Penguatan Fungsi DPD RI Jadi Keniscayaan
A
A
A
Tamsil Linrung
Anggota DPD RI Terpilih Periode 2019-2024
SEBAGAIMANA diketahui bersama bahwa dalam konteks perwakilan politik di Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI lahir dari konsensus politik nasional untuk memperkuat fungsi perwakilan daerah di tingkat nasional, di samping perwakilan politik DPR. Gagasan dasar pembentukan DPD adalah menjembatani kepentingan daerah dengan kebijakan nasional, sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam pengambilan keputusan politik yang berkaitan langsung dengan daerah.
DPD lahir sebagai anak kandung reformasi. Dia merupakan penjelmaan utusan daerah yang didesain lebih demokratis yakni dipilih, sehingga bukan merupakan utusan yang pada saat itu mencerminkan keinginan penguasa. Para bidan konstitusi saat itu ada yang berpikir lahirnya jabang bayi DPD, sekaligus mengubah sistem perwakilan yang ada saat itu menjadi sistem bikameral meskipun lebih banyak yang tidak setuju.
Lagi-lagi kita punya konsensus "musyawarah mufakat" dengan mengambil jalan tengah "kompromi" dan mengakomodasi semua kepentingan. Pembentukan DPD RI merupakan hasil kompromi politik hanya untuk mengakomodasi tuntutan reformasi dan menghapus perwakilan Utusan daerah dan utusan golongan. Tidak berdasarkan pertimbangan strategis untuk menciptakan sistem perwakilan yang ideal bagi akomodasi keragaman kepentingan, perbedaan warna suku, etnis, dan agama dalam bingkai NKRI dan wawasan Nusantara. Akibatnya, DPD lahir dengan kewenangan terbatas seperti sekarang (soft bicameral ). DPD lahir menjadi "sahabat tua" DPR (meskipun lahir kemudian) karena DPD dalam pekerjaannya lebih banyak memberi usul atau semacam nasihat kepada DPR.
Dilihat dari aspek keterwakilan politik, DPD merupakan cermin dari keragaman suku, etnis, agama, dan budaya. Keterwakilan DPD RI melintasi batas ideologi karena anggota DPD tidak berasal dari kelompok ideologi politik tertentu, melainkan merupakan keterwakilan semua kelompok ideologis, kelompok kepentingan, dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Jumlah anggotanya 136 orang yang dibagi secara berimbang di mana setiap provinsi diwakilkan oleh empat orang.
Kita harus akui, mau tidak mau, jumlah anggota DPD memang sudah didesain dengan ketentuan tidak boleh lebih dari 1/3 anggota DPR, sebagaimana dalam rapat sinkronisasi PAH I pada 12 Juli 2000, sesuai dengan pasal 37, yaitu 1/3 anggota MPR yakni 226 yang menandatangani. Itu artinya, dibutuhkan 94 orang anggota DPR ditambah 132 orang anggota DPD, maka dibutuhkan 226 orang sebagai syarat minimum kuorum untuk dukungan amendemen. Dengan demikian, untuk mengajukan usul amendemen DPD harus mendapat dukungan dari DPR. DPD tidak dapat mengajukan usul amendemen sendiri.
Perdebatan sistem parlemen yang ideal bagi Indonesia dalam era demokratisasi saat ini haruslah memperjelas posisi DPD sebagai upaya untuk memperkuat kedudukan daerah vis-a-vis , berhadapan dengan pusat. Keberadaan DPD telah mengubah format perwakilan satu kamar menjadi dua kamar. Hal ini, misalnya, dijelaskan dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susduk MPR, DPR, dan DPD di mana peran DPD dalam hal legislasi sudah mengalami kemajuan.
DPD tidak saja mengusulkan, tapi juga memiliki kewenangan untuk ikut terlibat dalam pembahasan RUU "terbatas" dengan DPR. Penguatan peran ini memungkinkan DPD memberikan second opinion (pendapat kedua) terhadap rancangan undang-undang (RUU) yang dibahas bersama, sehingga proses pembahasan RUU melalui proses carefull check .
Dalam hal reformasi sistem perwakilan, posisi dan kewenangan DPD harus disejajarkan dengan DPR. Kehadiran DPD bisa menjadi kontrol dan penyeimbang bagi kamar DPR. Sistem pemilihan langsung anggota DPD, jumlah konstituen dan pemilih yang jauh lebih besar dibanding DPR, kemajemukan aspirasi dan latar belakang masyarakat pemilih yang diwakilkan anggota DPD pada kenyataannya tidak sebanding dengan posisi dan kewenangan yang dimiliki.
