Memajukan Sektor Pangan, Menyejahterakan Petani
A
A
A
Kuntoro Boga AndriKepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian
DALAM rangka memperingati Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2019, banyak sekali pendapat mengenai sektor pangan dan pertanian menyeruak. Apalagi, perayaan kali ini menandai berakhirnya pemerintahan Joko Widodo -Jusuf Kalla (Jokowi-JK) periode 2014- 2019. Evaluasi bercampur opini, bahkan yang berbau politis pun diarahkan terhadap kinerja pemerintah di sektor pangan. Tak jarang pendapat optimistis muncul, tapi ada pula kritik yang diarahkan kepada kinerja pemerintah. Kami sadar bahwa masukan konstruktif sebetulnya sangat dibutuhkan bagi kemajuan pembangunan sektor pertanian. Apalagi, pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri. Memastikan 265 juta rakyat Indonesia mendapatkan akses pangan yang setara bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, banyak capaian di sektor pertanian pada 2019 ini yang patut disyukuri. Bila pengamat mau secara komprehensif membaca data dan tidak memasukkan asumsi pribadi, indikator keberhasilan sektor pertanian bisa terbaca dengan jelas. Keberpihakan pemerintah selama ini dapat terlihat dari kuatnya upaya pemerintah melalui Upsus Pajale (padi, jagung, dan kedelai) untuk membantu petani. Mulai dari subsidi pupuk, benih, perbaikan irigasi, pembuatan embung, pemberian ribuan alsintan, hingga asuransi pertanian diberikan pemerintah untuk membantu petani yang mengalami puso atau gagal panen. Inilah bukti kehadiran pemerintah untuk menyejahterakan petani dan meningkatkan produksi.
Fakta Stok Beras Fakta yang dapat dilihat hari ini, utamanya soal beras, pada 2019 tidak ada impor beras medium sebagai beras yang biasa untuk konsumsi rakyat. Bahkan pada akhir 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras nasional surplus 3,3 juta ton. Terlebih lagi, hingga hari ini tidak ada gejolak stok beras. Saat ini gudang Bulog pun penuh. Stok beras di Bulog tercatat sebanyak 2,5 juta ton. Kondisi stok beras yang melimpah ini menyebabkan Bulog harus menyewa gudang karena masih terus terjadi panen dan Bulog berkewajiban untuk menyerapnya.Tengoklah ujung timur Indonesia, Merauke. Di sana stok beras saat ini melimpah dan pemerintah daerah kebingungan untuk menyimpan hasil panen petani. Tentu kita harus memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada para petani kita yang telah luar biasa bekerja keras menyediakan pangan untuk rakyat.
Deflasi Tiga Bulan Terakhir Indikator lainnya yaitu keberhasilan pemerintah dalam penyediaan pangan dari produksi dalam negeri. Tampak dari stabilnya harga pangan di tingkat konsumen sekalipun pada perayaan hari besar keagamaan maupun tahun baru dalam tiga tahun terakhir. Ini patut diacungi jempol.Stabilnya harga tersebut menyebabkan bahan makanan atau pangan mempunyai kontribusi yang besar dalam menekan inflasi. Pada Agustus lalu kelompok pangan juga mengalami deflasi sebesar 0,19%. Bahkan menurut data yang dirilis BPS per 1 Oktober 2019, harga pangan pada September ini mengalami deflasi sebesar 1,97%.Kondisi ini lagi-lagi menunjukkan bahwa produksi pangan dalam negeri terus membaik untuk memenuhi permintaan pangan yang senantiasa meningkat. Keberhasilan para pelaku sektor pertanian dalam meningkatkan produksi pangan nasional selama lima tahun terakhir terbukti juga telah mampu menurunkan inflasi pangan secara drastis. Masyarakat perlu paham, awal pemerintahan Jokowi-JK pada 2014 tingkat inflasi pangan masih sangat tinggi, yaitu 10,57% dan jauh di atas inflasi umum yang pada waktu itu sekitar 8,36%.Pada 2015 dan 2016 inflasi bahan makanan mulai mengalami penurunan yang sangat drastis, yaitu masing-masing menjadi 4,93% pada 2015 dan 5,69% pada 2016. Pada 2017 bahkan turun menjadi 1,26%. Bila hari ini terjadi deflasi, tentu fakta kecukupan pangan kita telah terbukti, dan hal ini tidak terjadi tiba-tiba akibat mekanisme pasar. Ada kerja keras banyak pihak untuk meningkatkan kemampuan produksi pangan kita.
