Etika Penelitian
A
A
A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Metodologi Penelitian Kependidikan pada FITK UIN Jakarta
DISERTASI Abdul Aziz (AA), "Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital " tidak hanya menuai kontroversi, tetapi juga menjadi trending topic di berbagai medial sosial belakangan ini. Publik akademik maupun nonakademik dibuat heboh dengan pendapat AA. Teori Milk al-Yamin Syahrur seakan dijadikan sebagai dasar legitimasi dan legalisasi hubungan seksual nonmarital.
Viralnya hasil ujian disertasi AA membuat banyak pihak merasa terusik dan gaduh karena kesimpulan tersebut bertentangan dengan arus utama (main stream ) ajaran bahwa Islam mengharamkan perzinaan, sekaligus mengeliminasi tradisi perbudakan. Sebagai karya ilmiah hasil penelitian, disertasi AA terbuka untuk dikritisi dan diuji publik.
Kendati demikian, di balik viralnya disertasi AA terdapat hikmah dan berkah tersembunyi (blessing in disguise ) yang harus dijadikan sebagai pelajaran terpetik (lesson learned ). Tulisan ini tidak berpretensi menganalisis substansi disertasi, tetapi menyoroti etika penelitian (research ethics ) yang tampaknya luput dari diskusi publik karena yang banyak disorot dan dikritisi publik adalah "keabsahan hubungan seksual nonmarital" berbasis konsep "Milk al-Yamin ".
Mencari Kebenaran
Esensi penelitian adalah mencari kebenaran, bukan pembenaran (tabriri), melalui proses pembacaan teks dan konteks secara mendalam dan komprehensif dengan metode berpikir ilmiah dan instrumen pengumpulan informasi dan data yang valid dan teruji. Hasil penelitian ideal itu berupa temuan dan teori baru yang dapat memperkaya bidang keilmuan yang ditekuni sehingga berkontribusi bagi kemaslahatan, kesejahteraan, dan kemajuan umat manusia.
Dalam prosedur dan kerja penelitian, sebagaimana bidang profesi lainnya, ada kode etik dan etika yang harus dipedomani oleh peneliti. Dalam Research Ethics and Qualitative Research, Hopf (2004) menjelaskan bahwa etika penelitian merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip etik yang disepakati bersama terkait hubungan antara peneliti dan semua yang terlibat dalam proses penelitian. Secara etik, penelitian ilmiah (scientific research ) tidak bebas nilai, apabila sampai menyalahi prinsip-prinsip moral dan kode etik lembaga akademik seperti UIN, IAIN, STAIN, dan sebagainya.
Etika penelitian berkaitan erat dengan integritas keilmuan (amanah ilmiyyah), prosedur penelitian, interaksi dan komunikasi dengan narasumber dan informan penelitian, proses pembimbingan, pengujian, dan publikasi setelah dinyatakan lulus. Etika penelitian juga tidak dapat dipisahkan dari institusi akademik, di mana peneliti berafiliasi atau melakukan penelitian.
Karena itu, proses mencari kebenaran melalui penelitian harus mempertimbangkan setidaknya tiga relevansi: intelektual, sosial, dan institusional. Pertama, relevansi intelektual menghendaki penelitian itu tidak hanya berfungsi "mengobati kegelisahan" akademik, tetapi juga dapat mengembangkan temuan keilmuan mencerahkan dan mencerdaskan. Penelitian dilakukan bukan untuk membenarkan konsep yang sejatinya tidak benar, tetapi juga harus menghasilkan pemutakhiran (updating) dan kebaruan (novelty) ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Kedua, relevansi sosial idealnya dapat memastikan penelitian memberi nilai manfaat dan maslahat bagi masyarakat, dapat diamalkan dan dikembangkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat, bangsa, dan negara. Relevansi sosial dapat diukur dengan seberapa jauh penelitian itu dapat menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan sosial.
Ketiga, relevansi institusional meniscayakan hasil penelitian sivitas akademikanya tidak hanya berperan dalam pengembangan tradisi riset dan publikasi ilmiah, tetapi juga menjaga marwah, reputasi, dan prestasi institusi itu sendiri. Karena itu, proses dan hasil penelitian dari sivitas akademika tidak sepatutnya "merugikan" institusi dan mendegradasi citra positif institusi secara moral dan sosial.
Dengan kata lain, penelitian itu tidak semata didesain untuk pengembangan ilmu dan publikasi ilmiah, tetapi juga diorientasikan pada pengembangan dan pemajuan masyarakat (akademik dan sosial). Luaran penelitian tidak hanya dapat membuahkan teori, konsep, model, atau sistem baru yang relevan dengan perkembangan zaman dan pemutakhiran ilmu, tetapi juga menghasilkan hilirisasi temuan dalam bentuk perubahan sosial, kesejahteraan, dan kemajuan sekaligus peningkatan reputasi dan rekognisi institusi, secara nasional maupun internasional.
