Harapan pada DPR
A
A
A
Abdul Mu’ti
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
TANGGAL 1 Oktober 2019, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2019-2024 resmi dilantik. Mereka dilantik di tengah keriuhan politik dan demonstrasi mahasiswa serta pelajar yang memprotes beberapa rancangan undang-undang produk DPR periode sebelumnya. Bagi yang memiliki sensitivitas politik, realitas politik tersebut merupakan beban moral dan tantangan yang begitu berat. Tidak ada waktu dan tidak perlu ada pesta-pesta. Semua sudah harus langsung bekerja.
Lima Tantangan
Di tengah berbagai permasalahan bangsa dan polarisasi politik, DPR baru memiliki lima tantangan yang harus dijawab dengan kinerja. Pertama , citra dan persepsi publik yang buruk. Berbagai survei menunjukkan DPR sebagai salah satu lembaga paling korup. Aroma kolusi dan korupsi di DPR begitu semerbak. Satu per satu anggota DPR menjadi pesakitan KPK. Moralitas DPR menjadi masalah yang serius.
Kedua , tantangan kualitas dan produktivitas legislasi. Rapor DPR pada aspek ini nilainya merah. Target pengesahan undang-undang sangat rendah, jauh di bawah target. Selain itu, beberapa undang-undang gugur di Mahkamah Konstitusi. Kualitas produk legislasi di bawah standar.
Ketiga , tantangan independensi. Konstitusi memberikan mandat, wewenang, dan perlindungan yang besar pada DPR. Demi menyampaikan aspirasi rakyat dan membela kebenaran, pernyataan mereka di gedung parlemen bebas dari jerat hukum. Sayangnya, DPR lebih banyak berpihak pada kepentingan penguasa dan pemodal. Akibat sistem pemilu liberal dan biaya politik yang mahal, banyak anggota DPR jatuh ke tangan "rentenir politik" yang harus dibayar dengan barter kebijakan dan perundang-undangan. Banyak anggota DPR sejatinya hanyalah robot, beo, atau loud speaker pemodal yang telah berinvestasi mengantarkan mereka ke Senayan.
Keempat , tantangan moral-sosial. Gaji yang tinggi dan fasilitas mewah membuat banyak anggota DPR kaya mendadak. Secara pribadi, banyak anggota DPR yang exhibisionist : mempertontonkan kekayaan secara demonstratif di tengah kemelaratan konstituen yang memilihnya. Sebagian anggota DPR kehilangan jati diri, kepekaan sosial luntur, dan akhlak hancur. Broken home , narkoba, dan berbagai masalah kriminal, menjadi fenomena yang relatif lazim di kalangan sebagian wakil rakyat.
Kelima , tantangan nasionalisme. Dalam banyak peristiwa, DPR tampak lebih berpihak kepada kelompok interest , golongan, dan kepentingan partai. Kepentingan bangsa dan negara terkalahkan. Hal demikian bisa dibuktikan dari materi beberapa undang-undang dan pemilihan pejabat negara. Masyarakat mempertanyakan pertimbangan DPR memilih komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan beberapa anggota lembaga negara lainnya. Fit and proper test hanya formalitas. Penentunya adalah "barter" antarpartai dan "gizi". DPR telah menanam nisan sistem meritokrasi: objektivitas, kapasitas, dan integritas.
Secercah Harapan
Apakah DPR akan berubah? Tidak, sama saja, so-so , lebih buruk, atau Wallahualam . Itulah lima jawaban paling mungkin. Pertama , sebagian besar anggota DPR adalah muka lama. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), 289 (50,26%) dari 575 anggota DPR periode 2019-2024 adalah petahana. Selebihnya 286 (49,74%) adalah anggota baru. Dari sisi pendidikan, mayoritas anggota DPR tamatan perguruan tinggi: D3= 6 (1%), D4/S1= 199 (34,4 %), S2= 210 (36,5 %), dan S3= 53 (9,2 %). Hanya 56 (9,6%) berpendidikan SMA/sederajat. Mayoritas anggota berusia muda: 21-40 tahun= 95 (16,52%), 41-60 tahun= 384 (66,79%), dan di atas 60 tahun= 96 (16,70%).
Kedua , kekuatan partai pendukung pemerintah sangat dominan. Kalau Partai Demokrat bergabung dengan koalisi, kursi pendukung pemerintah 403 (70,1%). Tiga partai lainnya, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebanyak 172 (29,9 %) kursi. Komposisi ini akan memudahkan proses pengambilan keputusan dan kegaduhan.
Perubahan masih tetap terbuka, walaupun sangat kecil. Masih ada secercah harapan. Tidak boleh ada kata putus asa. Pertama , spirit dan semangat anggota DPR yang baru dan petahana yang berintegritas serta berpengalaman. Banyak wajah baru dengan rekam jejak yang baik. Kedua , harapan terbuka apabila anggota DPR mampu menjawab lima tantangan tersebut. Kinerja adalah kunci jawaban yang paling utama.
Harapan lainnya terletak pada peran masyarakat sipil. Kelompok kritis pro demokrasi dan Reformasi mulai bangkit. Seperti ada reinkarnasi mahasiswa sebagai kekuatan kontrol. DPR perlu lebih banyak berkomunikasi dengan masyarakat sipil. Maraknya aksi demonstrasi—tampaknya—disebabkan oleh sikap dan perilaku DPR yang berjalan sendiri, menutup telinga, tidak melihat dengan hati yang jernih, mata yang awas, dan tidak berbicara dengan masyarakat.