Kesejahteraan Petani dan Kemiskinan Pada September 2019 lagi-lagi BPS mencatat daya beli atau tingkat kesejahteraan petani semakin membaik dibandingkan pada bulan sebelumnya. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir, angka Nilai Tukar Pertani (NTP) terus naik secara signifikan. NTP bulan Agustus tercatat 103,22, dan naik 0,63% menjadi 103,88. Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) naik 0,02%, dari 113,29 menjadi 113,31. Indikator lainnya yang diungkap BPS, yaitu indeks harga yang diterima petani pun naik 0,14% yang berarti petani makin menikmati hasil jerih payah pertanian.Bila disebutkan kemiskinan perdesaan belum baik, mari simak data resmi BPS. Persentase penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 9,41%, menurun 0,25% poin terhadap September 2018 dan menurun 0,41% poin terhadap Maret 2018. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang, menurun 0,53 juta orang terhadap September 2018 dan menurun 0,80 juta orang terhadap Maret 2018. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2018 sebesar 6,89%, turun menjadi 6,69% pada Maret 2019. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2018 sebesar 13,10%, turun menjadi 12,85% pada Maret 2019. Dibanding September 2018, jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 di daerah perkotaan turun sebanyak 136,5 ribu orang (dari 10,13 juta orang pada September 2018 menjadi 9,99 juta orang pada Maret 2019).Sementara itu, daerah perdesaan turun sebanyak 393,4 ribu orang (dari 15,54 juta orang pada September 2018 menjadi 15,15 juta orang pada Maret 2019). Jika berbicara di tingkat yang lebih makro, BPS merilis angka kemiskinan perdesaan di awal periode pemerintahan pada 2015 tercatat 14,21%, sedangkan di perkotaan 8,29%. Namun, seiring pesatnya pembangunan di perdesaan, angka tersebut perlahan turun dengan pasti. Persentase kemiskinan perdesaan pada Maret 2017 sebesar 13,93% dan pada Maret 2018 menjadi 13,2%. Artinya, tingkat kemiskinan di desa turun sebesar 0,73 poin persen. Sedangkan di perkotaan, tingkat kemiskinan turun sebesar 0,7 poin persen dari 7,72% pada Maret 2017 menjadi 7,02% pada Maret 2018.Jumlah orang miskin di perdesaan juga turun sebesar 1,29 juta dari 17 juta orang pada Maret 2017 menjadi 15,71 juta orang pada Maret 2018. Sedangkan jumlah orang miskin di perkotaan turun sebesar 500.000 orang dari 10,6 juta orang pada Maret 2017 menjadi 10,1 juta orang pada Maret 2018. Jadi, penurunan jumlah orang miskin di desa dua kali lipat dibanding di kota. Sungguh butuh usaha luar biasa untuk menurunkan angka kemiskinan perdesaan secara drastis ini. Angka kemiskinan hanya satu digit, dan terendah sejak 1998. Semuanya diraih dengan kerja keras dan komitmen kuat pemerintah untuk selalu hadir di tengah-tengah rakyat.
Distribusi dan Mafia PanganUpaya penggiringan opini kegagalan pemerintah mengurusi pangan bukan hal yang aneh saat ini. Kami sadar seberapa pun kerasnya upaya pemerintah tidak akan memuaskan semua pihak, utamanya pihak yang "urusannya" terganggu dengan upaya keras pemerintah untuk petani. Sebut saja soal harga beras tinggi selalu dikaitkan dengan stok rendah. Faktanya hukum ekonomi permintaan dan penawaran menjadi tidak berlaku karena rantai distribusi pangan dikendalikan oleh para mafia pangan. Ada pihak yang bahagia bila mampu membeli murah di petani, namun bisa menjual semahal mungkin di pasaran. Lebih ekstrem lagi, menjadikan alasan harga tinggi sebagai peluang impor pangan dan menjualnya di dalam negeri. Sungguh praktik ini sangat merugikan petani, dan pemerintah dalam lima tahun ini bekerja keras berperang dengan mafia pangan.Menteri Pertanian Amran Sulaiman bahkan turun menelusuri rantai distribusi, dan berdiri di depan para petani melawan para pencari rente bidang pangan. Melihat persistensi kelompok tertentu dalam mendiskreditkan capaian pembangunan pertanian, kami mengajak semua pihak bersatu padu menyebarkan semangat dan sikap optimisme, antara lain dengan secara aktif membela dan menyejahterakan petani Indonesia.
