Wakaf Uang dan Implementasinya dalam Asuransi Syariah
A
A
A
Muhammad Yusuf Helmy
Senior Consultant KARIM Consulting Indonesia, Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah
WAKAF merupakan salah satu bentuk filantropi dalam Islam yang dapat menjadi media dalam membantu mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Wakaf, yang secara bahasa berarti menahan, berhenti, diam, atau tetap, memiliki keistimewaan karena aset wakaf harus bersifat tetap, tahan lama (tidak habis sekali pakai), serta tidak bisa dijual, dihibahkan atau diwariskan sehingga dapat dimanfaatkan setiap orang dari satu generasi ke generasi berikutnya dan menjadi shadaqah jariyah —amalan yang pahalanya terus mengalir—bagi pewakaf sekalipun ia telah meninggal dunia.
Dalam sejarah peradaban Islam, praktik wakaf pertama kali dilakukan Rasulullah Muhammad SAW pada tahun kedua Hijriah, saat beliau membeli sebidang tanah untuk lokasi pembangunan Masjid an-Nabawi. Perilaku Rasulullah SAW kemudian diikuti para sahabat, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, Anas bin Malik, dan Zubair bin Awwam r.a. Umar ibn al-Khattab, misalnya, mewakafkan kebun dan Utsman bin Affan mewakafkan sumur agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
Pada masa-masa pemerintahan Islam berikutnya, dari masa Dinasti Umawiyah, Abbasiyah, Ayyubiyah, Fathimiyah, Mamluk, hingga Utsmaniyah, praktik wakaf semakin meluas. Para penguasa di berbagai dinasti Islam ini membentuk lembaga khusus untuk menangani aset wakaf agar lebih produktif dan bermanfaat bagi masyarakat.
Peruntukan wakaf yang terbagi menjadi dua, yaitu untuk keluarga (wakaf ahli atau dzurri ) dan untuk umum (wakaf khairi ) diperluas agar jauh lebih bermanfaat. Wakaf diperuntukkan tidak hanya bagi fakir miskin, tapi juga untuk membangun lembaga pendidikan, perpustakaan, beasiswa, dan berbagai fasilitas umum.
Seiring dinamika kehidupan dan perubahan kebutuhan manusia, objek wakaf yang semula identik dengan aset tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan, mengalami perluasan makna. Beberapa ulama, seperti Imam az-Zuhri (wafat 124 H) dan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), menyatakan objek wakaf juga dapat berupa aset tidak bergerak, seperti uang. Bahkan, beberapa ulama menganggap wakaf uang lebih bermanfaat karena memiliki fleksibilitas dan kedudukan strategis dibandingkan benda lain.
Terkait wakaf uang, Majelis Ulama Indonesia pada 11 Mei 2002 mengeluarkan fatwa yang menyatakan hukumnya adalah jawaz (boleh). Fatwa ini menjadi landasan bagi umat Islam di Indonesia dan pemerintah untuk menjadikan wakaf uang sebagai salah satu basis membangun perekonomian umat dan bangsa. Setelah itu, pemerintah mengeluarkan regulasi wakaf, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.
Wakaf uang dilakukan dengan cara menjadikan uang sebagai objek wakaf yang dikelola secara produktif, seperti modal usaha, investasi sektor riil, atau sektor keuangan syariah yang hasil keuntungannya dipakai untuk kemaslahatan umat dan masyarakat umum. Nilai pokok wakaf uang itu sendiri harus terjamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan/atau diwariskan.
Wakaf uang juga dapat dilakukan dalam bentuk uang tunai. Uang itu akan dikonversi menjadi harta benda yang ditujukan untuk kepentingan sosial dan usaha-usaha produktif yang hasil keuntungannya didedikasikan untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan masyarakat umum, seperti pembangunan masjid, pembelian ambulans, pembangunan fasilitas umum.
Kedua model wakaf uang ini punya potensi sangat besar karena setiap orang di level mana pun berkesempatan dan terpacu untuk turut aktif menebarkan kebaikan melalui gerakan wakaf berbasis uang. Jika dulu berwakaf harus menjadi tuan tanah atau orang kaya, sekarang kesan tersebut tidak relevan karena setiap anggota masyarakat dapat berwakaf dengan cara bergotong-royong melalui uang.
Salah satu implementasi gerakan wakaf berbasis uang adalah lahirnya produk asuransi syariah dengan fitur wakaf. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan Fatwa No.106/DSN-MUI/X/2016 tentang Wakaf Manfaat Asuransi dan Manfaat Investasi pada Asuransi Jiwa Syariah. Secara tegas, fatwa ini menyatakan hukum mewakafkan manfaat asuransi dan manfaat investasi pada asuransi jiwa syariah adalah boleh sesuai ketentuan fatwa itu.
Dalam produk asuransi syariah berfitur wakaf, peserta asuransi dapat merencanakan wakaf, baik atas manfaat asuransi yang nanti akan diterima saat terkena musibah maupun atas manfaat investasi yang dikelola asuransi syariah. Wakaf yang direncanakan dengan baik akan terasa jauh lebih ringan, namun menghasilkan objek, nilai, dan manfaat yang lebih besar.
