KPK dalam Kuasa Negara dan Oligarki Korupsi

Sabtu, 28 September 2019 - 06:38 WIB
KPK dalam Kuasa Negara dan Oligarki Korupsi
KPK dalam Kuasa Negara dan Oligarki Korupsi
A A A
Eko Cahyono
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute (2015-2018). Peneliti Agraria dan Korupsi SDA

JIKA ada pertanyaan apa yang tersisa dari Agenda Reformasi 1998 maka denga mudah akan dijawab: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK bukan semata lembaga antirasuah. Dalam rentang dinamikanya, kini telah mewujud sebagai "sandaran moral", kepercayaan dan "kewarasan" yang tersisa di negeri ini.
Bagaimana tidak, jika publik luas mudah menjumpai hampir semua instrumen institusi pemerintah, dari tingkat desa hingga negara, dari partai politik, kementerian/lembaga hingga tokoh agama terpapar rasuah. Berlaku korup, seolah hampir alamiah, sebab banyak dilakukan secara berjamaah. Akibat terjauhnya, kata Buya Syafi’i Ma’arif, bangsa ini sulit sembuh dari penyakit kronisnya, menganaktirikan sila kedua dan kelima dari dasar negara Pancasila.

Warisan budaya politik Orde Baru selama lebih 32 tahun menjadi lahan subur merajalelanya sistem birocatic corrupt yang dikenal KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) bersifat akut dan sistemis. Meski rezim Orde Baru runtuh, menurut R Robison dan Vedi R Hadiz dalam, "Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market" (2004) warisan kuasa oligarki ekonomi dan politiknya pada dasarnya tidak ikut tumbang. Oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto terus bertransformasi dengan menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh skema neoliberalisme, misal demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi yang berkelindan dengan agenda politik negara.

Selepas empat tahun Reformasi, KPK dilahirkan. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman pada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Singkatnya, KPK mesti menunjukkan positioning lembaganya berhadapan dengan warisan panjang sistem korup negara. Daftar panjang hasil dari tim penindakan yang berorientasi pada "aspek jera" pada koruptor dan tim pencegahan yang berorientasi pada "perbaikan sistem" yang lebih transparan dan adil dapat dilacak dengan mudah di laporan tahunan, laman KPK, dan ragam media.

Mengutip pesan terbuka Agus Rahardjo, ketua KPK, data hingga Juni 2019 saja ada 27 menteri dan kepala lembaga yang dijerat, dan 208 perkara yang menjerat pejabat tinggi di instansi, yaitu setingkat eselon I, II dan III. Tercatat, ketua DPR RI dan ketua DPD aktif, dan sejumlah menteri aktif yang melakukan korupsi juga ikut diproses. Pelaku pejabat publik terbanyak adalah para anggota DPR dan DPRD, yaitu dalam 255 perkara.

Kemudian kepala daerah berjumlah 110 perkara. Mereka diproses dalam kasus korupsi dan ada juga yang dijerat pencucian uang. Angka-angka di atas tentu bukan sekadar hitungan numerik orang-orang yang pada akhirnya menjadi tersangka hingga dapat disebut koruptor. Kasus-kasus tersebut tentu juga terkait ratusan proyek pemerintah dan perizinan. Lebih dari 70 % kepala daerah, dalam pilkada, didukung pendanaannya oleh korporasi (mayoritas berbasis sumber daya alam), dengan kompensasi kemudahan izin dan konsesi. Inilah yang menjadi dasar mengapa banyak kepala daerah di jeruji KPK.

Jika dipadatkan, setidaknya ada lima ranah terobosan yang dicapai dalam perjalanan KPK selama ini: (1) memberi bukti bahwa para penguasa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan Polri/TNI tidak kebal hukum. Daftar nama politisi dan kroninya menjadi berita harian negeri ini sejak KPK berdiri. Hal yang sulit dilihat di era Orba dulu. (2) "menganggu", mengoreksi dan membenahi status quo , oligarki, dan sistem birokrasi yang korup. (3) mendidik publik luas secara terus-menerus tentang kebocoran dan kerugian negara dengan beragam modusnya. (4) mengingatkan betapa kayanya bangsa ini, dan mampu mencukupi seluruh rakyat negeri jika tidak dikorupsi. (5) mendidik publik luas berani jujur mengungkap ketidakadilan berbasis korupsi, sehingga menjadi muara lilin kesadaran kolektif bangsa di tengah sistem politik serba "remang-remang" lahan subur budaya korup.

Negara: Melayani Siapa?

Manuver politik pengesahan revisi RUU KPK oleh DPR, dan "pembiaran" presiden, belakangan ini menjadi refleksi mendalam, sebenarnya kebijakan penguasa itu melayani siapa? Tidak perlu riset hukum mendalam untuk memahami politik tersembunyi di balik revisi UU KPK, yang jelas berimplikasi pada pengebirian bahkan pembunuhan otoritas dan kewenangan yang dimiliki KPK. Mulai persoalan pembatasan dan izin penyadapan, pembentukan dewan pengawas, surat perintah penghentian penyidikan (SP3), pembatasan sumber penyelidik dan penyidik, pembatasan kewenangan pengambilan perkara, dst.

