Desakan Agar Jokowi Keluarkan Perppu KPK Dinilai Pemaksaan Kegentingan
A
A
A
JAKARTA - Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menilai beberapa waktu belakangan ini desakan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perppu atas revisi UU KPK semakin kecang didengungkan. Bahkan cenderung dipaksakan.
"Kalau begitu maka keluarnya Perppu bukan lagi karena adanya kegentingan yang memaksa seperti disyaratkan oleh konstitusi, melainkan kegentingan yang dipaksakan. Ini sudah lain maknanya," ujar Sulthan saat dihubungi SINDOnews, Selasa (7/10/2019).
Sulthan mengaku memertanyakan pihak-pihak yang getol mendesak presiden keluarkan Perppu. Sulthan menganggap, pihak-pihak ini sangat 'ngotot' seolah-olah jika tidak dikeluarkan Perppu maka negara bisa tenggelam.
Padahal dalam aturan ketatanegaraan kita, kata Sulthan, masih ada upaya hukum lanjutan bagi para pihak yang berkeberatan dengan revisi UU KPK ini. Menurutnya, masih ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kata Sulthan, jika benar mau tertib hukum maka silakan pihak-pihak yang mendesak keluarnya Perppu untuk menempuh jalur konstitusional yang tersedia. "Jangan double standart dalam melihat sesuatu, berpikirlah secara objektif. Dengan begitu republik ini lebih cepat mengarungi badai," tandasnya.
Analis Politik Hukum asal UIN Jakarta ini menilai pemaksaan terhadap Perppu ini karena tidak ditemukan alasan hukum yang kuat untuk menggugatnya ke MK. Artinya norma dalam revisi UU KPK tidak ada yang bertentangan dengan konstitusi.
Jika asumsinya dianggap keliru, lanjut Sulthan, maka silakan nantinya menggugat produk revisi ini ke MK setelah diundangkan agar semua pihak dapat mengujinya secara bersama-sama apakah revisi UU KPK ini telah sesuai atau bertentangan dengan UUD 1945.
"Sehingga segala asumsi yang bergerak liar di luar sana bisa diselesaikan dengan cara-cara terhormat sebagaimana telah diatur oleh aturan yang berlaku."
"Dengan begitu polemik ini bisa cepat diselesaikan sehingga masyarakat luas tidak terombang-ambing oleh propaganda tertentu saja," sambung Sulthan.
"Kalau begitu maka keluarnya Perppu bukan lagi karena adanya kegentingan yang memaksa seperti disyaratkan oleh konstitusi, melainkan kegentingan yang dipaksakan. Ini sudah lain maknanya," ujar Sulthan saat dihubungi SINDOnews, Selasa (7/10/2019).
Sulthan mengaku memertanyakan pihak-pihak yang getol mendesak presiden keluarkan Perppu. Sulthan menganggap, pihak-pihak ini sangat 'ngotot' seolah-olah jika tidak dikeluarkan Perppu maka negara bisa tenggelam.
Padahal dalam aturan ketatanegaraan kita, kata Sulthan, masih ada upaya hukum lanjutan bagi para pihak yang berkeberatan dengan revisi UU KPK ini. Menurutnya, masih ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kata Sulthan, jika benar mau tertib hukum maka silakan pihak-pihak yang mendesak keluarnya Perppu untuk menempuh jalur konstitusional yang tersedia. "Jangan double standart dalam melihat sesuatu, berpikirlah secara objektif. Dengan begitu republik ini lebih cepat mengarungi badai," tandasnya.
Analis Politik Hukum asal UIN Jakarta ini menilai pemaksaan terhadap Perppu ini karena tidak ditemukan alasan hukum yang kuat untuk menggugatnya ke MK. Artinya norma dalam revisi UU KPK tidak ada yang bertentangan dengan konstitusi.
Jika asumsinya dianggap keliru, lanjut Sulthan, maka silakan nantinya menggugat produk revisi ini ke MK setelah diundangkan agar semua pihak dapat mengujinya secara bersama-sama apakah revisi UU KPK ini telah sesuai atau bertentangan dengan UUD 1945.
"Sehingga segala asumsi yang bergerak liar di luar sana bisa diselesaikan dengan cara-cara terhormat sebagaimana telah diatur oleh aturan yang berlaku."
"Dengan begitu polemik ini bisa cepat diselesaikan sehingga masyarakat luas tidak terombang-ambing oleh propaganda tertentu saja," sambung Sulthan.
(kri)