Kesadaran Etik
Semua peneliti dituntut memiliki kesadaran etik. Karena proses dan kerja penelitian bukan untuk sekadar "memuaskan kehausan ilmiah" atau "memenuhi pesanan" pihak tertentu, tetapi juga harus menghasilkan temuan ilmiah yang bermanfaat dan bermartabat, tidak hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi masyarakat luas dan institusi.
Jerih payah penelitian selevel disertasi tentu patut diapresiasi karena merupakan kerja akademik di "jalan sunyi" yang menguras energi, pemikiran, pendanaan, dan aneka pengorbanan. Akan tetapi, proses dan prosedur penelitian harus mengindahkan kaidah-kaidah etika seperti kejujuran, objektivitas, bebas plagiasi dan pencurian ide orang lain, keandalan informasi dan data yang dikumpulkan, integritas ilmiah dan tanggung jawab akademik dalam menjaga kerahasiaan informan dan responden, marwah dan reputasi institusi, serta komitmen terhadap nilai-nilai agama dan budaya bangsa.
Etika penelitian tentu tidak dimaksudkan untuk mengekang dan membelenggu spirit intelektualisme, kebebasan berpikir, kritik, dan kreativitas, melainkan diorientasikan kepada aktualisasi norma-norma etis terkait kebolehan meneliti, berkreasi, dan berinovasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran agama dan HAM.
Etika penelitian memagari kebebasan akademik dengan nilai-nilai moral seperti kejujuran ilmiah, keahlian (expertise ), keandalan, profesionalitas, objektivitas, dan integritas ilmiah sehingga proses dan hasil penelitiannya tidak menimbulkan keresahan dan kegaduhan publik karena "menabrak" nilai-nilai agama yang sudah menjadi kebenaran umum. Karena itu, prinsip check and recheck sumber data misalnya melalui triangulasi menjadi sangat penting, apalagi jika objek yang diteliti itu melibatkan tokoh yang masih hidup seperti Syahrur dengan mewawancarai dan mengonfirmasi terhadap hasil temuannya.
Penelitian memang bukan sekadar memenuhi persyaratan akademik untuk bisa dinyatakan lulus dalam ujian promosi tesis atau disertasi, tetapi juga harus dapat menunjukkan temuan baru (novelty ) yang memberi nilai tambah dan kontribusi keilmuan yang bermanfaat dan bermaslahat bagi semua. Penelitian berbasis etika menghendaki komitmen kuat dari peneliti untuk menghargai nilai-nilai keislaman, kemanusiaan, keindonesiaan, dan kode etik penelitian yang berlaku.
Agar kasus disertasi AA tidak terulang dan tidak mencoreng nama baik institusi, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi komitmen semua sivitas akademika. Pertama, etika penelitian, khususnya di lingkungan PTKIN (UIN, IAIN, dan STAIN) penting disosialisasikan dan diefektifkan sebagai pedoman moral dan panduan etika penelitian agar prosedur, proses, dan substansi penelitian tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan.
Hampir semua PTKIN mengusung spirit integrasi dan moderasi beragama. Karena itu, aktualisasi etika penelitian yang berwawasan keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan menjadi sangat penting dan harus ditindaklanjuti dalam bentuk pakta integritas bagi semua peneliti sebelum melakukan kerja ilmiahnya (penelitian).
Kedua, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam Kemenag RI perlu merumuskan dan menerbitkan regulasi tentang etika penelitian yang berwawasan keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan dan diberlakukan di semua UIN, IAIN, dan STAIN agar proses, prosedur, dan hasil penelitian para calon sarjana, master, dan doktor tidak meresahkan, membuat kegaduhan, dan menyesatkan umat dan bangsa. Berbeda pendapat itu biasa, tetapi keberbedaan pendapat itu idealnya dapat diredam dan dikawal dengan regulasi dan proses pembimbingan akademik yang berbasis etika penelitian.
Ketiga, peran dan fungsi komisi akademik dan etik di setiap Program Pascasarjana di lingkungan PTKIN perlu dioptimalkan dalam melakukan penjaminan mutu dan monev karya ilmiah yang ditulis dan dipublikasikan oleh peneliti. Komisi akademik dan etik harus menjadi lembaga penilai kelayakan, pengontrol, pengawas, sekaligus pendorong dan penggerak penelitian yang dinilai memiliki relevansi intelektual, sosial, institusional, dan moral. Reputasi dan rekognisi PTKIN sebagai kampus pembaharu, pusat moderasi, inovasi, dan keunggulan idealnya tidak menjadi rusak oleh "nila setitik" akibat hasil penelitian yang tidak beretika.
