Pengamat Hukum Sarankan KPK Harus Disetop Sementara
A
A
A
JAKARTA - Direktur Poltik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menyarankan agar KPK di setop sementara. Cara ini perlu dilakukan agar publik bisa mengetahui apa yang terjadi di internal KPK.
"Kalau saran saya KPK di setop dulu sementara, hal ini untuk menjawab asumsi-asumsi yang ada di masyarakat terkait dengan dugaan bahwa KPK sudah berpolitik, atau memang benar bahwa KPK masih bekerja dalam koridor hukum," kata Sulthan kepada SINDOnews, Selasa (15/10/2019).
Sulthan mengatakan, sampai hari ini yang timbul di masyarakat adalah asumsi pro dan kontra yang tidak mempunyai fakta yang jelas dan cenderung menjadi polemik yang tak berkesudahan. Sehingga kegentingan atau tidak dalam persoalan revisi ini pun masih mengawang-ngawang.
"Selama ini masyarakat hanya melihat dari sisi luarnya saja, kemudian polemik di publik pun terframing kedua belah pihak seolah-olah kondisi hari ini dalam posisi genting dan ramai di publik, hingga pro kontra Perppu revisi UU KPK kian memanas," ujarnya
Di sisi lain, Indonesia adalah rechstaat (negara hukum) bukan machstaat (negara berdasarkan kekuasaan semata). Dengan demikian, desakan agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu merupakan kewenangan legislasi yang dimiliki oleh presiden dalam keadaan genting.
"Presiden menggunakan emergency power dengan menerbitkan Perppu, tentu dengan dasar konstitusional kegentingan yang memaksa. Dasarnya adalah Pasal 22 UUD 1945 ayat (1) yang berisi, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang,” katanya.
Sedangkan dalam ayat (2) berisi Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Sementara, dalam ayat (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Menurut dia, konstitusi mensyaratkan adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai dasar dikeluarkannya Perppu. Penilaian pada kondisi genting tersebut mula-mula berdasarkan subjektifitas presiden semata. Namun pada 2009 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberikan parameter terhadap adanya kondisi kegentingan yang memaksa bagi presiden untuk menerbitkan Perppu.
"Ada 3 hal, pertama adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai dan Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat di atasi dengan cara membentuk undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," papar dia.
Selain itu, subjektif Presiden itu objektivitas politiknya akan dinilai oleh DPR. Berkaca pada kondisi kelembagaan KPK saat ini, UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK masih eksis dan berlaku hingga produk revisi terhadapnya diundangkan, tidak terjadi kekosongan hukum dan undang-undangnya masih cukup untuk melaksanakan agenda pemberantasan korupsi. Bahkan yang terbaru, KPK masih melakukan operasi tangkap tangan di Lampung Utara.
Sebenarnya, perbedaan pendapat dalam melihat sebuah kebijakan itu hal yang biasa dan lumrah terjadi. Oleh karena itu menyikapi kondisi demikian konstitusi menyediakan tiga jalur alternatif untuk menyikapi polemik revisi UU KPK, yaitu, judicial review ke Mahkamah Konstitusi, legislatif review melalui DPR dan eksekutif review sebagai alternatif bagi presiden.
"Dengan cara mengusulkan kembali perubahan terhadap produk revisi tersebut. Dasarnya adalah Pasal 5 ayat (1) Pasal 20 Ayat (1) dan Pasal 24C UUD 1945," tandasnya.
"Kalau saran saya KPK di setop dulu sementara, hal ini untuk menjawab asumsi-asumsi yang ada di masyarakat terkait dengan dugaan bahwa KPK sudah berpolitik, atau memang benar bahwa KPK masih bekerja dalam koridor hukum," kata Sulthan kepada SINDOnews, Selasa (15/10/2019).
Sulthan mengatakan, sampai hari ini yang timbul di masyarakat adalah asumsi pro dan kontra yang tidak mempunyai fakta yang jelas dan cenderung menjadi polemik yang tak berkesudahan. Sehingga kegentingan atau tidak dalam persoalan revisi ini pun masih mengawang-ngawang.
"Selama ini masyarakat hanya melihat dari sisi luarnya saja, kemudian polemik di publik pun terframing kedua belah pihak seolah-olah kondisi hari ini dalam posisi genting dan ramai di publik, hingga pro kontra Perppu revisi UU KPK kian memanas," ujarnya
Di sisi lain, Indonesia adalah rechstaat (negara hukum) bukan machstaat (negara berdasarkan kekuasaan semata). Dengan demikian, desakan agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu merupakan kewenangan legislasi yang dimiliki oleh presiden dalam keadaan genting.
"Presiden menggunakan emergency power dengan menerbitkan Perppu, tentu dengan dasar konstitusional kegentingan yang memaksa. Dasarnya adalah Pasal 22 UUD 1945 ayat (1) yang berisi, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang,” katanya.
Sedangkan dalam ayat (2) berisi Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Sementara, dalam ayat (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Menurut dia, konstitusi mensyaratkan adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai dasar dikeluarkannya Perppu. Penilaian pada kondisi genting tersebut mula-mula berdasarkan subjektifitas presiden semata. Namun pada 2009 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberikan parameter terhadap adanya kondisi kegentingan yang memaksa bagi presiden untuk menerbitkan Perppu.
"Ada 3 hal, pertama adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai dan Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat di atasi dengan cara membentuk undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," papar dia.
Selain itu, subjektif Presiden itu objektivitas politiknya akan dinilai oleh DPR. Berkaca pada kondisi kelembagaan KPK saat ini, UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK masih eksis dan berlaku hingga produk revisi terhadapnya diundangkan, tidak terjadi kekosongan hukum dan undang-undangnya masih cukup untuk melaksanakan agenda pemberantasan korupsi. Bahkan yang terbaru, KPK masih melakukan operasi tangkap tangan di Lampung Utara.
Sebenarnya, perbedaan pendapat dalam melihat sebuah kebijakan itu hal yang biasa dan lumrah terjadi. Oleh karena itu menyikapi kondisi demikian konstitusi menyediakan tiga jalur alternatif untuk menyikapi polemik revisi UU KPK, yaitu, judicial review ke Mahkamah Konstitusi, legislatif review melalui DPR dan eksekutif review sebagai alternatif bagi presiden.
"Dengan cara mengusulkan kembali perubahan terhadap produk revisi tersebut. Dasarnya adalah Pasal 5 ayat (1) Pasal 20 Ayat (1) dan Pasal 24C UUD 1945," tandasnya.
(cip)