Hantu Impor Minyak
A
A
A
Mudi Kasmudi
Praktisi Energi, Industri, dan Pertambangan
CADANGAN terbukti (proved reserves) minyak bumi Indonesia sebesar 3,2 miliar barel atau 0,2% cadangan dunia. Sebagai pembanding, China memiliki 1,5%, Amerika Serikat (AS) 3,5%, India 0,3%, dan Arab Saudi 17,2% (BP statistical Review 2019).
Sementara produksi minyak bumi pada 2018 sebesar 281,8 juta barel dan impornya sebesar 113 juta barel (ESDM, 2018). Apabila tidak ditemukan cadangan minyak bumi baru dengan produksi sumur minyak 2018, maka cadangan minyak akan habis 12 tahun lagi.
Pada 2018 produksi kilang bahan bakar minyak (BBM) sebesar 44,2 juta KL, impornya 28 juta KL, sehingga total 72,2 juta KL. BBM dikonsumsi paling besar untuk sektor transportasi yakni sebesar 80,7%, sisanya 19,3% untuk industri, pembangkit listrik, dan lainnya (BPPT Outlook Energy 2018).
Untuk menekan ketergantungan impor BBM, Pertamina merencanakan merevitalisasi empat kilang minyak, yakni Balongan, Cilacap, Dumai, dan Balikpapan melalui program RDMP (Refinery Development Master Plan) dengan total kapasitas 1,33 juta barel per hari (bph). Selain itu, membangun dua kilang baru (New Grass Root Refinery-NGRR) dengan total kapasitas 600.000 bph, dan direncanakan pada 2025 semuanya beroperasi.
Hantu Impor
Kebutuhan minyak mentah untuk program RDMP dan NGRR sebesar 1,93 juta bph atau sekitar 704 juta barel per tahun. Jika setelah 12 tahun kemudian (2030) cadangan minyak habis, maka semua kebutuhan minyak mentah (crude oil) dipenuhi dari impor. Dari data pertumbuhan penjualan BBM Pertamina 2015 sampai 2018, rata-rata 4,1%, maka diperkirakan pada 2030 kebutuhan BBM sekitar 113,5 juta KL, yang akan dipenuhi dari kilang RDMP dan NGRR sebesar 89,5 juta KL, dan sisanya impor sebesar 24 juta KL.
Pada 2030, dengan perkiraan harga minyak mentah USD93 per barel, maka devisa impor yang keluar untuk impor minyak mentah sebesar USD65,5 miliar dan impor BBM sebesar USD19 miliar atau totalnya mencapai USD 84,5 miliar (Rp1.267 triliun) dengan kurs APBN 2019 (Rp15.000/USD).Nilai impor minyak dan BBM yang sangat besar di masa datang dapat menekan nilai tukar rupiah, menekan pertumbuhan ekonomi, membebani APBN karena subsidi BBM. Sebagai perbandingan, pada APBN 2019 anggaran belanja sebesar Rp2.165,1 triliun dengan subsidi BBM dan LPG sebesarRp100,7 triliun.
Cadangan terbukti minyak dunia berada di kawasan Timur Tengah, yakni 48,3% cadangan dunia, sementara di kawasan tersebut dalam sejarah panjang diwarnai konflik. Sebagai bukti terbaru, serangan di dua fasilitas minyak Saudi pada Sabtu 14 September 2019, menghentikan lebih dari setengah output minyak Saudi, atau 5% dari suplai global, mengakibatkan harga minyak merangkak naik.
Negara dengan cadangan minyak besar menentukan posisi geopolitik dan diplomasi, sekalipun tidak mempunyai militer yang kuat. Sebagai contoh, antara 1973-1974, negara-negara Arab sebagai anggota OPEC, mengembargo AS, Belanda, dan Portugal karena mendukung Israel dalam perang Yom Kippur, mengakibatkan harga minyak naik empat kali lipat.