Oleh karena itu, di level legislatif, DPD mendapat legitimasi paling kuat dari akar rumput (grassroot ) dalam konteks jumlah pemilih. Ekspektasi dan legitimasi yang tinggi dari rakyat terhadap DPD menjadikan penguatan fungsi DPD keniscayaan. Keberadaan DPD harus betul-betul berdaya guna dan efektif dalam fungsi ketatanegaraan.
Dengan demikian, penguatan kelembagaan DPD bertujuan mengembalikan derajat keterwakilan politik (political representative) daerah, sehingga terjadi "check and balances " di dalam lembaga perwakilan. Selain itu membuka peluang pembahasan berlapis (redundancy) atas RUU dan kebijakan politik yang terkait dengan kepentingan masyarakat di daerah. Hal itu hanya dapat diwujudkan jika DPD kuat secara kelembagaan.
Jika sistem demokrasi yang sudah kita anut ini diperkuat lagi di mana pola hubungan antarlembaga negara menjadi makin jelas dan sejajar, maka kita akan mencapai titik terang dalam berdemokrasi dalam rangka menyukseskan empat tujuan bernegara, yakni keutuhan NKRI, kesejahteraan masyarakat, kecerdasan warga negara, dan perdamaian dunia.
Penataan kelembagaan DPD untuk mencapai kondisi ideal dapat terealisasi dengan beberapa langkah strategis. Pertama, konsistensi atas amanat konstitusi. DPD sebagai perwakilan daerah semestinya memainkan peranan strategis dalam sistem dua kamar (bikameral sistem ) bukan hanya semata menjadi "utusan" daerah tetapi harus mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat pusat dan melahirkan produk undang-undang bersama dengan DPR.
Bila mengacu kepada esensi bikameral kuat dan efektif, serta mengacu kepada sistem ketatanegaraan kita, maka DPD idealnya memainkan empat peran, yakni; (1) mempertegas posisinya sebagai "penyambung lidah rakyat" di daerah; (2) berperan sebagai lembaga penyeimbang DPR agar fungsi checks and balances di parlemen dapat berjalan; (3) membantu meringankan beban dan tugas yang diemban oleh DPR. Dengan berbagai produk yang harus dihasilkan maka dibutuhkan lembaga mitra untuk membahas setiap RUU ataupun permasalahan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab dari Parlemen; (4) mengambil inisiatif dalam berbagai hal terkait dengan masalah kebangsaan, baik yang bersifat lokal maupun nasional.
Kedua, perluasan kewenangan. Sebagai perwakilan daerah, DPD semestinya bukan hanya dilibatkan dalam urusan dalam lingkup terkecil yang berkaitan dengan isu-isu kedaerahan, namun juga benar-benar dilibatkan secara penuh dalam mekanisme pembahasan undang-undang secara berlapis. Mekanisme ini akan menghasilkan produk undang-undang yang lebih berkualitas dengan legitimasi yang sangat kuat.
Ketiga, kepemimpinan. Faktor kepemimpinan juga mempunyai pengaruh yang kuat dalam membawa arah DPD dalam tarik-menarik kepentingan dalam pusaran politik nasional. Kepemimpinan harus punya karakter kuat, punya narasi, komunikatif, diterima di semua level dan dapat menjadi solidarity maker. Harapannya, sosok seperti itu bisa menghilangkan sumbatan komunikasi internal maupun eksternal, sehingga mengangkat kembali marwah (dignity) harkat dan martabat DPD sebagai lembaga tinggi negara.
Bila pimpinan institusi DPD memiliki kriteria ruh spiritual dan intelektual, kewibawaan lembaga kembali terangkat, dan mendapat kepercayaan penuh dari rakyat. Dengan modal besar kepercayaan masyarakat tersebut, DPD dapat melibatkan publik dalam proses pelaksanaan tugas dan fungsinya. DPD menjadi lembaga yang tidak hanya terbuka, tapi juga transparan. Seperti yang selama ini dirindukan masyarakat dari lembaga house of representatif.
Dari sisi representasi, baiknya ke depannya anggota DPD perlu lebih banyak waktu di daerah, termasuk mengambil peran dalam proses persidangan di DPRD, musrembang, dan pemerintahan daerah (pemda). Minimal tenaga ahli anggota DPD di setiap daerah mengikuti perkembangan rapat-rapat DPRD dan rapat-rapat penting lainnya di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terkait kebijakan dan program strategis yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat di daerah.
