Implikasi 10 Pimpinan MPR
A
A
A
Ali Rido Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Resmi sudah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengesahkan tata tertib mengenai 10 pimpinan pada akhir sidang paripurna, 27 September 2019. Tentu ini menjadi dinamika ketatanegaraan menarik dan problematik sekaligus.
Dalih efektivitas guna terlaksananya kewenangan MPR menjadi narasi atas urgensi ditambahnya kursi pimpinan di lembaga yang terdiri atas anggota DPR dan DPD tersebut. Argumentasi itu tampaknya perlu diuji mengingat bertambahnya kursi bukan hanya berdampak pada anggaran, tetapi akan pula berdampak pada dinamika ketatanegaraan.
Merenungkan Kinerja
Mendalilkan efektivitas kinerja sebuah lembaga negara tentu harus disandarkan pada kewenangan yang dimiliki lembaga tersebut. MPR sebagai lembaga negara dalam Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) paling tidak memiliki kewenangan sebagai berikut: (1) mengubah dan menetapkan perubahan UUD, (2) melantik presiden dan/atau wakil presiden; dan (3) memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Kewenangan tersebut dalam implementasinya tak perlu membutuhkan energi lebih melalui jumlah pimpinannya.
Alasannya tentu karena, jika ditelisik, pelaksanaan kewenangannya itu didesain berdasarkan momentum, yaitu momentum selepas pemilihan umum presiden dan wakilnya serta momentum jika terjadi perubahan terhadap UUD dan momentum manakala terjadi pemakzulan presiden atau wakilnya.
Oleh karena itu tak salah jika kemudian ada yang beropini lembaga ad hoc saja cukup untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kewenangan yang sifatnya momentum itu pada gilirannya telah memaksa MPR mencari cara agar terlihat melaksanakan kewenangan yang sifatnya rutin seperti lembaga negara lain.
Salah satu yang coba diramu ialah melakukan sosialisasi 4 Pilar Negara berupa Pancasila, UUD NRI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhi n neka Tunggal Ika . Sayangnya sosialisasi 4 Pilar menjadi blunder karena MPR kala itu terlalu yakin menempatkan Pancasila sebagai pilar bangsa, bukan dasar negara. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013 mengoreksinya.
Artinya apa yang disosialisasikan MPR sebelum putusan MK itu salah dan potensial menyesatkan serta minim manfaat. Belajar dari itu, terdapat dua hikmah penting yang idealnya direnungi oleh MPR: pertama , seharusnya yang lebih penting untuk ditata ialah pemahaman mendalam soal esensi ketatanegaraan ketimbang mengalkulasi jumlah kursi pimpinan. Kedua , efektivitas implementasi kewenangan lembaga MPR yang basisnya bukan dari banyak sedikitnya jumlah pimpinan, melainkan pemikiran untuk mewujudkan kemanfaatan.
Di sisi lain Pancasila yang diikutsertakan sebagai bagian sosialisasi oleh MPR akhir-akhir ini justru lebih masif, kontinu dan terarah dilakukan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Bahkan secara tak langsung BPIP dalam menyosialisasi Pancasila juga turut menyosialisasi UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhin n eka Tunggal Ika karena ketiganya bagian yang mustahil untuk dipisahkan ketika berbicara mengenai Pancasila.
Dengan demikian sosialisasi oleh MPR atas UUD 1945, NKRI, dan Bhin n eka Tunggal Ika telah ada lembaga yang mewadahinya secara mapan baik dari segi pendanaan maupun sumber daya manusianya. Oleh karena itu apakah masih urgen tugas itu dilakukan MPR?
Implikasi Ketatanegaraan
MPR sebagai lembaga negara dimaksudkan sebagai wadah bermusyawarah untuk membicarakan berbagai kepentingan bangsa, bukan berbicara kepentingan politik. Oleh karena itu keanggotaannya terdiri atas DPR dan DPD. Secara filosofis perwakilan dari dua lembaga negara itu memiliki makna untuk mewakili kepentingan masing-masing.