Masalah ketergantungan kepada impor minyak dan konsumsi BBM untuk transportasi tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga dialami negara dengan produk domestik bruto (PDB) besar dan jumlah penduduk besar seperti AS, Cina, India, dan Jepang. AS menganggap keamanan suplai minyak mentah sangat memengaruhi keamanan nasional. Jika impor minyak terhenti, akan menekan pertumbuhan ekonominya dan selanjutnya pengaruh kekuatan AS di mata dunia akan menurun.
Impor minyak terhenti akibat konflik dan perang, ketika fasilitas minyak di sabotase atau kapal tanker diserang. Untuk keamanan energi nasional, di samping menjaga hubungan baik dengan negara minyak, AS menempatkan pangkalan militer untuk menjaga keamanan jalur kapal tanker yang melewati Selat Malaka, Hormuz, Bosporus, dan Dardanelle.
Ketika impor minyak berhenti, sektor transportasi akan lumpuh, demonstrasi dan resesi ekonomi menghantui. Akibatnya, stabilitas sosial, politik, dan keamanan menjadi tidak terkendali.
Langkah ke Depan
Pertamina sebagai BUMN mempunyai tugas berat untuk mengamankan energi nasional dengan investasi RDMP dan NGRR, mengeksplorasi migas untuk menambah cadangan, investasi infrastruktur migas seperti terminal BBM, BBG, dan LPG, eksplorasi dan produksi panas bumi, termasuk membagi dividen kepada pemerintah.
Untuk menambah cadangan, Pertamina telah melakukan investasi eksplorasi dan produksi migas di luar negeri, tetapi porsinya masih kecil jika dibanding negara Asia lainnya sebagai importir minyak seperti China, India, Jepang, dan Korea.
Posisi keuangan Pertamina pada 2018, setelah konsolidasi dengan PGN, mempunyai total aset USD64,72 miliar, kewajiban jangka pendek USD13,97 miliar, retained earnings USD11,32 miliar dansolvency (rasio kewajiban terhadap ekuitas) 66,99% (Annual Report Pertamina 2018). Dari posisi keuangan tersebut, Pertamina mempunyai keuangan yang baik dengan membagi dividen 25% laba sebesar Rp8,57 triliun kepada pemerintah. Sekalipun demikian, Pertamina tidak bisa menanggung semua tugas beratnya.
Investasi RDMP diperkirakan lebih dari Rp200 triliun, sedangkan dua kilang NGRR diperkirakan Rp305,58 triliun. Sekalipun skema pendanaan proyek adalah joint venturedengan perusahaan multinasional, Pertamina terlalu berat untuk melaksanakan tugas keamanan energi nasional. Dengan posisi keuangan sekarang, pemerintah seharusnya tidak meminta pembagian dividen dari Pertamina untuk beberapa tahun ke depan.
Konsumsi BBM terbesar adalah sektor transportasi, sedangkan pertumbuhan kendaraan bermotor tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Untuk mengurangi ketergantungan pada BBM, diversifikasi BBM adalah keharusan.
Karena itu, pemerintah harus membentuk satuan khusus untuk mengintegrasikan semua pemangku kepentingan (stakeholder) seperti Kementerian Keuangan untuk insentif dan fiskal, Kementerian Perindustrian untuk kebijakan industri automotif, terkait kendaraan listrik dan hybrid, kendaraan dengan bahan bakar gas (BBG) dan bahan bakar nabati (BBN) seperti biodiesel dan bioethanol, sedangkan Kementerian ESDM untuk regulasi dan kebijakan energi dan yang lainnya.
Di samping itu, BUMN seperti Pertamina dan PGN untuk menyiapkan infrastruktur SPBG, PLN untuk infrastruktur pengisian battery, dan PTPN untuk bioethanol. Integrasi stakeholderadalah paling mendasar untuk penyelarasan dan akselerasi diversifikasi energi.
Minyak secara alamiah berangsur habis. Karena itu, urgensi mitigasi risiko keamanan energi nasional sangat tinggi. Tujuannya agar hantu impor minyak tidak menjadi mimpi buruk di masa datang.
