KPK Harap Menkumham Baru Konsisten Cegah Korupsi

Rabu, 23 Oktober 2019 - 00:30 WIB
KPK Harap Menkumham...
KPK Harap Menkumham Baru Konsisten Cegah Korupsi
A A A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih Menteri Hukum dan HAM baru yang konsisten melakukan pemberantasan korupsi pada aspek pencegahan.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan, sehubungan dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) ada perkara serius yang ditangani KPK. Perkara atau kasus tersebut yakni suap pengurusan pemberian dan penggunaan fasilitas serta pemberian izin keluar Lapas Sukamiskin.

Dalam perkara ini, tutur Basaria, telah ada empat terpidana. Dua di antaranya pemberi suap pemilik dan pengendali PT Merial Esa dan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Fahmi Darmawansyah alias Emi alias Fahmi Saidah dan terpidana penerima suap Wahid Husein selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin sejak Maret 2018.

Berikutnya, tutur dia, dari hasil pengembangan kemudian ditetapkan lagi lima tersangka. Mereka yakni Deddy Handoko selaku Kalapas Sukamiskin kurun 2016 hingga Maret 2018, Wahid Husein selaku Kalapas Sukamiskin sejak Maret 2018, terpidana Komisaris Utama PT Bali Pasific Pragama (BPP) Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan, mantan terpidana mantan bupati Bakalan sekaligus mantan ketua DPRD Bangkalan, Jawa Timur (almarhum) Fuad Amin Imron, dan Direktur Utama PT Glori Karsa Abadi (GKA) Rahadian Azhar.

Basaria menegaskan, dari sisi pencegahan korupsi terkait dengan sistem dan tata kelola lapas dan rutan sebenarnya Direktorat Litbang KPK telah melakukan kajian dan telah memberikan rekomendasi ke Kemenkumham atau Menkumham periode 2014-2019 Yasonna Hamonangan Laoly.

"Semua rekomendasi perbaikan sudah diberikan ke Menteri Hukum dan HAM tapi tidak dijalankan. Kita harapkan menteri periode berikutnya yang diumumkan Presiden, kita harapkan supaya memiliki komitmen yang benar-benar dalam pemberantasan korupsi," tegas Basaria, Rabu (22/10/2019).

Purnawirawan jenderal polisi bintang dua ini membeberkan, KPK berhasil menemukan potensi risiko suap terjadi pada sejumlah hal. Di antaranya pada izin yang diberikan kepada warga binaan/narapidana perkara korupsi termasuk izin sakit, jual beli fasilitas di dalam sel, lemahnya pengawasan dalam proses kunjungan keluarga maupun pihak lain terutama yang menyangkut high profile visitor (politisi danpejabat atau orang berpengaruh lainnya), hingga lemahnya mekanisme pengawasan di lapas menjadi celah masuknya barang yang dilarang seperti alat komunikasi dan uang tunai.

"Kita harapkan pimpinannya kementerian itu yang bersih supaya dia bisa membersihkan bawahannya," tegasnya.

Basaria menegaskan, KPK telah duduk bersama dengan pihak Kemenkumham guna membahas dan menindaklanjuti sejumlah rekomendasi KPK. Di antaranya dibangunnya lapas khusus korupsi di Nusakambangan.

Rekomendasi lapas khusus ini tutur dia, didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain karena keterbatasan akses keluar Nusakambangan, penyalahgunaan izin keluar/berobat menjadi minim, dan menghilangkan risiko masuknya barang
terlarang ke lapas.

"KPK memberikan perhatian serius terhadap penyelenggaraan pemasyarakatan sejak 2007. Layanan pemasyarakatan telah disurvey dan diberi rekomendasi KPK sejak 2007. Hingga 2011, berdasarkan review, hanya 42% rekomendasi KPK yang diimplementasikan. Ditambah adanya kegiatan OTT terhadap Kalapas Sukamiskin dkk di 2018, KPK mulai melakukan kajian tata kelola pemasyarakatan dengan lebih dalam," ucapnya.

Diketahui, Yasonna Hamonangan Laoly dipanggil dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada Selasa, 22 Oktober 2019. Selepas bertemu Presiden, Yasonna mengatakan, Presiden meminta dirinya kembali menjadi menteri yang menangani bidang hukum.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, KPK memang membaca sejumlah pemberitaan media massa sepanjang Senin hingga Selasa (21-22/10/2019) tentang sejumlah tokoh calon menteri yang diundang dan bertemu dengan Presiden Jokowi. Menurut Febri, dari nama-nama yang muncul di media massa memang ada beberapa di antaranya terkait atau pernah diperiksa sebagai saksi terkait sedikitnya delapan kasus (perkara).

Satu di antaranya adalah perkara korupsi proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP) Tahun Anggaran 2011-2013 pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Kasus KTP elektronik juga masih berproses sampai saat ini. Ketika mereka (para calon menteri) dipanggil sebelumnya sebagai saksi itu kan belum tentu terlibat. Tapi kan di fakta kan bisa kelihatan, terutama di fakta sidang bahwa orang-orang tertentu itu diduga pernah memberikan atau menerima atau peran yang lain atau sekadar mengetahui," tegas Febri.

Yasonna selaku anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 berkali-kali diperiksa sebagai saksi untuk para tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di tahap penyidikan sebelumnya. Hanya saja, KPK tidak pernah menghadirkan Yasonna sebagai saksi di perkara e-KTP bergulir di tahap persidangan.

Terakhir, pada Selasa, 25 Juni 2019 Yasonna menjadi saksi untuk tersangka Markus Nari selaku anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar periode 2009-2014 dan 2014-2019. Perkara terdakwa Nari kini masih disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1078 seconds (0.1#10.140)