Para ulama di Indonesia sangat menyadari betapa wakaf memiliki potensi sangat besar dalam membiayai dan mendorong perekonomian nasional. Pada 2018, Badan Wakaf Indonesia memperkirakan sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, potensi penerimaan wakaf nasional mencapai Rp180 triliun. Hal ini juga semakin diperkuat dengan tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia yang sangat luar biasa. Badan amal Inggris, Charities Aid Foundation (CAF), telah menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia pada 2018. Dengan demikian, wakaf uang memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Bahkan, data Bank Indonesia menunjukkan potensi sistem sosial Islam di mana wakaf termasuk di dalamnya mencapai Rp217 triliun per tahun atau setara 3,4% produk domestik bruto (PDB). Potensi ini masih sangat berpeluang digali mengingat realisasi penerimaan wakaf saat ini baru mencapai Rp400 miliar per tahun.
Keterlibatan pemerintah, pelaku usaha, dan para ulama sangat diperlukan agar proses literasi wakaf di industri keuangan, khususnya asuransi jiwa syariah dapat meningkat. Masyarakat harus mendapatkan pemahaman yang utuh bahwa wakaf tidak hanya bisa disalurkan melalui uang tunai, tanah atau bangunan, tetapi juga lewat berbagai produk keuangan syariah, salah satunya asuransi jiwa syariah. Hal ini sangat menarik karena menjawab kebutuhan kita di dua sisi sekaligus: kebutuhan perlindungan dan investasi di dunia maupun di akhirat.
Aktivitas edukasi dan sosialisasi juga harus dibarengi lahirnya berbagai variasi produk asuransi. Dengan demikian, masyarakat memiliki berbagai pilihan produk. Masyarakat harus disodorkan fitur asuransi jiwa syariah yang mampu menguntungkan dari sisi perlindungan maupun investasinya. Pada saat yang sama, mereka juga mendapatkan fitur yang sederhana saat harus menyalurkan wakaf. Keberadaan teknologi juga bisa menjadi salah satu alat yang ampuh untuk mempercepat literasi dan penetrasi wakaf asuransi kepada masyarakat.
Andai literasi dan penetrasi tersebut dapat dimaksimalkan, hampir dipastikan Indonesia akan memiliki sumber pendanaan yang sangat besar dari umat. Dana itu dapat dipakai untuk membangun kegiatan sosial, kesehatan, dan pendidikan. Sebuah visi yang sangat mungkin bisa diwujudkan.
Senior Consultant KARIM Consulting Indonesia, Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah
WAKAF merupakan salah satu bentuk filantropi dalam Islam yang dapat menjadi media dalam membantu mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Wakaf, yang secara bahasa berarti menahan, berhenti, diam, atau tetap, memiliki keistimewaan karena aset wakaf harus bersifat tetap, tahan lama (tidak habis sekali pakai), serta tidak bisa dijual, dihibahkan atau diwariskan sehingga dapat dimanfaatkan setiap orang dari satu generasi ke generasi berikutnya dan menjadi shadaqah jariyah —amalan yang pahalanya terus mengalir—bagi pewakaf sekalipun ia telah meninggal dunia.
Dalam sejarah peradaban Islam, praktik wakaf pertama kali dilakukan Rasulullah Muhammad SAW pada tahun kedua Hijriah, saat beliau membeli sebidang tanah untuk lokasi pembangunan Masjid an-Nabawi. Perilaku Rasulullah SAW kemudian diikuti para sahabat, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, Anas bin Malik, dan Zubair bin Awwam r.a. Umar ibn al-Khattab, misalnya, mewakafkan kebun dan Utsman bin Affan mewakafkan sumur agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
Pada masa-masa pemerintahan Islam berikutnya, dari masa Dinasti Umawiyah, Abbasiyah, Ayyubiyah, Fathimiyah, Mamluk, hingga Utsmaniyah, praktik wakaf semakin meluas. Para penguasa di berbagai dinasti Islam ini membentuk lembaga khusus untuk menangani aset wakaf agar lebih produktif dan bermanfaat bagi masyarakat.
Peruntukan wakaf yang terbagi menjadi dua, yaitu untuk keluarga (wakaf ahli atau dzurri ) dan untuk umum (wakaf khairi ) diperluas agar jauh lebih bermanfaat. Wakaf diperuntukkan tidak hanya bagi fakir miskin, tapi juga untuk membangun lembaga pendidikan, perpustakaan, beasiswa, dan berbagai fasilitas umum.
Seiring dinamika kehidupan dan perubahan kebutuhan manusia, objek wakaf yang semula identik dengan aset tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan, mengalami perluasan makna. Beberapa ulama, seperti Imam az-Zuhri (wafat 124 H) dan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), menyatakan objek wakaf juga dapat berupa aset tidak bergerak, seperti uang. Bahkan, beberapa ulama menganggap wakaf uang lebih bermanfaat karena memiliki fleksibilitas dan kedudukan strategis dibandingkan benda lain.