DALAM rangka memperingati Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2019, banyak sekali pendapat mengenai sektor pangan dan pertanian menyeruak. Apalagi, perayaan kali ini menandai berakhirnya pemerintahan Joko Widodo -Jusuf Kalla (Jokowi-JK) periode 2014- 2019. Evaluasi bercampur opini, bahkan yang berbau politis pun diarahkan terhadap kinerja pemerintah di sektor pangan. Tak jarang pendapat optimistis muncul, tapi ada pula kritik yang diarahkan kepada kinerja pemerintah. Kami sadar bahwa masukan konstruktif sebetulnya sangat dibutuhkan bagi kemajuan pembangunan sektor pertanian. Apalagi, pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri. Memastikan 265 juta rakyat Indonesia mendapatkan akses pangan yang setara bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, banyak capaian di sektor pertanian pada 2019 ini yang patut disyukuri. Bila pengamat mau secara komprehensif membaca data dan tidak memasukkan asumsi pribadi, indikator keberhasilan sektor pertanian bisa terbaca dengan jelas. Keberpihakan pemerintah selama ini dapat terlihat dari kuatnya upaya pemerintah melalui Upsus Pajale (padi, jagung, dan kedelai) untuk membantu petani. Mulai dari subsidi pupuk, benih, perbaikan irigasi, pembuatan embung, pemberian ribuan alsintan, hingga asuransi pertanian diberikan pemerintah untuk membantu petani yang mengalami puso atau gagal panen. Inilah bukti kehadiran pemerintah untuk menyejahterakan petani dan meningkatkan produksi.
Fakta Stok Beras Fakta yang dapat dilihat hari ini, utamanya soal beras, pada 2019 tidak ada impor beras medium sebagai beras yang biasa untuk konsumsi rakyat. Bahkan pada akhir 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras nasional surplus 3,3 juta ton. Terlebih lagi, hingga hari ini tidak ada gejolak stok beras. Saat ini gudang Bulog pun penuh. Stok beras di Bulog tercatat sebanyak 2,5 juta ton. Kondisi stok beras yang melimpah ini menyebabkan Bulog harus menyewa gudang karena masih terus terjadi panen dan Bulog berkewajiban untuk menyerapnya.Tengoklah ujung timur Indonesia, Merauke. Di sana stok beras saat ini melimpah dan pemerintah daerah kebingungan untuk menyimpan hasil panen petani. Tentu kita harus memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada para petani kita yang telah luar biasa bekerja keras menyediakan pangan untuk rakyat.
Deflasi Tiga Bulan Terakhir Indikator lainnya yaitu keberhasilan pemerintah dalam penyediaan pangan dari produksi dalam negeri. Tampak dari stabilnya harga pangan di tingkat konsumen sekalipun pada perayaan hari besar keagamaan maupun tahun baru dalam tiga tahun terakhir. Ini patut diacungi jempol.Stabilnya harga tersebut menyebabkan bahan makanan atau pangan mempunyai kontribusi yang besar dalam menekan inflasi. Pada Agustus lalu kelompok pangan juga mengalami deflasi sebesar 0,19%. Bahkan menurut data yang dirilis BPS per 1 Oktober 2019, harga pangan pada September ini mengalami deflasi sebesar 1,97%.Kondisi ini lagi-lagi menunjukkan bahwa produksi pangan dalam negeri terus membaik untuk memenuhi permintaan pangan yang senantiasa meningkat. Keberhasilan para pelaku sektor pertanian dalam meningkatkan produksi pangan nasional selama lima tahun terakhir terbukti juga telah mampu menurunkan inflasi pangan secara drastis. Masyarakat perlu paham, awal pemerintahan Jokowi-JK pada 2014 tingkat inflasi pangan masih sangat tinggi, yaitu 10,57% dan jauh di atas inflasi umum yang pada waktu itu sekitar 8,36%.Pada 2015 dan 2016 inflasi bahan makanan mulai mengalami penurunan yang sangat drastis, yaitu masing-masing menjadi 4,93% pada 2015 dan 5,69% pada 2016. Pada 2017 bahkan turun menjadi 1,26%. Bila hari ini terjadi deflasi, tentu fakta kecukupan pangan kita telah terbukti, dan hal ini tidak terjadi tiba-tiba akibat mekanisme pasar. Ada kerja keras banyak pihak untuk meningkatkan kemampuan produksi pangan kita.