Dosen Metodologi Penelitian Kependidikan pada FITK UIN Jakarta
DISERTASI Abdul Aziz (AA), "Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital " tidak hanya menuai kontroversi, tetapi juga menjadi trending topic di berbagai medial sosial belakangan ini. Publik akademik maupun nonakademik dibuat heboh dengan pendapat AA. Teori Milk al-Yamin Syahrur seakan dijadikan sebagai dasar legitimasi dan legalisasi hubungan seksual nonmarital.
Viralnya hasil ujian disertasi AA membuat banyak pihak merasa terusik dan gaduh karena kesimpulan tersebut bertentangan dengan arus utama (main stream ) ajaran bahwa Islam mengharamkan perzinaan, sekaligus mengeliminasi tradisi perbudakan. Sebagai karya ilmiah hasil penelitian, disertasi AA terbuka untuk dikritisi dan diuji publik.
Kendati demikian, di balik viralnya disertasi AA terdapat hikmah dan berkah tersembunyi (blessing in disguise ) yang harus dijadikan sebagai pelajaran terpetik (lesson learned ). Tulisan ini tidak berpretensi menganalisis substansi disertasi, tetapi menyoroti etika penelitian (research ethics ) yang tampaknya luput dari diskusi publik karena yang banyak disorot dan dikritisi publik adalah "keabsahan hubungan seksual nonmarital" berbasis konsep "Milk al-Yamin ".
Mencari Kebenaran
Esensi penelitian adalah mencari kebenaran, bukan pembenaran (tabriri), melalui proses pembacaan teks dan konteks secara mendalam dan komprehensif dengan metode berpikir ilmiah dan instrumen pengumpulan informasi dan data yang valid dan teruji. Hasil penelitian ideal itu berupa temuan dan teori baru yang dapat memperkaya bidang keilmuan yang ditekuni sehingga berkontribusi bagi kemaslahatan, kesejahteraan, dan kemajuan umat manusia.
Dalam prosedur dan kerja penelitian, sebagaimana bidang profesi lainnya, ada kode etik dan etika yang harus dipedomani oleh peneliti. Dalam Research Ethics and Qualitative Research, Hopf (2004) menjelaskan bahwa etika penelitian merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip etik yang disepakati bersama terkait hubungan antara peneliti dan semua yang terlibat dalam proses penelitian. Secara etik, penelitian ilmiah (scientific research ) tidak bebas nilai, apabila sampai menyalahi prinsip-prinsip moral dan kode etik lembaga akademik seperti UIN, IAIN, STAIN, dan sebagainya.
Etika penelitian berkaitan erat dengan integritas keilmuan (amanah ilmiyyah), prosedur penelitian, interaksi dan komunikasi dengan narasumber dan informan penelitian, proses pembimbingan, pengujian, dan publikasi setelah dinyatakan lulus. Etika penelitian juga tidak dapat dipisahkan dari institusi akademik, di mana peneliti berafiliasi atau melakukan penelitian.
Karena itu, proses mencari kebenaran melalui penelitian harus mempertimbangkan setidaknya tiga relevansi: intelektual, sosial, dan institusional. Pertama, relevansi intelektual menghendaki penelitian itu tidak hanya berfungsi "mengobati kegelisahan" akademik, tetapi juga dapat mengembangkan temuan keilmuan mencerahkan dan mencerdaskan. Penelitian dilakukan bukan untuk membenarkan konsep yang sejatinya tidak benar, tetapi juga harus menghasilkan pemutakhiran (updating) dan kebaruan (novelty) ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Kedua, relevansi sosial idealnya dapat memastikan penelitian memberi nilai manfaat dan maslahat bagi masyarakat, dapat diamalkan dan dikembangkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat, bangsa, dan negara. Relevansi sosial dapat diukur dengan seberapa jauh penelitian itu dapat menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan sosial.
Ketiga, relevansi institusional meniscayakan hasil penelitian sivitas akademikanya tidak hanya berperan dalam pengembangan tradisi riset dan publikasi ilmiah, tetapi juga menjaga marwah, reputasi, dan prestasi institusi itu sendiri. Karena itu, proses dan hasil penelitian dari sivitas akademika tidak sepatutnya "merugikan" institusi dan mendegradasi citra positif institusi secara moral dan sosial.
Dengan kata lain, penelitian itu tidak semata didesain untuk pengembangan ilmu dan publikasi ilmiah, tetapi juga diorientasikan pada pengembangan dan pemajuan masyarakat (akademik dan sosial). Luaran penelitian tidak hanya dapat membuahkan teori, konsep, model, atau sistem baru yang relevan dengan perkembangan zaman dan pemutakhiran ilmu, tetapi juga menghasilkan hilirisasi temuan dalam bentuk perubahan sosial, kesejahteraan, dan kemajuan sekaligus peningkatan reputasi dan rekognisi institusi, secara nasional maupun internasional.