Praktisi Energi, Industri, dan Pertambangan
CADANGAN terbukti (proved reserves) minyak bumi Indonesia sebesar 3,2 miliar barel atau 0,2% cadangan dunia. Sebagai pembanding, China memiliki 1,5%, Amerika Serikat (AS) 3,5%, India 0,3%, dan Arab Saudi 17,2% (BP statistical Review 2019).
Sementara produksi minyak bumi pada 2018 sebesar 281,8 juta barel dan impornya sebesar 113 juta barel (ESDM, 2018). Apabila tidak ditemukan cadangan minyak bumi baru dengan produksi sumur minyak 2018, maka cadangan minyak akan habis 12 tahun lagi.
Pada 2018 produksi kilang bahan bakar minyak (BBM) sebesar 44,2 juta KL, impornya 28 juta KL, sehingga total 72,2 juta KL. BBM dikonsumsi paling besar untuk sektor transportasi yakni sebesar 80,7%, sisanya 19,3% untuk industri, pembangkit listrik, dan lainnya (BPPT Outlook Energy 2018).
Untuk menekan ketergantungan impor BBM, Pertamina merencanakan merevitalisasi empat kilang minyak, yakni Balongan, Cilacap, Dumai, dan Balikpapan melalui program RDMP (Refinery Development Master Plan) dengan total kapasitas 1,33 juta barel per hari (bph). Selain itu, membangun dua kilang baru (New Grass Root Refinery-NGRR) dengan total kapasitas 600.000 bph, dan direncanakan pada 2025 semuanya beroperasi.
Hantu Impor
Kebutuhan minyak mentah untuk program RDMP dan NGRR sebesar 1,93 juta bph atau sekitar 704 juta barel per tahun. Jika setelah 12 tahun kemudian (2030) cadangan minyak habis, maka semua kebutuhan minyak mentah (crude oil) dipenuhi dari impor. Dari data pertumbuhan penjualan BBM Pertamina 2015 sampai 2018, rata-rata 4,1%, maka diperkirakan pada 2030 kebutuhan BBM sekitar 113,5 juta KL, yang akan dipenuhi dari kilang RDMP dan NGRR sebesar 89,5 juta KL, dan sisanya impor sebesar 24 juta KL.
Pada 2030, dengan perkiraan harga minyak mentah USD93 per barel, maka devisa impor yang keluar untuk impor minyak mentah sebesar USD65,5 miliar dan impor BBM sebesar USD19 miliar atau totalnya mencapai USD 84,5 miliar (Rp1.267 triliun) dengan kurs APBN 2019 (Rp15.000/USD).Nilai impor minyak dan BBM yang sangat besar di masa datang dapat menekan nilai tukar rupiah, menekan pertumbuhan ekonomi, membebani APBN karena subsidi BBM. Sebagai perbandingan, pada APBN 2019 anggaran belanja sebesar Rp2.165,1 triliun dengan subsidi BBM dan LPG sebesarRp100,7 triliun.
Cadangan terbukti minyak dunia berada di kawasan Timur Tengah, yakni 48,3% cadangan dunia, sementara di kawasan tersebut dalam sejarah panjang diwarnai konflik. Sebagai bukti terbaru, serangan di dua fasilitas minyak Saudi pada Sabtu 14 September 2019, menghentikan lebih dari setengah output minyak Saudi, atau 5% dari suplai global, mengakibatkan harga minyak merangkak naik.
Negara dengan cadangan minyak besar menentukan posisi geopolitik dan diplomasi, sekalipun tidak mempunyai militer yang kuat. Sebagai contoh, antara 1973-1974, negara-negara Arab sebagai anggota OPEC, mengembargo AS, Belanda, dan Portugal karena mendukung Israel dalam perang Yom Kippur, mengakibatkan harga minyak naik empat kali lipat.
