Zaken Kabinet: Menguji Hak Prerogatif Presiden

Sabtu, 24 Agustus 2019 - 08:01 WIB
Zaken Kabinet: Menguji...
Zaken Kabinet: Menguji Hak Prerogatif Presiden
A A A
Pangi Syarwi Chaniago
Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menyebut bahwa komposisi Kabinet Kerja Jilid II menggunakan formasi 55:45, yakni 55% menteri dari kalangan profesional dan 45% dari partai politik. Tampaknya Presiden Jokowi punya iktikad mewujudkan kabinet ahli (zaken kabinet ), di mana anggota kabinet dari unsur profesional lebih besar ketimbang unsur partai politik.

Idealnya komposisi kabinet memang berisikan ahli atau paling tidak kabinet dengan komposisi dari koalisi terbatas, yaitu secara kuantitas jumlah anggota kabinet dari unsur partai politik tidak melebihi unsur profesional. Proses pengangkatan anggota kabinet juga lebih dominan didasarkan pada kompetensi dan profesionalisme ketimbang mengakomodasi kepentingan politik semata.

Penggunaan Hak Prerogatif Akan Maksimal?
Idealnya komposisi kabinet diisi oleh mereka yang benar-benar ahli di bidangnya. Presiden seringkali dalam rangka mengamankan kekuasaannya menjalankan politik akomodatif dengan sebanyak mungkin merangkul dan berkompromi dengan berbagai kepentingan politik. Presiden harus mampu keluar dari tekanan politik (politics pressure ) dan tarik-menarik kepentingan jika ingin maksimal menggunakan hak prerogatifnya.

Hak prerogatif hanya akan bisa digunakan dengan sempurna jika Presiden kuat secara personal (strong leadership ) dan independen. Menarik menguji prerogatif Presiden, yakni mengangkat anggota kabinet sepenuhnya berlandaskan pada hak yang dimilikinya.

Tentu saja ada kelemahan dan kelebihan menteri dari unsur partai politik. Salah satunya ia memiliki dualisme loyalitas (split loyality), yakni kepada Presiden dan ke partai politik asalnya. Selain melaksanakan platform Presiden, para menteri dari unsur partai politik juga berkepentingan membesarkan partai. Dalam kondisi ini, Presiden harus mampu mengendalikan kabinet secara tegas dan efektif sehingga potensi loyalitas ganda para menteri dapat diminimalkan.

Sementara kelebihan menteri dari unsur partai politik adalah Presiden akan mudah melakukan kontrol. Menteri mudah dikontrol karena partainya adalah pendukung Presiden. Presiden akan mudah mengondisikan proses politik di DPR karena menteri yang berasal dari partai punya kekuatan dan jejaring politik ketika harus mengamankan/memuluskan program pemerintah di parlemen. Apalagi jika menteri itu juga sekaligus ketua umum partai politik, Presiden akan lebih mudah mengendalikan. Barangkali inilah alasan Presiden Jokowi sehingga memberlakukan standar ganda terhadap Airlangga Hartato yang menjabat menteri sekaligus ketua umum Partai Golkar. Padahal, sebelumnya Jokowi melarang menteri rangkap jabatan. Menteri dari unsur partai politik tidak boleh memiliki jabatan strategis di partainya.

Power Sharing
Pembicaraan politik sebagaimana disampaikan Harold D Laswel, "Politik bicara apa, mendapat apa, siapa, dan bagaimana?". Dalam "kamus" politik tidak dikenal istilah "politik tanpa syarat". Kalau toh ada, itu sekadar basi-basi semata. Partai Demokrat beberapa waktu lalu memutuskan akan bergabung ke koalisi pemerintah Jokowi tanpa syarat, yakni tanpa harus menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai menteri di kabinet mendatang.

Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, partai politik selalu mendominasi kursi menteri. Sehingga, jika ada keinginan mengabaikan partai politik, itu hal yang mustahil. Hanya cara memintanya yang berbeda. Ada partai yang masih malu-malu kucing, ada partai yang menggonggong dari dalam pagar rumah, seolah meminta tulang pada majikan. Ada partai yang langsung tanpa pakai basa-basi meminta puluhan kursi menteri. Ada partai yang diam saja, merasa tidak pantas meminta jatah demi menjaga fatsun politik dan menyerahkan sepenuhnya ke Presiden.

Berbicara asas kepatutan, apakah ada yang salah dengan sikap partai tersebut? Apakah lumrah partai meminta dan menyodorkan nama menteri? Namun, saya mafhum jika partai yang sudah berjuang memenangkan calon presidennya lalu meminta jatah menteri.

Hak mutlak Presiden untuk menentukan siapa pembantunya di kabinet mendatang. Namun, menteri yang tidak kompeten jelas akan menjadi beban bagi Jokowi di kemudian hari. Kriteria calon menteri yang bisa dipilih adalah dia yang bisa bekerja cepat, disiplin, mau bersabar, telaten terhadap kerja-kerja teknis dan detail, mampu mengimbangi kerja cepat Presiden, punya terobosan, gagasan, dan narasi besar memajukan bangsa dan negara.

Ini tantangan yang tidak ringan bagi Jokowi ke depan. Dengan kata lain, jika salah memilih menteri, maka sama saja melakukan langkah "bunuh diri" bagi pemerintahannya. Makanya, merekrut menteri harus penuh kehati-hatian. Apalagi, di periode kedua Jokowi perlu fokus pada kinerja ketimbang membangun citra atau ingin meninggalkan "legacy ", yakni dapat dikenang dan menjadi sejarah di kemudian hari.

Karena itu, semangat "demokrasi deleberatif" sangat penting, yakni memilih menteri dengan semangat kehati-hatian. Jangan semata karena mengakomodasi pendukung sehingga yang tampak adalah politik bagi-bagi kue kekuasaan semata. Jangan sampai nanti karena salah memilih menteri, Jokowi disibukkan dengan reshuffle kabinet berkali-kali. Gonta-ganti menteri berkali-kali dapat memperlambat akselerasi kerja kementerian dan tidak efektif dalam pendekatan "good governance system ". Kita bayangkan ketika menteri baru harus beradaptasi dan mulai dari nol dalam memimpin institusinya.

Menteri Muda
Apresiasi patut diberikan atas niat Presiden Jokowi mengangkat menteri muda dalam kabinetnya nanti. Lalu, apa saja syarat yang harus dimiliki seorang menteri muda? Pertama, harus memiliki kompetensi, keahlian khusus, punya narasi dan gagasan yang besar, bekerja cepat, dan mampu mengimbangi kerja Presiden. Jauh lebih penting lagi, memiliki integritas serta bersih dari kasus.

Kedua, harus punya pengalaman dan jam terbang yang bagus karena mengelola pemerintahan berbeda dengan bidang lain misalnya dalam memimpin perusahaan. Ketiga, menteri muda harus memiliki keterampilan berkomunikasi sehingga bisa lebih leluasa dan mahir berselancar dengan lintas kementerian. Menteri tidak bisa berjalan sendiri- sendiri. Fakta selama ini menteri sering jalan sendiri-sendiri, kurang koordinasi, sering terjadi miskomunikasi antarkementerian, terutama yang satu rumpun. Menteri muda mutlak memiliki kemampuan komunikasi politik yang baik dan cair.

Ini adalah momentum politik yang baik. Jika nanti menteri muda bisa berkinerja cemerlang sehingga masyarakat puas, maka ia dianggap memenuhi ekspektasi publik yang selama ini memang menaruh harapan pada figur muda. Sebaliknya, apabila kinerja menteri muda justru lebih buruk dibandingkan dengan menteri senior, tidak punya terobosan, kering narasi, dan tidak bisa berbuat banyak, maka ke depannya menteri muda boleh jadi tidak akan mendapatkan kepercayaan lagi.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0591 seconds (0.1#10.140)