RKUHP, Hak dan Kerugian Ekonomi bagi Perempuan

Selasa, 08 Oktober 2019 - 08:15 WIB
RKUHP, Hak dan Kerugian...
RKUHP, Hak dan Kerugian Ekonomi bagi Perempuan
A A A
Kidung Asmara Sigit
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)

PERTENGAHAN September ini DPR RI menyusun Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Keberadaan sebuah UU KUHP dengan latar belakang konteks sosiologi hukum masyarakat Indonesia penting sekali mengingat sudah seabad lebih bangsa ini menggunakan UU KUHP warisan negeri Belanda. Pencanangan RUU KUHP ini sebenarnya sudah dimulai sejak masa Presiden SBY, kemudian diteruskan di era Presiden Jokowi.

Baru beberapa hari draf RUU ini dikeluarkan, keberadaannya menuai protes besar-besaran karena beberapa pasalnya dianggap kontroversial. RUU KUHP ini juga dianggap sebagai rekodifikasi total bukan amendemen. Berbagai aksi demonstrasi dilakukan mahasiswa di penjuru Indonesia, termasuk pusatnya di sekitaran Gedung DPR RI sejak sepekan lalu.

Banyak yang merasa bahwa peristiwa ini serupa dengan apa yang terjadi pada 1998 karena isi RUU KUHP dan beberapa UU lainnya tidak sejalan dengan semangat demokrasi. Tagar #ReformasiDikorupsi menjadi viral di media sosial sebagai dukungan terhadap aksi demonstrasi.

Terdapat beberapa pasal yang bermasalah di RUU KUHP misalnya: 1) hukuman penjara bagi para koruptor yang justru lebih ringan daripada yang disebutkan dalam UU Tipikor, 2) pasal penghinaan dan makar terhadap presiden dan kekuasaan yang dianggap sebagai “pasal karet” dalam mengkriminalisasi kebebasan berpendapat, 3) pasal terkait sosialisasi alat kontrasepsi yang bertentangan dengan Program KB dan pendidikan seksual, 4) pasal terkait aborsi yang dianggap mengkriminalisasi korban pemerkosaan, 5) pasal zina dan kohabitasi yang mengkriminalisasi privasi warga negara, 6) pasal gelandangan yang bukannya dipelihara oleh negara, namun malah didenda, dan banyak lagi pasal-pasal lainnya.

Selain RUU KUHP yang menjadi tuntutan para demonstran dan masyarakat luas, RUU lainnya yang juga diminta untuk dibatalkan adalah RUU Ketenagakerjaan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), dan RUU Pertanahan. Tuntutan demonstrasi lainnya juga meliputi revisi UU KPK, penghentian kebakaran hutan dan lahan serta penghentian kriminalisasi aktivis.

Dengan ada desakan masyarakat, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto memastikan bahwa RUU KUHP bersama dengan empat RUU lainnya tidak akan disahkan oleh DPR RI periode 2014 –2019. Sementara status RUU KUHP masih dalam penundaan, hari demi hari demonstran terus bertandang ke Senayan untuk memantau dan mendesak pembatalan RUU ini.

Jika RUU ini disahkan, pasal-pasal yang berkenaan dengan hak-hak dan kesehatan reproduksi seksual (HKSR) tidak hanya akan berdampak pada privasi dan hak atas tubuh. Dalam jangka panjang pasal-pasal yang restriktif terhadap perempuan ini dapat berdampak fatal pada kerugian ekonomi nasional yang disumbangkan oleh perempuan.

Pasal 414 mengenai pelarangan sosialisasi alat pencegah kehamilan, juga Pasal 251, 415, dan 470-472 mengenai pelarangan pengguguran kandungan, dianggap bertentangan dengan Program KB, pendidikan seksual di era informasi, dan membuka peluang untuk mengkriminalisasi korban pemerkosaan. Padahal, pendidikan seksual, yang meliputi sosialisasi alat pencegah kehamilan dan legalisasi praktik pengguguran kandungan, dapat mengontrol laju pertumbuhan penduduk (LPP).

Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Lai, Tey, dan Ng (2017) yang menyatakan bahwa alat kontrasepsi terbukti memiliki dampak positif dalam memperlambat LPP hingga lebih dari 40% di Indonesia, Filipina, dan Kamboja sebagai negara Asia Tenggara yang memiliki masalah pengendalian LPP. Jika LPP tidak berhasil dikendalikan, hal ini akan berkontribusi pada peningkatan kemiskinan di Indonesia.Korelasinya telah dibuktikan oleh survei Badan Pusat Statistik (BPS). Data BPS 2010-2018 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin yang turun mencapai 9,41% ditandai juga dengan adanya penurunan jumlah bayi yang lahir dari 2010 sebesar 1,49% menjadi 1,39% pada 2018.
Pasal 417 mengenai zina juga banyak menuai kontroversi. Dengan dilarangnya pula sarana yang memberlangsungkan praktik ini, dalam hal ini prostitusi dan penginapan, maka yang akan bermunculan adalah prostitusi ilegal dan praktik korupsi. Adanya pasar gelap seperti ini justru akan lebih berbahaya terhadap hak asasi manusia seperti memudahkan adanya praktik perdagangan manusia.
Berdasarkan data Kementerian Sosial (Kemensos) pada 2017, terdapat 97.963 pekerja seks yang diselundupkan. Pasal ini juga memungkinkan semakin banyaknya eksploitasi pekerja seksual yang merupakan anak di bawah umur. Berdasarkan data UNICEF Indonesia (1999), 30% perempuan pekerja seks komersial adalah anak-anak di bawah 18 tahun yang dicurigai berasal dari perdagangan manusia.
UNICEF menambahkan bahwa sekitar 40.000 – 70.000 anak-anak mengalami eksploitasi seksual pada 2009. Yang juga tidak kalah penting, penularan virus HIV yang menyebabkan AIDS dari prostitusi liar dapat berkontribusi terhadap munculnya angka HIV/AIDS di Indonesia yang mencapai 13.280 untuk laki-laki dan 9.589 perempuan.