Kesadaran Etik
Semua peneliti dituntut memiliki kesadaran etik. Karena proses dan kerja penelitian bukan untuk sekadar "memuaskan kehausan ilmiah" atau "memenuhi pesanan" pihak tertentu, tetapi juga harus menghasilkan temuan ilmiah yang bermanfaat dan bermartabat, tidak hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi masyarakat luas dan institusi.
Jerih payah penelitian selevel disertasi tentu patut diapresiasi karena merupakan kerja akademik di "jalan sunyi" yang menguras energi, pemikiran, pendanaan, dan aneka pengorbanan. Akan tetapi, proses dan prosedur penelitian harus mengindahkan kaidah-kaidah etika seperti kejujuran, objektivitas, bebas plagiasi dan pencurian ide orang lain, keandalan informasi dan data yang dikumpulkan, integritas ilmiah dan tanggung jawab akademik dalam menjaga kerahasiaan informan dan responden, marwah dan reputasi institusi, serta komitmen terhadap nilai-nilai agama dan budaya bangsa.
Etika penelitian tentu tidak dimaksudkan untuk mengekang dan membelenggu spirit intelektualisme, kebebasan berpikir, kritik, dan kreativitas, melainkan diorientasikan kepada aktualisasi norma-norma etis terkait kebolehan meneliti, berkreasi, dan berinovasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran agama dan HAM.
Etika penelitian memagari kebebasan akademik dengan nilai-nilai moral seperti kejujuran ilmiah, keahlian (expertise ), keandalan, profesionalitas, objektivitas, dan integritas ilmiah sehingga proses dan hasil penelitiannya tidak menimbulkan keresahan dan kegaduhan publik karena "menabrak" nilai-nilai agama yang sudah menjadi kebenaran umum. Karena itu, prinsip check and recheck sumber data misalnya melalui triangulasi menjadi sangat penting, apalagi jika objek yang diteliti itu melibatkan tokoh yang masih hidup seperti Syahrur dengan mewawancarai dan mengonfirmasi terhadap hasil temuannya.
Penelitian memang bukan sekadar memenuhi persyaratan akademik untuk bisa dinyatakan lulus dalam ujian promosi tesis atau disertasi, tetapi juga harus dapat menunjukkan temuan baru (novelty ) yang memberi nilai tambah dan kontribusi keilmuan yang bermanfaat dan bermaslahat bagi semua. Penelitian berbasis etika menghendaki komitmen kuat dari peneliti untuk menghargai nilai-nilai keislaman, kemanusiaan, keindonesiaan, dan kode etik penelitian yang berlaku.
Agar kasus disertasi AA tidak terulang dan tidak mencoreng nama baik institusi, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi komitmen semua sivitas akademika. Pertama, etika penelitian, khususnya di lingkungan PTKIN (UIN, IAIN, dan STAIN) penting disosialisasikan dan diefektifkan sebagai pedoman moral dan panduan etika penelitian agar prosedur, proses, dan substansi penelitian tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan.
Hampir semua PTKIN mengusung spirit integrasi dan moderasi beragama. Karena itu, aktualisasi etika penelitian yang berwawasan keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan menjadi sangat penting dan harus ditindaklanjuti dalam bentuk pakta integritas bagi semua peneliti sebelum melakukan kerja ilmiahnya (penelitian).
Kedua, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam Kemenag RI perlu merumuskan dan menerbitkan regulasi tentang etika penelitian yang berwawasan keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan dan diberlakukan di semua UIN, IAIN, dan STAIN agar proses, prosedur, dan hasil penelitian para calon sarjana, master, dan doktor tidak meresahkan, membuat kegaduhan, dan menyesatkan umat dan bangsa. Berbeda pendapat itu biasa, tetapi keberbedaan pendapat itu idealnya dapat diredam dan dikawal dengan regulasi dan proses pembimbingan akademik yang berbasis etika penelitian.
Ketiga, peran dan fungsi komisi akademik dan etik di setiap Program Pascasarjana di lingkungan PTKIN perlu dioptimalkan dalam melakukan penjaminan mutu dan monev karya ilmiah yang ditulis dan dipublikasikan oleh peneliti. Komisi akademik dan etik harus menjadi lembaga penilai kelayakan, pengontrol, pengawas, sekaligus pendorong dan penggerak penelitian yang dinilai memiliki relevansi intelektual, sosial, institusional, dan moral. Reputasi dan rekognisi PTKIN sebagai kampus pembaharu, pusat moderasi, inovasi, dan keunggulan idealnya tidak menjadi rusak oleh "nila setitik" akibat hasil penelitian yang tidak beretika.
(thm)