Anggota DPD RI Terpilih Periode 2019-2024
SEBAGAIMANA diketahui bersama bahwa dalam konteks perwakilan politik di Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI lahir dari konsensus politik nasional untuk memperkuat fungsi perwakilan daerah di tingkat nasional, di samping perwakilan politik DPR. Gagasan dasar pembentukan DPD adalah menjembatani kepentingan daerah dengan kebijakan nasional, sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam pengambilan keputusan politik yang berkaitan langsung dengan daerah.
DPD lahir sebagai anak kandung reformasi. Dia merupakan penjelmaan utusan daerah yang didesain lebih demokratis yakni dipilih, sehingga bukan merupakan utusan yang pada saat itu mencerminkan keinginan penguasa. Para bidan konstitusi saat itu ada yang berpikir lahirnya jabang bayi DPD, sekaligus mengubah sistem perwakilan yang ada saat itu menjadi sistem bikameral meskipun lebih banyak yang tidak setuju.
Lagi-lagi kita punya konsensus "musyawarah mufakat" dengan mengambil jalan tengah "kompromi" dan mengakomodasi semua kepentingan. Pembentukan DPD RI merupakan hasil kompromi politik hanya untuk mengakomodasi tuntutan reformasi dan menghapus perwakilan Utusan daerah dan utusan golongan. Tidak berdasarkan pertimbangan strategis untuk menciptakan sistem perwakilan yang ideal bagi akomodasi keragaman kepentingan, perbedaan warna suku, etnis, dan agama dalam bingkai NKRI dan wawasan Nusantara. Akibatnya, DPD lahir dengan kewenangan terbatas seperti sekarang (soft bicameral ). DPD lahir menjadi "sahabat tua" DPR (meskipun lahir kemudian) karena DPD dalam pekerjaannya lebih banyak memberi usul atau semacam nasihat kepada DPR.
Dilihat dari aspek keterwakilan politik, DPD merupakan cermin dari keragaman suku, etnis, agama, dan budaya. Keterwakilan DPD RI melintasi batas ideologi karena anggota DPD tidak berasal dari kelompok ideologi politik tertentu, melainkan merupakan keterwakilan semua kelompok ideologis, kelompok kepentingan, dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Jumlah anggotanya 136 orang yang dibagi secara berimbang di mana setiap provinsi diwakilkan oleh empat orang.
Kita harus akui, mau tidak mau, jumlah anggota DPD memang sudah didesain dengan ketentuan tidak boleh lebih dari 1/3 anggota DPR, sebagaimana dalam rapat sinkronisasi PAH I pada 12 Juli 2000, sesuai dengan pasal 37, yaitu 1/3 anggota MPR yakni 226 yang menandatangani. Itu artinya, dibutuhkan 94 orang anggota DPR ditambah 132 orang anggota DPD, maka dibutuhkan 226 orang sebagai syarat minimum kuorum untuk dukungan amendemen. Dengan demikian, untuk mengajukan usul amendemen DPD harus mendapat dukungan dari DPR. DPD tidak dapat mengajukan usul amendemen sendiri.
Perdebatan sistem parlemen yang ideal bagi Indonesia dalam era demokratisasi saat ini haruslah memperjelas posisi DPD sebagai upaya untuk memperkuat kedudukan daerah vis-a-vis , berhadapan dengan pusat. Keberadaan DPD telah mengubah format perwakilan satu kamar menjadi dua kamar. Hal ini, misalnya, dijelaskan dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susduk MPR, DPR, dan DPD di mana peran DPD dalam hal legislasi sudah mengalami kemajuan.
DPD tidak saja mengusulkan, tapi juga memiliki kewenangan untuk ikut terlibat dalam pembahasan RUU "terbatas" dengan DPR. Penguatan peran ini memungkinkan DPD memberikan second opinion (pendapat kedua) terhadap rancangan undang-undang (RUU) yang dibahas bersama, sehingga proses pembahasan RUU melalui proses carefull check .
Dalam hal reformasi sistem perwakilan, posisi dan kewenangan DPD harus disejajarkan dengan DPR. Kehadiran DPD bisa menjadi kontrol dan penyeimbang bagi kamar DPR. Sistem pemilihan langsung anggota DPD, jumlah konstituen dan pemilih yang jauh lebih besar dibanding DPR, kemajemukan aspirasi dan latar belakang masyarakat pemilih yang diwakilkan anggota DPD pada kenyataannya tidak sebanding dengan posisi dan kewenangan yang dimiliki.
