Pancasilaisme, Golkar Baru, dan Generasi Milenial

Senin, 05 Agustus 2019 - 08:35 WIB
Pancasilaisme, Golkar Baru, dan Generasi Milenial
Pancasilaisme, Golkar Baru, dan Generasi Milenial
A A A
Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI, Wakil Ketua Koordinator Bidang Pratama DPP Partai Golkar 2017-2019, Bendahara Umum DPP Partai Golkar 2014-2016


Pancasilaisme, seperti halnya eksistensi NKRI, adalah harga mati. Karena Pancasilaisme dan NKRI terus menghadapi tantangan, Golkar kini harus mengonsolidasi lagi semua sumber kekuatan nasional guna membentengi Pancasilaisme, termasuk merawat dan memperkokoh persatuan-kesatuan bangsa.

Pancasilais adalah takdir Golongan Karya (Golkar). Karena Pancasilais, Golkar otomatis nasionalis. Konsekuensi logisnya, Golkar bersama kekuatan nasionalis lainnya harus menunjukkan sikap sangat tegas saat Pancasila dan UUD 1945 dirongrong, dan ketika kebinekaan ingin dikoyak-koyak. Lebih setengah abad lalu, tepatnya 1965, saat komunisme dijadikan alternatif untuk menggusur Pancasilaisme, Golkar bahkan tampil sebagai garda terdepan yang menjaga dan membentengi Pancasila.

Artinya, setiap kali ada kekuatan yang coba memaksakan ideologi lain untuk menggusur Pancasila, masalah atau tantangan itu langsung tak langsung merupakan panggilan sejarah bagi Golkar. Karena Golkar memang dilahirkan untuk membentengi sekaligus memastikan tetap tegaknya Pancasila di bumi Ibu Pertiwi. Generasi orang tua tentu masih ingat dengan program yang dikenal dengan sebutan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Eka Prasetya Pancakarsa.

Suka atau tidak suka, program P4 di masa lalu itu adalah bukti kuatnya keterikatan Golkar dengan Pancasilaisme. Jadi, bukannya mengada-ada, tetapi memang ada fakta dan alasan sejarah untuk meletakkan beban yang proporsional di pundak Golkar sekarang ini, saat ada kelompok atau komunitas tertentu yang terus melancarkan propaganda atau hasutan untuk mengingkari nilai-nilai luhur Pancasilaisme. Sudah barang tentu kecenderungan itu selayaknya ditanggapi sebagai panggilan sejarah untuk Golkar.

Sebagai kekuatan politik, Golkar tidak boleh minimalis. Sebaliknya, Golkar bisa saja berinisiatif untuk kembali berbuat, bahu-membahu dengan semua kekuatan bangsa dan generasi milenial khususnya. Golkar sangat berpengalaman karena sudah melakoni takdirnya dalam "perang ideologi" sejak paruh pertama dasawarsa 60-an. Pada era itu, Golkar harus dihadirkan sebagai organisasi yang menyatukan kekuatan semua golongan di negara ini.

Kalau diibaratkan bayi, Golkar harus lahir caesar dari rahim Ibu Pertiwi yang usia kandungannya belum lagi sembilan bulan. Kelahirannya harus direncanakan dan dipaksakan karena negara butuh tambahan kekuatan untuk menghalau paham komunis yang terus merongrong Pancasila dan UUD 1945. Para ahli strategi melahirkan apa yang dahulu disebut Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar pada Oktober 1964 oleh para pentolan TNI/Polri. Sekber Golkar menjadi wadah bersatunya semua organisasi kekuatan nasionalis dari berbagai golongan dan profesi.

Jumlahnya sempat mencapai 291 organisasi. Dari jumlah itu, dilakukan pengelompokan berdasarkan orientasi atau kekaryaan setiap organisasi. Terbentuklah tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO) antara lain Kosgoro, Soksi, MKGR, Gakari dan organisasi kepemudaan dan organisasi profesi lain. Di kemudian hari, tujuh KINO itulah yang menjadi sumber kekuatan untuk menghalau ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila.

Catatan singkat tentang peran strategis Golkar di masa lalu ini perlu dikedepankan lagi agar semua unsur di dalam keluarga besar Golkar paham betapa bangsa dan negara sangat membutuhkan partai ini. Golkar adalah penjaga dan pengamal Pancasila serta UUD 1945. Golkar pun terbukti mampu menjalankan perannya sebagai perekat keberagaman bangsa. Maka, karena panggilan sejarah pula, takdir itu harus diaktualisasikan lagi karena kehendak zaman. Termasuk menyatukan kembali berbagai kekuatan yang lama terserak itu menjadi satu kekuatan penuh, termasuk para purnawirawan dan keluarga TNI/Polri plus Satkar Ulama, MDI, dan Al Hidaiyah yang selama ini jalan sendiri-sendiri.

