Kabinet Baru Jokowi Harus Kedepankan Kapasitas dan Integritas
A
A
A
JAKARTA - Menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2019 mendatang, itu tentang pembentukan kabinet mulai menghangat. Pembentukan kabinet menjadi hak prerogatif presiden. Namun, ada sejumlah kriteria mendasar yang harus dijadikan acuan oleh presiden dalam menentukan menteri. Di antara yang utama adalah kapasitas dan integritas calon menteri tersebut.
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus memilih sosok yang profesional sebagai pembantunya di kabinet selama lima tahun ke depan.
”Memiliki kompetensi di bidangnya, kemudian rekam jejaknya baik atau positif ya. Artinya dia tidak punya cacat. Cacat hukum, cacat politik, cacat apapun,” tutur Syamsuddin Haris di sela diskusi bertajuk ”Perppu UU KPK dan Gerakan Mahasiswa di Mata Publik” di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2019).
Hal lain yang harus diperhatikan dalam memilih seorang menteri adalah harus memiliki integritas yang baik. ”Dia tidak punya cacat baik itu hukum, politik, ataupun cacat personal (seperti) menyelingkuhi istri orang,” katanya.
Senada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan, kabinet yang akan dibentuk Jokowi harus efektif. Artinya bagaimana kabinet mendatang bisa secara cepat mewujudkan visi Indonesia yang diinginkan presiden.
Selain itu, kabinet yang efektif harus memiliki dukungan politik yang cukup. ”Itu saya kira sudah ada, tinggal bagaimana Presiden memastikan bahwa agenda-agenda prioritas itu bisa dilaksanakan,” tuturnya.
Dalam menentukan kriteria seorang menteri, Djayadi mengatakan hal utama yang harus diperhatikan adalah kapasitas dan integritas yang di dalamnya juga memiliki dukungan publik dan politik.
”Dengan begitu dia bisa bergerak leluasa dalam membantu presiden. Tetapkan dulu kriteria, baru Presiden menetapkan berapa dari parpol, berapa nonparpol. Yang nonparpol presiden bisa membentuk tim seleksi, yang dari parpol tinggal meminta ke parpol dengan criteria yang ditetapkan Presiden,” tuturnya.
Menurutnya, karena semua parpol sudah sepakat bahwa pembentukan kabinet menjadi hak prerogatif presiden maka presiden harus menunjukkan bahwa dia memegang kepemimpinan yang kuat. ”Presiden harus menunjukkan leadership di sini, harus menunjukkan bahwa dialah yang menjadi driver yang mengemudikan proses pembentukan kabinet ini,” urainya.
Djayadi juga menekankan untuk agenda-agenda prioritas presiden maka harus diisi orang-orang nonparpol. Misalnya agenda yang terkait
infrastruktur.
”Anda bayangin kalau menterinya dari parpol akan terjadi kecemburuan di internal partai, gontok-gontokan, tarik-menarik kepentingan dan sebagainya. Maka, serahkan kepada orang nonparpol supaya bisa menjaga jarak dengan semua parpol. Termasuk juga menteri-menteri yang mengurusi agenda sumber daya manusia termasuk pendidikan, kesehatan, dan sosial,” katanya.
Begitu pula yang terkait dengan upaya mereformasi birokrasi. ”Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri itu juga sebaiknya diserahkan nonparpol supaya menjaga jarak dengan semua parpol dan tidak menimbulkan kecemburuan satu dengan yang lain,” katanya.
Untuk menteri yang dari parpol, menurut Djayadi, biasanya muncul pertanyaan dalam hal kapasitas dan loyalitas. ”Maka presiden harus membuat proses di parpol itu bukan sekadar akomodasi orang-orang parpol, tapi minimal orang yang ditujuk presiden untuk orang-orang yang tak memiliki cacat kapasitas dan integritas,” katanya.
Selain itu, presiden bisa memastikan orang itu betul-betul dikenalnya sehingga dia bisa loyalitasnya kepada presiden. ”Kalau itu bisa dilakukan maka kabinet presiden bisa efektif ke depan,” katanya. abdul rochim
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus memilih sosok yang profesional sebagai pembantunya di kabinet selama lima tahun ke depan.
”Memiliki kompetensi di bidangnya, kemudian rekam jejaknya baik atau positif ya. Artinya dia tidak punya cacat. Cacat hukum, cacat politik, cacat apapun,” tutur Syamsuddin Haris di sela diskusi bertajuk ”Perppu UU KPK dan Gerakan Mahasiswa di Mata Publik” di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2019).
Hal lain yang harus diperhatikan dalam memilih seorang menteri adalah harus memiliki integritas yang baik. ”Dia tidak punya cacat baik itu hukum, politik, ataupun cacat personal (seperti) menyelingkuhi istri orang,” katanya.
Senada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan, kabinet yang akan dibentuk Jokowi harus efektif. Artinya bagaimana kabinet mendatang bisa secara cepat mewujudkan visi Indonesia yang diinginkan presiden.
Selain itu, kabinet yang efektif harus memiliki dukungan politik yang cukup. ”Itu saya kira sudah ada, tinggal bagaimana Presiden memastikan bahwa agenda-agenda prioritas itu bisa dilaksanakan,” tuturnya.
Dalam menentukan kriteria seorang menteri, Djayadi mengatakan hal utama yang harus diperhatikan adalah kapasitas dan integritas yang di dalamnya juga memiliki dukungan publik dan politik.
”Dengan begitu dia bisa bergerak leluasa dalam membantu presiden. Tetapkan dulu kriteria, baru Presiden menetapkan berapa dari parpol, berapa nonparpol. Yang nonparpol presiden bisa membentuk tim seleksi, yang dari parpol tinggal meminta ke parpol dengan criteria yang ditetapkan Presiden,” tuturnya.
Menurutnya, karena semua parpol sudah sepakat bahwa pembentukan kabinet menjadi hak prerogatif presiden maka presiden harus menunjukkan bahwa dia memegang kepemimpinan yang kuat. ”Presiden harus menunjukkan leadership di sini, harus menunjukkan bahwa dialah yang menjadi driver yang mengemudikan proses pembentukan kabinet ini,” urainya.
Djayadi juga menekankan untuk agenda-agenda prioritas presiden maka harus diisi orang-orang nonparpol. Misalnya agenda yang terkait
infrastruktur.
”Anda bayangin kalau menterinya dari parpol akan terjadi kecemburuan di internal partai, gontok-gontokan, tarik-menarik kepentingan dan sebagainya. Maka, serahkan kepada orang nonparpol supaya bisa menjaga jarak dengan semua parpol. Termasuk juga menteri-menteri yang mengurusi agenda sumber daya manusia termasuk pendidikan, kesehatan, dan sosial,” katanya.
Begitu pula yang terkait dengan upaya mereformasi birokrasi. ”Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri itu juga sebaiknya diserahkan nonparpol supaya menjaga jarak dengan semua parpol dan tidak menimbulkan kecemburuan satu dengan yang lain,” katanya.
Untuk menteri yang dari parpol, menurut Djayadi, biasanya muncul pertanyaan dalam hal kapasitas dan loyalitas. ”Maka presiden harus membuat proses di parpol itu bukan sekadar akomodasi orang-orang parpol, tapi minimal orang yang ditujuk presiden untuk orang-orang yang tak memiliki cacat kapasitas dan integritas,” katanya.
Selain itu, presiden bisa memastikan orang itu betul-betul dikenalnya sehingga dia bisa loyalitasnya kepada presiden. ”Kalau itu bisa dilakukan maka kabinet presiden bisa efektif ke depan,” katanya. abdul rochim
(cip)