Ibarat sebuah kelahiran, pelantikan adalah momentum bagi DPR untuk hadir sebagai sosok baru. Masyarakat berharap DPR berubah menjadi lembaga yang lebih amanah.***
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
TANGGAL 1 Oktober 2019, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2019-2024 resmi dilantik. Mereka dilantik di tengah keriuhan politik dan demonstrasi mahasiswa serta pelajar yang memprotes beberapa rancangan undang-undang produk DPR periode sebelumnya. Bagi yang memiliki sensitivitas politik, realitas politik tersebut merupakan beban moral dan tantangan yang begitu berat. Tidak ada waktu dan tidak perlu ada pesta-pesta. Semua sudah harus langsung bekerja.
Lima Tantangan
Di tengah berbagai permasalahan bangsa dan polarisasi politik, DPR baru memiliki lima tantangan yang harus dijawab dengan kinerja. Pertama , citra dan persepsi publik yang buruk. Berbagai survei menunjukkan DPR sebagai salah satu lembaga paling korup. Aroma kolusi dan korupsi di DPR begitu semerbak. Satu per satu anggota DPR menjadi pesakitan KPK. Moralitas DPR menjadi masalah yang serius.
Kedua , tantangan kualitas dan produktivitas legislasi. Rapor DPR pada aspek ini nilainya merah. Target pengesahan undang-undang sangat rendah, jauh di bawah target. Selain itu, beberapa undang-undang gugur di Mahkamah Konstitusi. Kualitas produk legislasi di bawah standar.
Ketiga , tantangan independensi. Konstitusi memberikan mandat, wewenang, dan perlindungan yang besar pada DPR. Demi menyampaikan aspirasi rakyat dan membela kebenaran, pernyataan mereka di gedung parlemen bebas dari jerat hukum. Sayangnya, DPR lebih banyak berpihak pada kepentingan penguasa dan pemodal. Akibat sistem pemilu liberal dan biaya politik yang mahal, banyak anggota DPR jatuh ke tangan "rentenir politik" yang harus dibayar dengan barter kebijakan dan perundang-undangan. Banyak anggota DPR sejatinya hanyalah robot, beo, atau loud speaker pemodal yang telah berinvestasi mengantarkan mereka ke Senayan.
Keempat , tantangan moral-sosial. Gaji yang tinggi dan fasilitas mewah membuat banyak anggota DPR kaya mendadak. Secara pribadi, banyak anggota DPR yang exhibisionist : mempertontonkan kekayaan secara demonstratif di tengah kemelaratan konstituen yang memilihnya. Sebagian anggota DPR kehilangan jati diri, kepekaan sosial luntur, dan akhlak hancur. Broken home , narkoba, dan berbagai masalah kriminal, menjadi fenomena yang relatif lazim di kalangan sebagian wakil rakyat.
Kelima , tantangan nasionalisme. Dalam banyak peristiwa, DPR tampak lebih berpihak kepada kelompok interest , golongan, dan kepentingan partai. Kepentingan bangsa dan negara terkalahkan. Hal demikian bisa dibuktikan dari materi beberapa undang-undang dan pemilihan pejabat negara. Masyarakat mempertanyakan pertimbangan DPR memilih komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan beberapa anggota lembaga negara lainnya. Fit and proper test hanya formalitas. Penentunya adalah "barter" antarpartai dan "gizi". DPR telah menanam nisan sistem meritokrasi: objektivitas, kapasitas, dan integritas.
Secercah Harapan
Apakah DPR akan berubah? Tidak, sama saja, so-so , lebih buruk, atau Wallahualam . Itulah lima jawaban paling mungkin. Pertama , sebagian besar anggota DPR adalah muka lama. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), 289 (50,26%) dari 575 anggota DPR periode 2019-2024 adalah petahana. Selebihnya 286 (49,74%) adalah anggota baru. Dari sisi pendidikan, mayoritas anggota DPR tamatan perguruan tinggi: D3= 6 (1%), D4/S1= 199 (34,4 %), S2= 210 (36,5 %), dan S3= 53 (9,2 %). Hanya 56 (9,6%) berpendidikan SMA/sederajat. Mayoritas anggota berusia muda: 21-40 tahun= 95 (16,52%), 41-60 tahun= 384 (66,79%), dan di atas 60 tahun= 96 (16,70%).
Kedua , kekuatan partai pendukung pemerintah sangat dominan. Kalau Partai Demokrat bergabung dengan koalisi, kursi pendukung pemerintah 403 (70,1%). Tiga partai lainnya, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebanyak 172 (29,9 %) kursi. Komposisi ini akan memudahkan proses pengambilan keputusan dan kegaduhan.
Perubahan masih tetap terbuka, walaupun sangat kecil. Masih ada secercah harapan. Tidak boleh ada kata putus asa. Pertama , spirit dan semangat anggota DPR yang baru dan petahana yang berintegritas serta berpengalaman. Banyak wajah baru dengan rekam jejak yang baik. Kedua , harapan terbuka apabila anggota DPR mampu menjawab lima tantangan tersebut. Kinerja adalah kunci jawaban yang paling utama.
Harapan lainnya terletak pada peran masyarakat sipil. Kelompok kritis pro demokrasi dan Reformasi mulai bangkit. Seperti ada reinkarnasi mahasiswa sebagai kekuatan kontrol. DPR perlu lebih banyak berkomunikasi dengan masyarakat sipil. Maraknya aksi demonstrasi—tampaknya—disebabkan oleh sikap dan perilaku DPR yang berjalan sendiri, menutup telinga, tidak melihat dengan hati yang jernih, mata yang awas, dan tidak berbicara dengan masyarakat.
Ibarat sebuah kelahiran, pelantikan adalah momentum bagi DPR untuk hadir sebagai sosok baru. Masyarakat berharap DPR berubah menjadi lembaga yang lebih amanah.***
(pur)