Terkait wakaf uang, Majelis Ulama Indonesia pada 11 Mei 2002 mengeluarkan fatwa yang menyatakan hukumnya adalah jawaz (boleh). Fatwa ini menjadi landasan bagi umat Islam di Indonesia dan pemerintah untuk menjadikan wakaf uang sebagai salah satu basis membangun perekonomian umat dan bangsa. Setelah itu, pemerintah mengeluarkan regulasi wakaf, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006.
Wakaf uang dilakukan dengan cara menjadikan uang sebagai objek wakaf yang dikelola secara produktif, seperti modal usaha, investasi sektor riil, atau sektor keuangan syariah yang hasil keuntungannya dipakai untuk kemaslahatan umat dan masyarakat umum. Nilai pokok wakaf uang itu sendiri harus terjamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan/atau diwariskan.
Wakaf uang juga dapat dilakukan dalam bentuk uang tunai. Uang itu akan dikonversi menjadi harta benda yang ditujukan untuk kepentingan sosial dan usaha-usaha produktif yang hasil keuntungannya didedikasikan untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan masyarakat umum, seperti pembangunan masjid, pembelian ambulans, pembangunan fasilitas umum.
Kedua model wakaf uang ini punya potensi sangat besar karena setiap orang di level mana pun berkesempatan dan terpacu untuk turut aktif menebarkan kebaikan melalui gerakan wakaf berbasis uang. Jika dulu berwakaf harus menjadi tuan tanah atau orang kaya, sekarang kesan tersebut tidak relevan karena setiap anggota masyarakat dapat berwakaf dengan cara bergotong-royong melalui uang.
Salah satu implementasi gerakan wakaf berbasis uang adalah lahirnya produk asuransi syariah dengan fitur wakaf. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan Fatwa No.106/DSN-MUI/X/2016 tentang Wakaf Manfaat Asuransi dan Manfaat Investasi pada Asuransi Jiwa Syariah. Secara tegas, fatwa ini menyatakan hukum mewakafkan manfaat asuransi dan manfaat investasi pada asuransi jiwa syariah adalah boleh sesuai ketentuan fatwa itu.
Dalam produk asuransi syariah berfitur wakaf, peserta asuransi dapat merencanakan wakaf, baik atas manfaat asuransi yang nanti akan diterima saat terkena musibah maupun atas manfaat investasi yang dikelola asuransi syariah. Wakaf yang direncanakan dengan baik akan terasa jauh lebih ringan, namun menghasilkan objek, nilai, dan manfaat yang lebih besar.
Para ulama di Indonesia sangat menyadari betapa wakaf memiliki potensi sangat besar dalam membiayai dan mendorong perekonomian nasional. Pada 2018, Badan Wakaf Indonesia memperkirakan sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, potensi penerimaan wakaf nasional mencapai Rp180 triliun. Hal ini juga semakin diperkuat dengan tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia yang sangat luar biasa. Badan amal Inggris, Charities Aid Foundation (CAF), telah menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia pada 2018. Dengan demikian, wakaf uang memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Bahkan, data Bank Indonesia menunjukkan potensi sistem sosial Islam di mana wakaf termasuk di dalamnya mencapai Rp217 triliun per tahun atau setara 3,4% produk domestik bruto (PDB). Potensi ini masih sangat berpeluang digali mengingat realisasi penerimaan wakaf saat ini baru mencapai Rp400 miliar per tahun.
Keterlibatan pemerintah, pelaku usaha, dan para ulama sangat diperlukan agar proses literasi wakaf di industri keuangan, khususnya asuransi jiwa syariah dapat meningkat. Masyarakat harus mendapatkan pemahaman yang utuh bahwa wakaf tidak hanya bisa disalurkan melalui uang tunai, tanah atau bangunan, tetapi juga lewat berbagai produk keuangan syariah, salah satunya asuransi jiwa syariah. Hal ini sangat menarik karena menjawab kebutuhan kita di dua sisi sekaligus: kebutuhan perlindungan dan investasi di dunia maupun di akhirat.
Aktivitas edukasi dan sosialisasi juga harus dibarengi lahirnya berbagai variasi produk asuransi. Dengan demikian, masyarakat memiliki berbagai pilihan produk. Masyarakat harus disodorkan fitur asuransi jiwa syariah yang mampu menguntungkan dari sisi perlindungan maupun investasinya. Pada saat yang sama, mereka juga mendapatkan fitur yang sederhana saat harus menyalurkan wakaf. Keberadaan teknologi juga bisa menjadi salah satu alat yang ampuh untuk mempercepat literasi dan penetrasi wakaf asuransi kepada masyarakat.
Andai literasi dan penetrasi tersebut dapat dimaksimalkan, hampir dipastikan Indonesia akan memiliki sumber pendanaan yang sangat besar dari umat. Dana itu dapat dipakai untuk membangun kegiatan sosial, kesehatan, dan pendidikan. Sebuah visi yang sangat mungkin bisa diwujudkan.
(cip)