Diskursus Kriminalisasi Pencandu Narkotika

Rabu, 14 Agustus 2019 - 08:15 WIB
Diskursus Kriminalisasi Pencandu Narkotika
Diskursus Kriminalisasi Pencandu Narkotika
A A A
Muhammad Fatahillah Akbar
Sekretaris dan Dosen pada Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

NEMO prudens punit quea peccatum est sed ne peccatuur bermakna “seorang bijak menjatuhkan pidana tidak sekadar karena ada kejahatan, namun bertujuan agar tidak ada lagi kejahatan”. Ungkapan tersebut dicetuskan Seneca, seorang filsuf Romawi untuk mengungkapkan pentingnya pidana sebagai bentuk penjeraan secara umum agar tidak ada orang yang melakukan kejahatan.

Hal tersebut seharusnya berlaku bagi semua jenis tindak pidana. Namun, dalam pemberantasan tindak pidana narkotika, penjeraan umum atau general deterrence masih belum terlihat.

Baru-baru ini, Nunung beserta suami, Jefry Nichol, sutradara Robby Ertanto, dahulu Riza Shahab, Ammar Zoni, Raffi Ahmad, oknum anggota legislatif, dan sederetan figur publik lainnya pernah terseret kasus narkotika. Mereka bukan pengedar maupun produsen.Dalam terminologi hukum, mereka penyalah guna narkotika yang memiliki ketergantungan. Pertanyaan terbesarnya, apakah hukum seharusnya fokus pada penyalah guna narkotika atau merujuk pada the big fish yang meliputi pengedar, bandar, dan produsen? Tulisan ini membahas bagaimana hukum seharusnya melihat pencandu narkotika.
Pada dasarnya untuk pengguna narkotika dibagi ke dalam dua terminologi menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), yakni pencandu narkotika dan penyalah guna narkotika. Pasal 1 Angka (13) UU Narkotika mendefinisikan pencandu narkotika sebagai orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

Sedangkan, Pasal 1 Angka (15) UU Narkotika memberikan tafsir autentik penyalah guna sebagai orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Dengan melihat definisi tersebut, pencandu merupakan bentuk khusus penyalah guna narkotika yang telah memiliki ketergantungan.

Pasal 54 UU Narkotika menunjukkan politik hukum terhadap pencandu narkotika di Indonesia. Pasal tersebut mewajibkan penegak hukum untuk memberikan rehabilitasi kepada pencandu narkotika. Hal ini kemudian dipertegas Pasal 103 UU Narkotika yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk memerintahkan pencandu narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial.

Hal ini juga kemudian didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pencandu Narkotika. Pasal 13 ayat (3) dan (4) PP tersebut mempertegas bahwa rehabilitasi medis dan sosial harus diberikan kepada pencandu narkotika selama menjalani proses peradilan.
Untuk hakim, kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2011 yang mengatur lebih lanjut mengenai penempatan pencandu pada rehabilitasi medis dan sosial. Hal ini juga didukung Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor SE-002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di mana terdapat kewajiban bagi jaksa menempatkan pencandu narkotika pada rehabilitasi dalam proses peradilan.
Dengan melihat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, dipahami dengan mudah bahwa rezim UU Narkotika saat ini adalah rehabilitasi kepada pencandu. Namun, pada praktiknya, pemidanaan menjadi tujuan utama aparat penegak hukum. Peredaran narkotika di lembaga pemasyarakatan tidak juga mengubah politik hukum penegakan tindak pidana narkotika tersebut.

Dilihat dari hukum positif, penyalah guna narkotika dapat dijerat hanya menggunakan Pasal 127 UU Narkotika. Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan setiap orang penyalah guna narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Semakin rendah golongannya, maka ancaman pidananya akan semakin ringan.

Berdasarkan Pasal 54 UU Narkotika dan peraturan pelaksananya, maka kita mengetahui bahwa pencandu narkotika dipidana dengan konsep double track system, di mana terpidana direhabilitasi dan juga dipidana. Namun, harus dipahami sebagai pencandu lebih penting untuk mendapatkan rehabilitasi untuk lepas dari ketergantungan akan narkotika. Ini merupakan tujuan utama dari UU Narkotika.

Hal ini sejalan dengan Putusan MA Nomor 1522 K/Pid.Sus/2016 yang diputus pada 6 Oktober 2016. Pada putusan tersebut, terdakwa ditemukan membawa sabu-sabu. Pada surat dakwaan, terdakwa didakwa Pasal 114 UU Narkotika dengan delik “Membeli Narkotika Golongan I” alternatif dengan Pasal 112 UU Narkotika dengan delik “Memiliki Narkotika Golongan I”.

Pada pembuktian tidak diketemukan maksud dari terdakwa untuk menjual atau mengalihkan narkoba itu kepada pihak lain. Namun, penuntut umum tidak mendakwa terdakwa dengan Pasal 127 UU Narkotika sama sekali. Dalam putusannya, MA kemudian menyatakan bahwa pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah memutus terdakwa dengan “delik memiliki narkotika golongan I” adalah putusan yang keliru dan MA menjatuhkan terdakwa dengan delik 127 sebagai penyalah guna karena terbukti akan digunakan untuk kepentingan pribadi.