Keanggotaan MPR yang berasal dari DPR berarti merepresentasi kepentingan politik, sedangkan unsur keanggotaan DPD merepresentasi kepentingan daerah. Filosofi itu idealnya berimbang baik dari segi keanggotaan maupun pimpinan di lembaga MPR. Akan tetapi dengan bertambahnya kursi pimpinan yang hanya diperuntukkan bagi perwakilan DPR, tentu hal itu akan berimplikasi terhadap dinamika ketatanegaraan.
Implikasi tersebut sebagai berikut: pertama , peran DPD kian kritis. Banyaknya jumlah pimpinan MPR yang berasal dari partai politik potensial mengucilkan peran DPD dalam forum musyawarah di lembaga MPR. Akibatnya berbagai kepentingan daerah yang bernilai kebangsaan potensial kehilangan daya tawar untuk dimusyawarahkan karena terlalu didominasi kepentingan politik yang berasal dari DPR. Kedua , MPR menjadi rumah kedua DPR sebagai lembaga politik.
Padahal hadirnya MPR adalah sebagai rumah bangsa yang kental dengan perbincangan untuk merumuskan agenda kebangsaan. Representasi dominan pimpinan MPR dari perwakilan politik akan menggerus citra ketatanegaraan yang dibangun atas musyawarah untuk mufakat dalam memutuskan kepentingan bangsa.
Idealnya jika menghendaki MPR betul-betul sebagai rumah bangsa, penambahan kursi pimpinan MPR wajib menambah perwakilan dari unsur DPD, bukan hanya memberi kursi pada perwakilan DPR. Hal itu dimaksudkan agar tercipta keseimbangan ketika memusyawarahkan kepentingan dalam tubuh MPR.Hadirnya Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD secara implisit sejatinya menghendaki adanya keseimbangan pada level pimpinan mengingat jika dari segi keanggotaan tak memungkinkan. Pada konteks itu idealnya tambahan terhadap kursi pimpinan MPR dilakukan.
Resmi sudah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengesahkan tata tertib mengenai 10 pimpinan pada akhir sidang paripurna, 27 September 2019. Tentu ini menjadi dinamika ketatanegaraan menarik dan problematik sekaligus.
Dalih efektivitas guna terlaksananya kewenangan MPR menjadi narasi atas urgensi ditambahnya kursi pimpinan di lembaga yang terdiri atas anggota DPR dan DPD tersebut. Argumentasi itu tampaknya perlu diuji mengingat bertambahnya kursi bukan hanya berdampak pada anggaran, tetapi akan pula berdampak pada dinamika ketatanegaraan.
Merenungkan Kinerja
Mendalilkan efektivitas kinerja sebuah lembaga negara tentu harus disandarkan pada kewenangan yang dimiliki lembaga tersebut. MPR sebagai lembaga negara dalam Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) paling tidak memiliki kewenangan sebagai berikut: (1) mengubah dan menetapkan perubahan UUD, (2) melantik presiden dan/atau wakil presiden; dan (3) memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Kewenangan tersebut dalam implementasinya tak perlu membutuhkan energi lebih melalui jumlah pimpinannya.
Alasannya tentu karena, jika ditelisik, pelaksanaan kewenangannya itu didesain berdasarkan momentum, yaitu momentum selepas pemilihan umum presiden dan wakilnya serta momentum jika terjadi perubahan terhadap UUD dan momentum manakala terjadi pemakzulan presiden atau wakilnya.
Oleh karena itu tak salah jika kemudian ada yang beropini lembaga ad hoc saja cukup untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kewenangan yang sifatnya momentum itu pada gilirannya telah memaksa MPR mencari cara agar terlihat melaksanakan kewenangan yang sifatnya rutin seperti lembaga negara lain.
