Masa Depan Pelarangan Senjata Nuklir

Sabtu, 14 September 2019 - 06:45 WIB
Masa Depan Pelarangan Senjata Nuklir
Masa Depan Pelarangan Senjata Nuklir
A A A
Khasan Ashari
Pemerhati Masalah Internasional

BULAN ini 23 tahun yang lalu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty (CTBT), perjanjian internasional yang mengatur pelarangan uji coba senjata nuklir. Sayangnya hingga sekarang perjanjian ini belum juga berlaku. Padahal sudah 168 negara yang meratifikasinya.

Belum berlakunya CTBT memunculkan pertanyaan tentang efektivitas dan masa depan rezim global pelarangan uji coba senjata nuklir. Kondisi ini juga menyebabkan masih adanya negara yang melakukan uji coba senjata nuklir tanpa dapat dikenai sanksi.

Tata Dunia Baru

Proses negosiasi CTBT dimulai tahun 1993 sejalan dengan menguatnya semangat masyarakat internasional untuk mewujudkan tatanan dunia baru. Seperti kita ketahui, awal 1990-an ditandai dengan menguatnya keinginan masyarakat internasional untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan sejahtera.

Pada masa Perang Dingin ancaman hancurnya peradaban manusia akibat perang nuklir menjadi momok menakutkan. Runtuhnya Uni Soviet yang menandai berakhirnya Perang Dingin melahirkan momentum untuk mengupayakan pelarangan jenis senjata ini. Aturan tentang larangan uji coba senjata nuklir secara komprehensif di atas dan bawah permukaan bumi, dasar laut maupun ruang angkasa dianggap sebagai kebutuhan mendesak.

Sayangnya, 23 tahun setelah disepakati, aturan tersebut belum juga berlaku. Penyebabnya adalah syarat yang unik dari perjanjian ini. Umumnya syarat berlakunya perjanjian internasional adalah jumlah negara yang meratifikasi. Namun CTBT memiliki syarat yang berbeda. Untuk dapat berlaku (enter into force) CTBT harus diratifikasi oleh 44 negara yang tercantum dalam Lampiran 2 atau Annex 2 perjanjian.

Mereka yang lazim disebut sebagai Annex 2 states adalah negara-negara yang secara formal mengikuti proses negosiasi penyusunan perjanjian pada tahun 1994–1996 dan pada saat itu memiliki kekuatan nuklir atau reaktor nuklir. Dari 44 negara tersebut masih terdapat 8 negara yang belum meratifikasi, yaitu Amerika Serikat, India, Iran, Israel, Korea Utara, Mesir, Pakistan, dan Tiongkok.

Sangat Disayangkan

Belum berlakunya CTBT sangat disayangkan. CTBTO, organisasi yang dibentuk sebagai sekretariat perjanjian internasional ini, telah berhasil mengembangkan teknologi dan peranti untuk mendeteksi uji coba senjata nuklir. Sampai pertengahan 2019 CTBTO mengelola 298 stasiun pemantau untuk mendeteksi uji coba nuklir. Stasiun-stasiun ini secara terus-menerus mengirimkan data ke kantor pusat CTBTO di Kota Wina, Austria.

Lokasi stasiun tersebar di hampir seluruh sudut bumi, termasuk di Benua Antartika. Kemajuan teknologi dan sebaran yang merata membuat kemungkinan tidak terdeteksinya sebuah uji coba nuklir sangat kecil. Bukti terbaru adalah kemampuan stasiun pemantau mendeteksi uji coba nuklir Korea Utara beberapa waktu lalu.

Belum berlakunya CTBT mengakibatkan proses on-site inspection atau pemeriksaan di lapangan untuk memastikan terjadinya uji coba nuklir tidak dapat dilakukan. Lebih dari itu sanksi terhadap negara yang melakukan uji coba nuklir juga belum dapat diterapkan.

Situasi yang dihadapi CTBT saat ini dapat dilihat dari dua sudut pandang berbeda. Pertama, meski belum secara resmi berlaku CTBT secara de facto telah menjadi norma internasional. Keberadaan CTBT berikut sistem pemantauan yang telah dibangun membuat hampir tidak ada lagi negara yang melakukan uji coba nuklir. Fakta menunjukkan sejak memasuki abad ke-21 hanya ada satu negara yang masih bandel melakukannya.

Pendapat kedua lebih progresif. Norma yang sifatnya de facto dipandang belum mencukupi. Masyarakat internasional membutuhkan sebuah instrumen hukum yang secara formal mengatur pelarangan serta sanksi terhadap negara yang melakukan uji coba nuklir. Tanpa adanya instrumen hukum, masih terbuka kemungkinan terjadinya uji coba nuklir di masa mendatang.

Telah siapnya teknologi dan peranti pengawasan, tetapi payung hukumnya belum berlaku, dapat disebut sebagai ironi. Masyarakat internasional telah menggunakan sumber daya dalam jumlah besar untuk membangun dan memelihara teknologi dan peranti tersebut. Jika CTBT tak kunjung berlaku, tidak ada jaminan sumber daya tersebut akan tetap tersedia.

Mendorong delapan negara Annex 2 di atas untuk melakukan ratifikasi bukan perkara mudah. Tiap-tiap negara memiliki pertimbangan sendiri untuk meratifikasi. Persoalan menjadi semakin rumit karena sebagian dari mereka menjadikan sikap negara lain sebagai dasar untuk meratifikasi. Dengan kata lain delapan negara tersebut masih berkutat pada pusaran wait and see.

Berbagai upaya telah dilakukan sejauh ini untuk mendorong delapan negara tersebut melakukan ratifikasi. Upaya dilakukan tidak hanya melalui pendekatan formal kepada pemerintah masing-masing negara, tetapi juga dengan kampanye untuk menggugah keasadaran publik dengan mengikutsertakan kalangan akademisi, media dan generasi muda. Arti penting berlakunya CTBT juga diangkat di berbagai forum multilateral, baik pada tingkat global maupun regional.

Langkah ke Depan

Peringatan 23 tahun diadopsinya CTBT sangat tepat dijadikan sebagai momentum untuk terus mendorong berlakunya perjanjian internasional ini. Masa tunggu selama lebih dari dua dasawarsa sudah terlalu lama dan hilangnya momentum harus dihindari.

Sebagai negara Annex 2 yang terakhir kali meratifikasi, Indonesia telah memainkan peran penting dalam mendorong berlakunya CTBT. Antara lain sebagai ketua konferensi internasional untuk mendorong berlakunya CTBT pada tahun 2013-2015. Meskipun sudah tidak lagi menjadi ketua, peran ini perlu terus dilanjutkan oleh Indonesia melalui inisiatif di berbagai forum internasional, baik di tingkat bilateral, regional maupun multilateral.

Akhirnya, larangan melakukan uji coba senjata nuklir sudah menjadi sebuah keharusan. Pada masa Perang Dingin masyarakat internasional dihantui ketakutan akan pecahnya perang nuklir antardua negara adikuasa. Berakhirnya Perang Dingin ternyata tidak secara otomatis menghilangkan ancaman penggunaan senjata nuklir. Sebaliknya perubahan peta politik dunia memunculkan ancaman dalam bentuk dan konteks yang baru.

Tanpa instrumen internasional yang secara tegas mengatur larangan dan sanksi, penggunaan senjata nuklir akan tetap menjadi ancaman terbesar tidak hanya terhadap keamanan dan perdamaian dunia, tetapi juga bagi peradaban manusia. Oleh karenanya, upaya bersama untuk memberlakukan CTBT harus tetap dijadikan prioritas oleh masyarakat internasional.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7267 seconds (0.1#10.140)