karyawan 100 orang, duta bahasa 46 orang, penyuluh 44 orang, guru umum 7.647 orang, dosen 26 orang, blogger 21 orang, guru BIPA 19 orang, WNA 1.158 orang, lainnya 8.012 orang).

Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia dan penutur asing, berarti minat orang mengikuti UKBI sangat kurang. Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa masih perlu meningkatkan kualitas UKBI, terutama dari sisi pelaksanaannya yang harus tegas untuk mewajibkan sertifikasi UKBI bagi penutur jati yang hendak melamar pekerjaan. Begitu pula bagi penutur asing sebagai tenaga kerja atau pun warga negara asing yang hendak melanjutkan studi di Indonesia, UKBI menjadi syarat wajib yang harus diikuti.

Berdasarkan gambaran tersebut, mari kita sambut dengan gembira Perpres No 63/2019 ini dengan suka cita dan rasa bangga karena dengan adanya peraturan tersebut, bahasa Indonesia makin bermartabat, baik di negaranya sendiri maupun di kancah internasional. Namun, segera bercerminlah pada diri sendiri. Mari kita ukur diri, apakah bahasa Indonesia sudah digunakan dengan baik dan benar sesuai Pasal 2 Ayat (1)? Apakah bahasa Indonesia sudah digunakan sesuai dengan konteks berbahasa dan selaras dengan nilai sosial masyarakat seperti pada ayat (2)? Apakah bahasa Indonesia telah digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia seperti pada ayat (3)? Apakah kita sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai situasi dan kondisi? Semua itu adalah upaya kita sebagai wujud merawat negeri melalui kepedulian terhadap Bahasa Indonesia. Mari ukur kemampuan kita melalui UKBI agar bahasa kita makin terpuji. Ingat, bahasa kita akan terpuji jika sudah teruji!

Perpres yang ditandatangani pada 30 September 2019 ini memang baik, tetapi akan lebih bermakna bila dihubungkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 70/2018 tentang Standar Kemahiran Berbahasa Indonesia. Bagaimana mengukur bahwa bahasa Indonesia sudah digunakan dengan baik dan benar sesuai Pasal 2 Ayat (1)? Bagaimana mengukur bahwa bahasa Indonesia sudah digunakan sesuai dengan konteks berbahasa dan selaras dengan nilai sosial masyarakat seperti pada ayat (2)? Bagaimana mengukur bahwa bahasa Indonesia telah digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia seperti pada ayat (3)? Bagaimana mengukur bahwa seseorang telaah menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai situasi dan kondisi? Rangkaian pertanyaan inilah yang jawabannya tidak dapat ditemukan di dalam Perpres No 63/2019. Memang, pada Pasal 1 Ayat (5) dijelaskan bahwa terdapat ketentuan mengenai kaidah bahasa Indonesia telah ditata di dalam Peraturan Menteri. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri No 50/2015 tentang Pedoman Umum Ejaan bahasa Indonesia. Namun, bagaimana cara menguji kemahiran bahasa seseorang, belumlah dirujuk.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6128 seconds (0.1#10.140)