Dampak ekonominya juga nyata, berdasarkan data Kemensos pada 2015, terdapat 56.000 pekerja seks di Indonesia. Jika lapangan pekerjaan ini dihilangkan, berarti sebanyak itu pekerja seks akan kehilangan pekerjaannya yang lagi-lagi menambah angka pengangguran di Indonesia. Dari skala yang lebih luas, restriksi terhadap privasi ini tentu akan berdampak pada penurunan pendapatan dari sektor pariwisata di Indonesia.

Jika pasal ini disahkan, wacana pemerintah mengenai lokalisasi prostitusi sebaiknya kembali dipertimbangkan. Dengan ada pemusatan di suatu daerah, kontrol pemerintah terhadap prostitusi menjadi lebih mudah dalam monitoring masalah-masalah di atas. Tentunya semua tempat yang dilokalisasi ini harus memiliki izin pemerintah. Namun, bebas terjerat dari pasal KUHP mengenai zina.

Pasal 419 mengenai kohabitasi juga harus dikaji ulang. Selain urusan privasi domestik, kohabitasi juga banyak didasari oleh pertimbangan biaya hidup yang lebih ekonomis jika ditanggung bersama orang lain. Jika residensi hanya dapat dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah, akan banyak perempuan tunawisma yang harus mencari kerja dan hal ini tentu akan berdampak pada angka pengangguran.

Idealnya, kebijakan ini juga disertai insentif dari pemerintah untuk meningkatkan angka pernikahan. Misalnya, menyediakan program pembiayaan cicilan rumah, kendaraan, dan program asuransi dengan besaran nilai yang lebih terjangkau bagi pasangan dibandingkan individual. Namun, kembali lagi ke permasalahan bahwa Indonesia surplus penduduk, solusi ini harus dikaji ulang.

Pasal 432 mengenai gelandangan juga banyak dikritisi. Selain karena kaum gelandangan dan fakir yang seharusnya dilindungi bukan didendai negara, beberapa menerjemahkan bahwa pasal ini juga menjerat perempuan yang berada di luar rumah di atas jam curfew sebagai “bergelandang di jalanan”.

Hal ini tentu dilematis bagi pekerja perempuan yang harus pulang malam karena tuntutan pekerjaan. Ditambah lagi dengan survei dari ILO (2016), sebanyak 51,1% tenaga kerja perempuan di Indonesia bekerja pada bidang profesional, manajemen, bisnis, dan jasa. Jika RUU ini disahkan, akan banyak sekali kerugian ekonomi yang harus dikorbankan perempuan untuk meninggalkan pekerjaannya.

Pengadaan pasal ini seharusnya disertai juga dengan adanya regulasi ketenagakerjaan bagi perempuan. Misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan dapat membuat regulasi mengenai pengaturan jam kerja bagi perempuan yang tetap mengakomodasi besaran upah yang sesuai dengan hak mereka atau jaminan transportasi yang aman dari tempat bekerja.

Terakhir, pasal 437 mengatur mengenai ibu yang membuang anaknya setelah dilahirkan. Perbuatan melepas tanggung jawab apalagi dengan cara membuang anak tentu tidak dapat dibenarkan dari segala sisi. Namun, pidana sepertinya bukan merupakan sanksi yang tepat untuk diterapkan.

Dengan menghabiskan hari-hari di tahanan, seorang ibu akan kehilangan kesempatannya untuk mengurus anaknya yang membutuhkan pengasuhan optimal dalam tahun-tahun pertama kelahirannya. Belum lagi jika sang ibu adalah single parent, ia harus menafkahi bayinya dan dirinya sendiri. Dengan dihilangkannya kesempatan untuk mencari pekerjaan, ketidakcukupan finansial kemudian berdampak pada kesehatan ibu dan anak karena kurangnya asupan gizi yang mendukung tumbuh kembang anak.

Serupa dengan pasal gelandangan, ibu yang terbukti membuang anaknya seperti ini seharusnya dibina oleh negara. Dan, jika perlu, diberikan bantuan sosial mengingat banyaknya ibu yang membuang anak berasal dari latar belakang sosial ekonomi di bawah garis kemiskinan.

Kajian dari perspektif hak asasi manusia sudah banyak dilontarkan terhadap pasal-pasal yang memarginalisasi perempuan. Namun, masih minim sekali yang mengkaji dampak ekonomi yang dahsyat dan dapat ditimbulkan jika RUU ini disahkan. Kajian mendalam dari berbagai perspektif dibutuhkan terhadap pasal-pasal yang menyangkut hajat hidup perempuan, juga pasal-pasal lainnya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0864 seconds (0.1#10.140)