Standar Ganda Etika Politik, Ini Beda antara Gerindra dan Demokrat
A
A
A
JAKARTA - Partai Gerindra berusaha memasukkan kadernya sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendatang. Hal itu memunculkan pertanyaan publik mengenai etika politik dan standar kepantasan untuk mengakomodasi elemen kader Partai Gerindra ke dalam pemerintahan mendatang.
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengatakan, ada beberapa hal yang patut dicermati dalam merespon dinamika politik tersebut. Pertama, langkah Gerindra itu menunjukkan tingginya oportunisme di tubuh partai tersebut.
"Sehingga pendekatan politik terhadap pemenang terus saja dilakukan, meskipun menabrak pakem etika berdemokrasi yang menghendaki adanya pemilahan antara koalisi pemerintah dan oposisi," tutur Khoirul Umam, Kamis (10/10/2019).
Padahal selama ini, Gerindra selalu menunjukkan sinisme dan penilaiain negatif yang hitam putih dalam mencermati kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi di berbagai bidang. "Sehingga sangat naif jika sekarang meminta jatah kursi di parlemen," urainya.
Dikatakan peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini, sikap Gerindra ini berbeda dengan Partai Demokrat. Selama lima tahun pemerintahan Jokowi-JK, sikap kritis Demokrat dinilai lebih proporsional dalam mencermati kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi. Bahkan, ketika muncul kekuatan yang hanya bersikap “diam atau mendiamkan” upaya eksploitasi politik identitas untuk mendegradasi legitimasi politik Jokowi, Demokrat lebih bersikap tegas untuk tidak mengikuti ritme dan menolak penggunaan politik identitas.
"Karena itu, sedari awal, keberadaan Demokrat di koalisi Prabowo-Sandi lebih terkesan seperti “kawin paksa”, karena cara pandang politik kebangsaannya relatif lebih dekat dengan koalisi Jokowi," paparnya.
Untuk itu, kata Khoirul Umam, mengingat tebalnya perbedaan cara pandang politik dan kebijakan dengan pemerintah, Gerindra sebaiknya istiqamah saja kepada logika politiknya dengan menjadi oposisi.
"Jika Gerindra memperturutkan oportunisme politiknya, ia akan bertabrakan dengan aspirasi basis pemilih loyalnya yang tidak menghendaki kebersamaan dengan pemerintahan Jokowi. Lagi pula, dalam ruang demokrasi, menjadi oposisi tidak kalah mulia dibanding mereka yang berada di pemerintahan," katanya.
Dikatakan Direktur Eksekutif Center for Democracy & Governance Studies (CDGS) Universitas Paramadina ini, kecenderungan Gerindra ini berbeda dengan Partai Demokrat yang memiliki fenomena split ticket voting, dimana cukup besar basis pemilih loyalnya yang sedari awal cenderung menghendaki kebersamaan dengan pemerintahan Jokowi.
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengatakan, ada beberapa hal yang patut dicermati dalam merespon dinamika politik tersebut. Pertama, langkah Gerindra itu menunjukkan tingginya oportunisme di tubuh partai tersebut.
"Sehingga pendekatan politik terhadap pemenang terus saja dilakukan, meskipun menabrak pakem etika berdemokrasi yang menghendaki adanya pemilahan antara koalisi pemerintah dan oposisi," tutur Khoirul Umam, Kamis (10/10/2019).
Padahal selama ini, Gerindra selalu menunjukkan sinisme dan penilaiain negatif yang hitam putih dalam mencermati kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi di berbagai bidang. "Sehingga sangat naif jika sekarang meminta jatah kursi di parlemen," urainya.
Dikatakan peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini, sikap Gerindra ini berbeda dengan Partai Demokrat. Selama lima tahun pemerintahan Jokowi-JK, sikap kritis Demokrat dinilai lebih proporsional dalam mencermati kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi. Bahkan, ketika muncul kekuatan yang hanya bersikap “diam atau mendiamkan” upaya eksploitasi politik identitas untuk mendegradasi legitimasi politik Jokowi, Demokrat lebih bersikap tegas untuk tidak mengikuti ritme dan menolak penggunaan politik identitas.
"Karena itu, sedari awal, keberadaan Demokrat di koalisi Prabowo-Sandi lebih terkesan seperti “kawin paksa”, karena cara pandang politik kebangsaannya relatif lebih dekat dengan koalisi Jokowi," paparnya.
Untuk itu, kata Khoirul Umam, mengingat tebalnya perbedaan cara pandang politik dan kebijakan dengan pemerintah, Gerindra sebaiknya istiqamah saja kepada logika politiknya dengan menjadi oposisi.
"Jika Gerindra memperturutkan oportunisme politiknya, ia akan bertabrakan dengan aspirasi basis pemilih loyalnya yang tidak menghendaki kebersamaan dengan pemerintahan Jokowi. Lagi pula, dalam ruang demokrasi, menjadi oposisi tidak kalah mulia dibanding mereka yang berada di pemerintahan," katanya.
Dikatakan Direktur Eksekutif Center for Democracy & Governance Studies (CDGS) Universitas Paramadina ini, kecenderungan Gerindra ini berbeda dengan Partai Demokrat yang memiliki fenomena split ticket voting, dimana cukup besar basis pemilih loyalnya yang sedari awal cenderung menghendaki kebersamaan dengan pemerintahan Jokowi.
(pur)