Salah satu yang coba diramu ialah melakukan sosialisasi 4 Pilar Negara berupa Pancasila, UUD NRI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhi n neka Tunggal Ika . Sayangnya sosialisasi 4 Pilar menjadi blunder karena MPR kala itu terlalu yakin menempatkan Pancasila sebagai pilar bangsa, bukan dasar negara. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013 mengoreksinya.
Artinya apa yang disosialisasikan MPR sebelum putusan MK itu salah dan potensial menyesatkan serta minim manfaat. Belajar dari itu, terdapat dua hikmah penting yang idealnya direnungi oleh MPR: pertama , seharusnya yang lebih penting untuk ditata ialah pemahaman mendalam soal esensi ketatanegaraan ketimbang mengalkulasi jumlah kursi pimpinan. Kedua , efektivitas implementasi kewenangan lembaga MPR yang basisnya bukan dari banyak sedikitnya jumlah pimpinan, melainkan pemikiran untuk mewujudkan kemanfaatan.
Di sisi lain Pancasila yang diikutsertakan sebagai bagian sosialisasi oleh MPR akhir-akhir ini justru lebih masif, kontinu dan terarah dilakukan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Bahkan secara tak langsung BPIP dalam menyosialisasi Pancasila juga turut menyosialisasi UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhin n eka Tunggal Ika karena ketiganya bagian yang mustahil untuk dipisahkan ketika berbicara mengenai Pancasila.
Dengan demikian sosialisasi oleh MPR atas UUD 1945, NKRI, dan Bhin n eka Tunggal Ika telah ada lembaga yang mewadahinya secara mapan baik dari segi pendanaan maupun sumber daya manusianya. Oleh karena itu apakah masih urgen tugas itu dilakukan MPR?
Implikasi Ketatanegaraan
MPR sebagai lembaga negara dimaksudkan sebagai wadah bermusyawarah untuk membicarakan berbagai kepentingan bangsa, bukan berbicara kepentingan politik. Oleh karena itu keanggotaannya terdiri atas DPR dan DPD. Secara filosofis perwakilan dari dua lembaga negara itu memiliki makna untuk mewakili kepentingan masing-masing.
Keanggotaan MPR yang berasal dari DPR berarti merepresentasi kepentingan politik, sedangkan unsur keanggotaan DPD merepresentasi kepentingan daerah. Filosofi itu idealnya berimbang baik dari segi keanggotaan maupun pimpinan di lembaga MPR. Akan tetapi dengan bertambahnya kursi pimpinan yang hanya diperuntukkan bagi perwakilan DPR, tentu hal itu akan berimplikasi terhadap dinamika ketatanegaraan.
Implikasi tersebut sebagai berikut: pertama , peran DPD kian kritis. Banyaknya jumlah pimpinan MPR yang berasal dari partai politik potensial mengucilkan peran DPD dalam forum musyawarah di lembaga MPR. Akibatnya berbagai kepentingan daerah yang bernilai kebangsaan potensial kehilangan daya tawar untuk dimusyawarahkan karena terlalu didominasi kepentingan politik yang berasal dari DPR. Kedua , MPR menjadi rumah kedua DPR sebagai lembaga politik.
Padahal hadirnya MPR adalah sebagai rumah bangsa yang kental dengan perbincangan untuk merumuskan agenda kebangsaan. Representasi dominan pimpinan MPR dari perwakilan politik akan menggerus citra ketatanegaraan yang dibangun atas musyawarah untuk mufakat dalam memutuskan kepentingan bangsa.
Idealnya jika menghendaki MPR betul-betul sebagai rumah bangsa, penambahan kursi pimpinan MPR wajib menambah perwakilan dari unsur DPD, bukan hanya memberi kursi pada perwakilan DPR. Hal itu dimaksudkan agar tercipta keseimbangan ketika memusyawarahkan kepentingan dalam tubuh MPR.Hadirnya Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD secara implisit sejatinya menghendaki adanya keseimbangan pada level pimpinan mengingat jika dari segi keanggotaan tak memungkinkan. Pada konteks itu idealnya tambahan terhadap kursi pimpinan MPR dilakukan.
(nag)