Oleh karena itu, di level legislatif, DPD mendapat legitimasi paling kuat dari akar rumput (grassroot ) dalam konteks jumlah pemilih. Ekspektasi dan legitimasi yang tinggi dari rakyat terhadap DPD menjadikan penguatan fungsi DPD keniscayaan. Keberadaan DPD harus betul-betul berdaya guna dan efektif dalam fungsi ketatanegaraan.
Dengan demikian, penguatan kelembagaan DPD bertujuan mengembalikan derajat keterwakilan politik (political representative) daerah, sehingga terjadi "check and balances " di dalam lembaga perwakilan. Selain itu membuka peluang pembahasan berlapis (redundancy) atas RUU dan kebijakan politik yang terkait dengan kepentingan masyarakat di daerah. Hal itu hanya dapat diwujudkan jika DPD kuat secara kelembagaan.
Jika sistem demokrasi yang sudah kita anut ini diperkuat lagi di mana pola hubungan antarlembaga negara menjadi makin jelas dan sejajar, maka kita akan mencapai titik terang dalam berdemokrasi dalam rangka menyukseskan empat tujuan bernegara, yakni keutuhan NKRI, kesejahteraan masyarakat, kecerdasan warga negara, dan perdamaian dunia.
Penataan kelembagaan DPD untuk mencapai kondisi ideal dapat terealisasi dengan beberapa langkah strategis. Pertama, konsistensi atas amanat konstitusi. DPD sebagai perwakilan daerah semestinya memainkan peranan strategis dalam sistem dua kamar (bikameral sistem ) bukan hanya semata menjadi "utusan" daerah tetapi harus mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat pusat dan melahirkan produk undang-undang bersama dengan DPR.
Bila mengacu kepada esensi bikameral kuat dan efektif, serta mengacu kepada sistem ketatanegaraan kita, maka DPD idealnya memainkan empat peran, yakni; (1) mempertegas posisinya sebagai "penyambung lidah rakyat" di daerah; (2) berperan sebagai lembaga penyeimbang DPR agar fungsi checks and balances di parlemen dapat berjalan; (3) membantu meringankan beban dan tugas yang diemban oleh DPR. Dengan berbagai produk yang harus dihasilkan maka dibutuhkan lembaga mitra untuk membahas setiap RUU ataupun permasalahan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab dari Parlemen; (4) mengambil inisiatif dalam berbagai hal terkait dengan masalah kebangsaan, baik yang bersifat lokal maupun nasional.
Kedua, perluasan kewenangan. Sebagai perwakilan daerah, DPD semestinya bukan hanya dilibatkan dalam urusan dalam lingkup terkecil yang berkaitan dengan isu-isu kedaerahan, namun juga benar-benar dilibatkan secara penuh dalam mekanisme pembahasan undang-undang secara berlapis. Mekanisme ini akan menghasilkan produk undang-undang yang lebih berkualitas dengan legitimasi yang sangat kuat.
Ketiga, kepemimpinan. Faktor kepemimpinan juga mempunyai pengaruh yang kuat dalam membawa arah DPD dalam tarik-menarik kepentingan dalam pusaran politik nasional. Kepemimpinan harus punya karakter kuat, punya narasi, komunikatif, diterima di semua level dan dapat menjadi solidarity maker. Harapannya, sosok seperti itu bisa menghilangkan sumbatan komunikasi internal maupun eksternal, sehingga mengangkat kembali marwah (dignity) harkat dan martabat DPD sebagai lembaga tinggi negara.
Bila pimpinan institusi DPD memiliki kriteria ruh spiritual dan intelektual, kewibawaan lembaga kembali terangkat, dan mendapat kepercayaan penuh dari rakyat. Dengan modal besar kepercayaan masyarakat tersebut, DPD dapat melibatkan publik dalam proses pelaksanaan tugas dan fungsinya. DPD menjadi lembaga yang tidak hanya terbuka, tapi juga transparan. Seperti yang selama ini dirindukan masyarakat dari lembaga house of representatif.
Dari sisi representasi, baiknya ke depannya anggota DPD perlu lebih banyak waktu di daerah, termasuk mengambil peran dalam proses persidangan di DPRD, musrembang, dan pemerintahan daerah (pemda). Minimal tenaga ahli anggota DPD di setiap daerah mengikuti perkembangan rapat-rapat DPRD dan rapat-rapat penting lainnya di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terkait kebijakan dan program strategis yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat di daerah.
(thm)