Dari kasus tersebut dapat dipahami bahwa MA telah mengarahkan pencandu kepada rehabilitasi dengan pemidanaan yang paling ringan. Namun, harus diakui, putusan tersebut sangat langka di MA. Kebanyakan pengguna dapat dijerat Pasal 114 dengan ancaman pidana minimal 5 tahun dengan maksimal 20 tahun penjara atau Pasal 112 dengan ancaman pidana minimal 4 tahun dengan maksimal 12 tahun penjara, jauh berbeda dengan Pasal 127 yang memiliki ancaman pidana maksimal empat tahun penjara.

Hal ini sejalan dengan penelitian Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR), dikatakan bahwa 63% kasus menggunakan Pasal 111 atau 112 “delik memiliki dsb” sebagai dakwaan primair (utama) dan 33% kasus menggunakan Pasal 114 “delik membeli dsb” sebagai dakwaan primair. Namun, Pasal 127 tidak pernah didakwakan secara tunggal maupun sebagai dakwaan primair.

Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam penegakan hukum narkotika masih menggunakan rezim pemidanaan daripada rezim rehabilitasi. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan hukum rehabilitasi narkotika. Dengan kondisi pemidanaan seperti ini, bahkan pencandu yang ingin melaporkan diri untuk direhabilitasi menjadi takut dan enggan. Hal ini menjadikan tingkat rehabilitasi menurun dan pencandu meningkat.

Dampak terbesar dari minimnya rehabilitasi adalah penggunaan narkotika yang semakin tidak terbendung. Badan Narkotika Nasional dalam laporan Prevalensi Narkotika mengatakan, tahun 2018, 25% pengguna narkotika adalah generasi milenial. Hal ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya mencapai angka 20%.

Dengan kondisi tersebut, kemudian lahir gerakan-gerakan melegalisasikan penggunaan narkotika. Legalisasi ganja nasional merupakan salah satu wujud gagasan tersebut. Salah satu dasar filosofisnya, penggunaan narkotika memang dianggap victimless crimes atau kejahatan tanpa korban. Bahkan, dalam level tertentu terdapat korban penyalah guna di mana penyalah guna ditetapkan sebagai korban.

Berbeda dengan pengedar, bandar, dan produsen yang memang pelaku utama dan bahkan dapat diganjar pidana mati. Sebagai contoh, negara Portugal melakukan legalisasi narkotika dengan syarat pada 2001. Saat itu peningkatan rehabilitasi terjadi sampai dengan 60%. Oleh karena itu, pencandu yang sembuh dari narkotika semakin banyak. Portugal memang selalu dianggap sebagai negara yang sukses melegalkan penggunaan narkotika dengan syarat.

Hal ini yang hilang dari politik hukum narkotika Indonesia. Pencandu semakin meningkat, rehabilitasi dibatasi, dan pemidanaan terhadap pelaku utama (bandar dan produsen) tidak juga meningkat. Oleh karena itu, jika Indonesia tetap ingin mengkriminalisasikan pengguna, maka rehabilitasi harus diperkuat dan dioptimalkan pada setiap tahapan peradilan. Namun, pada titik tertentu seharusnya dilakukan dekriminalisasi terhadap pengguna untuk sementara waktu. Hal ini bertujuan untuk mengungkap secara tuntas jumlah pengguna dan mengoptimalkan rehabilitasi.

Selain mengoptimalkan rehabilitasi, kontrol terhadap minuman keras dan rokok menjadi penting untuk mengurangi pencandu narkotika. Saat ini juga mulai dikembangkan teori yang dikenal dengan gateway drug theory. Teori yang dikembangkan oleh Denise Kandel (2014) tersebut menciptakan tesis bahwa penggunaan obat-obatan terlarang itu dimulai dengan mengonsumsi nikotin (rokok) dan alkohol (miras). Weibenger AH (2016) menunjukkan hasil penelitian bahwa konsumen miras lebih mudah menggunakan obat-obatan terlarang daripada yang tidak mengonsumsi miras.

Dalam hal ini, perlu ketegasan pengaturan mengenai minuman keras. Sampai saat ini beberapa daerah mengatur mengenai penggunaan dan pengawasan minuman beralkohol dalam bentuk peraturan daerah, seperti Bali, Sumbawa, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kendal. Namun, pengaturan tersebut juga masih bersifat umum. Sebuah isu mengenai perda minuman beralkohol pernah terdengar, yakni pemerintah akan membatalkan perda yang melarang minuman beralkohol karena dianggap bertentangan dengan Perpres Nomor 74 Tahun 2013. Hal ini mempertegas bahwa perlu adanya pengaturan di tingkat undang-undang mengenai minuman beralkohol.

Kabar baiknya, beberapa fraksi di DPR telah mengusulkan RUU Larangan Minuman Beralkohol. RUU tersebut juga telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas sejak 2016. Namun, terdapat kelemahan dalam RUU tersebut karena memberikan kesempatan penggunaan alkohol di tempat yang sah menurut peraturan perundang-undangan sehingga kontrol penggunaan alkohol belum maksimal.

Dalam politik kriminal, pengaturan komprehensif mengenai narkotika, miras, rokok, dan muatan yang menyebabkan ketergantungan adalah hal penting. Untuk menyelesaikan suatu permasalahan, harus diselesaikan langsung ke akar-akarnya. Selain itu, tindakan-tindakan kejahatan lain yang dilakukan oleh pencandu narkotika juga akan dicegah dengan mengurangi jumlah pencandu. Perlu ada tindakan-tindakan khusus dalam situasi Indonesia darurat narkotika.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4927 seconds (0.1#10.140)