Kesejahteraan Petani dan Kemiskinan Pada September 2019 lagi-lagi BPS mencatat daya beli atau tingkat kesejahteraan petani semakin membaik dibandingkan pada bulan sebelumnya. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir, angka Nilai Tukar Pertani (NTP) terus naik secara signifikan. NTP bulan Agustus tercatat 103,22, dan naik 0,63% menjadi 103,88. Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) naik 0,02%, dari 113,29 menjadi 113,31. Indikator lainnya yang diungkap BPS, yaitu indeks harga yang diterima petani pun naik 0,14% yang berarti petani makin menikmati hasil jerih payah pertanian.Bila disebutkan kemiskinan perdesaan belum baik, mari simak data resmi BPS. Persentase penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 9,41%, menurun 0,25% poin terhadap September 2018 dan menurun 0,41% poin terhadap Maret 2018. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang, menurun 0,53 juta orang terhadap September 2018 dan menurun 0,80 juta orang terhadap Maret 2018. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2018 sebesar 6,89%, turun menjadi 6,69% pada Maret 2019. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2018 sebesar 13,10%, turun menjadi 12,85% pada Maret 2019. Dibanding September 2018, jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 di daerah perkotaan turun sebanyak 136,5 ribu orang (dari 10,13 juta orang pada September 2018 menjadi 9,99 juta orang pada Maret 2019).Sementara itu, daerah perdesaan turun sebanyak 393,4 ribu orang (dari 15,54 juta orang pada September 2018 menjadi 15,15 juta orang pada Maret 2019). Jika berbicara di tingkat yang lebih makro, BPS merilis angka kemiskinan perdesaan di awal periode pemerintahan pada 2015 tercatat 14,21%, sedangkan di perkotaan 8,29%. Namun, seiring pesatnya pembangunan di perdesaan, angka tersebut perlahan turun dengan pasti. Persentase kemiskinan perdesaan pada Maret 2017 sebesar 13,93% dan pada Maret 2018 menjadi 13,2%. Artinya, tingkat kemiskinan di desa turun sebesar 0,73 poin persen. Sedangkan di perkotaan, tingkat kemiskinan turun sebesar 0,7 poin persen dari 7,72% pada Maret 2017 menjadi 7,02% pada Maret 2018.Jumlah orang miskin di perdesaan juga turun sebesar 1,29 juta dari 17 juta orang pada Maret 2017 menjadi 15,71 juta orang pada Maret 2018. Sedangkan jumlah orang miskin di perkotaan turun sebesar 500.000 orang dari 10,6 juta orang pada Maret 2017 menjadi 10,1 juta orang pada Maret 2018. Jadi, penurunan jumlah orang miskin di desa dua kali lipat dibanding di kota. Sungguh butuh usaha luar biasa untuk menurunkan angka kemiskinan perdesaan secara drastis ini. Angka kemiskinan hanya satu digit, dan terendah sejak 1998. Semuanya diraih dengan kerja keras dan komitmen kuat pemerintah untuk selalu hadir di tengah-tengah rakyat.
Distribusi dan Mafia PanganUpaya penggiringan opini kegagalan pemerintah mengurusi pangan bukan hal yang aneh saat ini. Kami sadar seberapa pun kerasnya upaya pemerintah tidak akan memuaskan semua pihak, utamanya pihak yang "urusannya" terganggu dengan upaya keras pemerintah untuk petani. Sebut saja soal harga beras tinggi selalu dikaitkan dengan stok rendah. Faktanya hukum ekonomi permintaan dan penawaran menjadi tidak berlaku karena rantai distribusi pangan dikendalikan oleh para mafia pangan. Ada pihak yang bahagia bila mampu membeli murah di petani, namun bisa menjual semahal mungkin di pasaran. Lebih ekstrem lagi, menjadikan alasan harga tinggi sebagai peluang impor pangan dan menjualnya di dalam negeri. Sungguh praktik ini sangat merugikan petani, dan pemerintah dalam lima tahun ini bekerja keras berperang dengan mafia pangan.Menteri Pertanian Amran Sulaiman bahkan turun menelusuri rantai distribusi, dan berdiri di depan para petani melawan para pencari rente bidang pangan. Melihat persistensi kelompok tertentu dalam mendiskreditkan capaian pembangunan pertanian, kami mengajak semua pihak bersatu padu menyebarkan semangat dan sikap optimisme, antara lain dengan secara aktif membela dan menyejahterakan petani Indonesia.
(mhd)