Padahal, jamak dipahami, melalui hal-hal itulah instrumen utama kecanggihan KPK bekerja. Maka jika merujuk bentang lintasan peran dan kontribusi KPK di atas, jelas kelompok yang dilayani dan diuntungkan dari Revisi RUU KPK ini adalah kelompok yang paling "dirugikan" dari sepak terjang KPK, yakni koruptor dan gurita oligarkinya. Jika pemerintah (presiden dan jajarannya) diam membiarkan, sebenarnya berpihak pada siapa? Lalu, Nawacita dan janji pidato periode kedua menguap ke mana?

Meskipun negara dibentuk pada hakikatnya untuk kesejahteraan dan kebaikan warga negara, bagaimanapun negara adalah abstrak, in konkreto -nya ada pada pemegang jabatan negara yang berarti salah satu dari warga negara juga. Dan, warga negara yang diberi jabatan negara ini pada dasarnya adalah tetap manusia yang berarti sama dengan warga negara yang lain yang punya kehendak yang belum tentu selaras dengan keinginan warga negara yang lain. Kelebihannya dibandingkan warga negara yang lain, sang pemegang jabatan memiliki kekuasaan negara.

Oleh karena itu, Kaisar Prancis Raja Louis XIV pernah berkata "L’etat c’est Moi" (Negara adalah saya). Inilah kekhawatiran bahwa karakter kekuasaan yang berada pada seseorang, mengutip ucapan Lord Acton: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" . Artinya, jika negara dan para pejabatnya melakukan politik pembiaran atas sistem ekonomi politik yang korup, bisa jadi itu adalah pantulan serpihan wajah dari realitas keseluruhan politik negara yang cenderung koruptif. Singkatnya, jika negara tidak mau menyelesaikan masalah, ia jelas bagian dari masalah itu.

Oligarki Korupsi

Mengapa negara seolah tak mampu berdiri tegak menengadahkan wajah memberantas masalah korupsi di negeri ini? Jawaban singkatnya adalah karena koruptor telah menciptakan gurita oligarki. Apa yang disebut oligarki, menurut JA Winters dalam Oligarki (2011), penting untuk menempatkannya dalam dua dimensi. Dimensi pertama , oligarki memiliki dasar kekuasaan—kekayaan material—yang sangat susah untuk dipecah dan diseimbangkan. Kedua , oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemis, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu komunitas.

Dengan demikian, suatu kekuasaan yang oligarkis harus didasarkan pada bentuk kekuasaan yang susah dipecahkan dan jangkauannya yang harus sistemik. Salah satu konsep penting dalam oligarki adalah "pertahanan kekayaan" . Pertahanan kekayaan ini mencangkup dua komponen, yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan . Winters memberikan definisi oligarki sebagai sebuah sistem yang merujuk pada "politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material (oligark)".

Dengan pendasaran di atas, Winters membuat empat tipe ideal dari oligarki: Pertama, Oligarki Panglima, yaitu oligarki yang muncul dengan kekuasaan pemaksa (kekerasan) dan bahkan dengan senjata secara langsung ada pada dirinya. Kedua, Oligarki Penguasa Kolektif. Oligarki jenis ini memiliki kekuasaan dan berkuasa secara kolektif melalui lembaga yang memiliki norma atau aturan main.

Ketiga, Oligarki Sultanistik. Bentuk oligarki terjadi ketika monopoli sarana pemaksaannya terletak pada satu tangan oligark. Hubungan antara oligark bersifat patron-klien terhadap oligarki yang berkuasa tersebut. Keempat, Oligarki Sipil. Oligarki yang sepenuhnya tak bersenjata dan tidak berkuasa langsung. Oligark menyerahkan kekuasaannya pada lembaga nonpribadi dan terlembaga di mana hukum lebih kuat.

Realitas di Indonesia, ciri-ciri umumnya mengarah pada jenis oligarki Penguasa Kolektif, sebab ada relasi kuasa yang kuat antara kuasa negara (eksekutif), legislatif, yudikatif punya korelasi kuat secara politik yang elitnya diisi oleh mayoritas politisi cum pengusaha/pebisnis. Padahal hakikatnya, keduanya punya orientasi berbeda; antara demi pengabdian kepada negara-rakyat dan semata demi pelipatan kapital ekonomi. Temuan Evaluasi KPK-GNPSDA (2019) menunjukkan bahwa praktik gurita oligarki korupsi sumber daya alam di Indonesia berakar pada masalah kait-kelindan praktik state-captured corruption dengan lemahnya fungsi otoritas kelembagaan negara. Akibat dari kuatnya psudo legal , kuasa "institusi alternatif" oleh suatu jaringan yang dipelihara oleh kekuasaan yang secara de facto lebih besar daripada kekuasaan legal negara, yang mana sumber daya sosialnya juga berasal aparat-aparat negara dan jejaring oligarki korporasi. Kesimpulannya, kuatnya oligarki korupsi itu menggeser bentuk korupsi di sektor sumber daya alam, dari bentuk korupsi bersifat institusional (institusional corruption) menjadi korupsi bersifat struktural (structural corupption).

Manuver politik revisi RUU KPK adalah praktik nyata gurita oligarki korupsi yang semakin terancam. Jika dibiarkan, pertaruhannya adalah penggadaian cita-cita marwah kemerdekaan dan agenda Reformasi. Mungkin benar refleksi guru agraria, Pak Gunawan Wiradi, jika tak ada keberanian untuk melakukan perubahan mendasar yang berarti, semakin sulit menyebut bangsa ini sebagai Republik Proklamasi. Selamat Hari Tani!
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3585 seconds (0.1#10.140)