Masalah ketergantungan kepada impor minyak dan konsumsi BBM untuk transportasi tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga dialami negara dengan produk domestik bruto (PDB) besar dan jumlah penduduk besar seperti AS, Cina, India, dan Jepang. AS menganggap keamanan suplai minyak mentah sangat memengaruhi keamanan nasional. Jika impor minyak terhenti, akan menekan pertumbuhan ekonominya dan selanjutnya pengaruh kekuatan AS di mata dunia akan menurun.
Impor minyak terhenti akibat konflik dan perang, ketika fasilitas minyak di sabotase atau kapal tanker diserang. Untuk keamanan energi nasional, di samping menjaga hubungan baik dengan negara minyak, AS menempatkan pangkalan militer untuk menjaga keamanan jalur kapal tanker yang melewati Selat Malaka, Hormuz, Bosporus, dan Dardanelle.
Ketika impor minyak berhenti, sektor transportasi akan lumpuh, demonstrasi dan resesi ekonomi menghantui. Akibatnya, stabilitas sosial, politik, dan keamanan menjadi tidak terkendali.
Langkah ke Depan
Pertamina sebagai BUMN mempunyai tugas berat untuk mengamankan energi nasional dengan investasi RDMP dan NGRR, mengeksplorasi migas untuk menambah cadangan, investasi infrastruktur migas seperti terminal BBM, BBG, dan LPG, eksplorasi dan produksi panas bumi, termasuk membagi dividen kepada pemerintah.
Untuk menambah cadangan, Pertamina telah melakukan investasi eksplorasi dan produksi migas di luar negeri, tetapi porsinya masih kecil jika dibanding negara Asia lainnya sebagai importir minyak seperti China, India, Jepang, dan Korea.
Posisi keuangan Pertamina pada 2018, setelah konsolidasi dengan PGN, mempunyai total aset USD64,72 miliar, kewajiban jangka pendek USD13,97 miliar, retained earnings USD11,32 miliar dansolvency (rasio kewajiban terhadap ekuitas) 66,99% (Annual Report Pertamina 2018). Dari posisi keuangan tersebut, Pertamina mempunyai keuangan yang baik dengan membagi dividen 25% laba sebesar Rp8,57 triliun kepada pemerintah. Sekalipun demikian, Pertamina tidak bisa menanggung semua tugas beratnya.
Investasi RDMP diperkirakan lebih dari Rp200 triliun, sedangkan dua kilang NGRR diperkirakan Rp305,58 triliun. Sekalipun skema pendanaan proyek adalah joint venturedengan perusahaan multinasional, Pertamina terlalu berat untuk melaksanakan tugas keamanan energi nasional. Dengan posisi keuangan sekarang, pemerintah seharusnya tidak meminta pembagian dividen dari Pertamina untuk beberapa tahun ke depan.
Konsumsi BBM terbesar adalah sektor transportasi, sedangkan pertumbuhan kendaraan bermotor tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Untuk mengurangi ketergantungan pada BBM, diversifikasi BBM adalah keharusan.
Karena itu, pemerintah harus membentuk satuan khusus untuk mengintegrasikan semua pemangku kepentingan (stakeholder) seperti Kementerian Keuangan untuk insentif dan fiskal, Kementerian Perindustrian untuk kebijakan industri automotif, terkait kendaraan listrik dan hybrid, kendaraan dengan bahan bakar gas (BBG) dan bahan bakar nabati (BBN) seperti biodiesel dan bioethanol, sedangkan Kementerian ESDM untuk regulasi dan kebijakan energi dan yang lainnya.
Di samping itu, BUMN seperti Pertamina dan PGN untuk menyiapkan infrastruktur SPBG, PLN untuk infrastruktur pengisian battery, dan PTPN untuk bioethanol. Integrasi stakeholderadalah paling mendasar untuk penyelarasan dan akselerasi diversifikasi energi.
Minyak secara alamiah berangsur habis. Karena itu, urgensi mitigasi risiko keamanan energi nasional sangat tinggi. Tujuannya agar hantu impor minyak tidak menjadi mimpi buruk di masa datang.
(maf)