Konsolidasi

Masih adakah semua sumber kekuatan Golkar itu? Kalaupun masih eksis, seberapa efektif semua KINO itu menjalankan peran dan fungsinya sebagai mesin penggerak untuk mencapai dan mewujudkan tujuan Golkar? Pertanyaan ini relevan untuk dikedepankan saat ini sekadar sebagai introspeksi partai. Ketika harus mencari jawaban atas pertanyaan ini, pijakannya adalah hasil atau perolehan suara dari pemilihan umum.

Pada Pemilu 2019, perolehan suara Golkar tidak terlalu menggembirakan walaupun Golkar memang masuk kelompok fraksi besar di parlemen.
Dalam beberapa kali pemilihan presiden, Golkar sebagai partai besar dengan segudang pengalaman bahkan tidak cukup kuat untuk menawarkan calonnya sendiri. Tentu harus dicari titik lemahnya. Maka, evaluasi menyeluruh menjadi pilihan tak terelakkan. Apakah KINO-KINO selama ini khususnya Trikarya seperti SOKSI, Kosgoro, dan MKGR mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya sehingga layak untuk diandalkan sebagai mesin pemenangan?

Selain itu, apakah Golkar telah berupaya maksimal untuk mendapatkan simpati dari generasi milenial yang jumlahnya mencapai 90 juta itu? Zaman terus berubah sehingga muncul pula tuntutan untuk mengubah pola pendekatan kepada komunitas untuk menjadi simpatisan partai politik. Oleh para perancang Sekber Golkar dan pendiri partai, Golkar telah diwarisi strategi yang sangat efektif dalam mengakumulasi simpatisan. Strategi itu tak lain adalah merangkul semua golongan dan kelompok-kelompok kekuatan nasionalis.

Untuk era terkini, golongan dan kelompok dimaksud tentu saja ada di dalam generasi milenial. Jika Golkar ingin melakukan pendekatan kepada mereka, tentu saja pola pendekatannya berbeda dengan pola yang dulu digunakan oleh para perancang Sekber Golkar. Tantangannya bisa disebut sama, yakni menjaga dan mengamankan Pancasila serta UUD 1945, tetapi cara mengomunikasikan dan cara merangkul mereka tentu harus disesuaikan gaya kehidupan masa kini.

Sudah saatnya Golkar melakukan re-branding untuk menyesuaikan diri terhadap tantangan zaman. Agar dapat terus-menerus melakukan akselerasi dan modernisasi agar Partai Golkar melepaskan diri dari stigma "partai jadul" menjadi partai masa depan yang memberikan kebanggaan dan harapan bagi generasi milenial. Sebelum dan selama tahun politik 2019, bisa terbaca dengan cukup jelas aspirasi generasi milenial yang menginginkan kekuatan nasional menjaga dan mengamankan Pancasila, UUD 1945, dan keutuhan NKRI.

Dari aspirasi itu, lahir tagar "Pancasila Harga Mati" dan "NKRI Harga Mati". Namun, aspirasi itu lebih sering disampaikan generasi milenial kepada TNI dan Polri, bukan kepada partai politik, termasuk Golkar. Dengan begitu, ada peluang bagi semua kekuatan nasionalis seperti Partai Golkar untuk melakukan pendekatan, serta mengeksplorasi kekuatan generasi milenial sebagai simpatisan karena alasan kesamaan aspirasi.

Tantangannya adalah kesungguhan untuk membangun komunikasi yang intens dengan mereka. Selain komunikasi yang intens, Golkar juga harus mau beradaptasi dengan pola hidup generasi milenial. Pola lama dalam upaya merangkul konstituen atau simpatisan partai harus diubah, disesuaikan dengan perilaku dan budaya milenial. Golkar harus mau melakukan perubahan dari dalam agar mampu berbaur dengan generasi milenial yang demokratis dan antiketergantungan.

Golkar bisa membentuk gugus tugas khusus yang pro aktif untuk lebih dekat dengan generasi milenial. Setelah melihat perolehan suara yang tidak terlalu menggembirakan dari Pemilu 2019 baru-baru ini, Golkar memang harus melakukan konsolidasi untuk membangun kembali kekuatan dengan merangkul kembali semua golongan atau komunitas.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9988 seconds (0.1#10.140)