Nilai-Nilai Ilahiah dan Insaniah Ibadah Kurban
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
PADA momen Idul Adha, umat muslim yang memiliki kemampuan melaksanakan ibadah kurban menyerahkan hewan kurban (kambing, domba, dan lembu) kepada panitia atau takmir masjid agar hewan kurban itu disembelih dan dagingnya diberikan kepada kaum duafa. Penyembelihan hewan kurban ini dilakukan setelah selesai salat Idul Adha dan pada hari-hari tasyrik.
Kadang-kadang ada di antara hewan kurban itu yang diserahkan dalam keadaan masih hidup oleh panitia kurban ke masjid-masjid desa atau kampung. Cara ini merupakan cara mudah dan praktis agar pembagian daging kurban itu diterima oleh kaum duafa secara luas dan merata.
Ajaran kurban bermula dari perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail. Perintah Allah ini tertera dalam Alquran Surah Ash-Shaffat ayat 102 :”Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu? Ia menjawab: Hai ayahku, laksanakanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Perintah Allah ini merupakan ujian mahaberat terhadap keimanan, kepatuhan, dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah. Nabi Ibrahim dengan rasa keimanan dan ketaatan yang kuat benar-benar mematuhi perintah Allah.
Nabi Ibrahim membulatkan dan meneguhkan niatnya seraya tetap tegar dan tabah hendak menyembelih Ismail. Ia pun meletakkan pisaunya di leher anak kesayangannya. Pada momen yang sangat mencekam ini, Allah dengan Kemahakuasaan-Nya secepat kilat mengganti Ismail dengan seekor domba besar, dan domba itulah yang akhirnya disembelih oleh Nabi Ibrahim.
Perintah berkurban ini diteruskan oleh Nabi Muhammad sebagai syariat Islam. Ajaran kurban ini dipertegas dalam Alquran Surah Al-Kautsar ayat 1-2: “Sesungguhnya Kami telah memberikan karunia sangat banyak kepadamu, maka salatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah.”
Nilai Ilahiah-Insaniah
Ajaran kurban mengandung nilai-nilai ilahiah dan insaniah. Pertama, ajaran kurban mendidik manusia untuk lebih mencintai Allah (dan Rasul-Nya) daripada yang lain sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim, walaupun beliau harus menyembelih anaknya yang sangat dicintainya. Ismail, sebagai seorang anak yang patuh kepada perintah Allah, juga rela untuk disembelih oleh ayahnya. Ini berarti urusan duniawi seperti anak, harta benda, kekayaan, bisnis, urusan keuangan jangan sampai menjadi penghalang untuk berbakti, mengabdi, dan beribadat secara maksimal dan total kepada Allah.
Kedua, ibadah kurban bermakna dan bertujuan agar manusia ”menyembelih” nafsu hewaniah dalam dirinya. Nafsu hewaniah seperti egoisme, ananiyah, keserakahan, ketamakan, dan nafsu-nafsu rendah dan jahat lainnya haruslah dikekang, dikendalikan, dan dilenyapkan dalam diri manusia.
Ketiga, ibadah kurban mendidik manusia bersifat ikhlas dan rela berkorban dengan memberikan sesuatu yang dicintai kepada orang lain. Logikanya, memberikan sesuatu yang tidak dicintai kepada orang lain adalah bukan esensi ajaran kurban.
Sesuatu yang tidak dicintai merupakan sesuatu yang tidak bernilai dan tidak berharga. Oleh karena itu, tidak etis dan tidak sepatutnya sesuatu yang tidak bernilai itu diberikan kepada orang lain. Sebaliknya, apabila yang diberikan kepada orang lain itu adalah sesuatu yang dicintai dan bernilai maka pemberian dan pengorbanan itu sangat bernilai bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Contohnya adalah pengorbanan para pahlawan. Jiwa, raga, dan harta telah mereka korbankan untuk memerdekakan Tanah Air. Berkat pengorbanan jiwa, raga, dan harta mereka itulah negeri ini akhirnya menjadi bebas merdeka, dan kita pun bisa menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan di bumi persada tercinta ini.
Keempat, ajaran kurban merupakan wujud kepekaan, kesetiakawanan, dan solidaritas sosial. Apabila kepekaan sosial ini luntur atau tergerus, solidaritas dan kesetiakawanan sosial juga akan luntur atau keropos. Apabila ini terjadi maka tidak mustahil akan terjadi kecemburuan sosial yang pada gilirannya akan menimbulkan gejolak dan kerusuhan-kerusuhan sosial dalam kehidupan masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya disharmoni dan disintegrasi sosial yang tentunya akan berdampak luas dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ajaran kurban mempertajam kembali daya kepekaan iman dan kepedulian sosial umat kepada kaum duafa. Ibadah kurban bermakna dan bertujuan agar orang-orang yang mampu memberikan sebagian harta mereka kepada orang-orang yang tidak mampu.
Lebih-lebih di tengah gelombang dan guncangan musibah yang terjadi secara bertubi-tubi di banyak daerah di Tanah Air dewasa ini, seperti di Lombok Barat. Peristiwa-peristiwa tragis seperti itu sudah selayaknya mengetuk hati nurani kita dan menggugah kepekaan sosial kita untuk mengulurkan tangan, memberikan bantuan dan sumbangan kemanusiaan kepada para korban, keluarga korban, dan para pengungsi yang banyak jumlahnya.
Mereka adalah saudara-saudara kita sebangsa se-Tanah Air yang memerlukan bantuan kemanusiaan. Ajaran kurban selalu dan tetap relevan untuk diamalkan karena ajaran tersebut merupakan wujud kepekaan dan kepedulian sosial yang menjadi inti sejati pengamalan kemanusiaan yang adil dan beradab (sila kedua Pancasila).
Ajaran dan ibadah kurban memiliki makna yang sangat fundamental dan tujuan sangat luhur dan mulia bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan. Esensi, makna, tujuan, dan nilai-nilai hakiki ajaran kurban sebenarnya tidak terletak pada daging dan darah hewan kurban itu, juga bukan daging dan darah hewan kurban itu yang sampai pada keridaan Allah, tetapi terletak pada bobot dan kualitas takwa orang yang berkurban itu, dan kualitas takwa itulah yang pada hakikatnya sampai kepada keridaan Allah. Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya: “Daging-daging kurban dan darahnya itu sekali-kali tidak mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”(QS Al-Hajj: 37)
Guru Besar Pascasarjana FIAI, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
PADA momen Idul Adha, umat muslim yang memiliki kemampuan melaksanakan ibadah kurban menyerahkan hewan kurban (kambing, domba, dan lembu) kepada panitia atau takmir masjid agar hewan kurban itu disembelih dan dagingnya diberikan kepada kaum duafa. Penyembelihan hewan kurban ini dilakukan setelah selesai salat Idul Adha dan pada hari-hari tasyrik.
Kadang-kadang ada di antara hewan kurban itu yang diserahkan dalam keadaan masih hidup oleh panitia kurban ke masjid-masjid desa atau kampung. Cara ini merupakan cara mudah dan praktis agar pembagian daging kurban itu diterima oleh kaum duafa secara luas dan merata.
Ajaran kurban bermula dari perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail. Perintah Allah ini tertera dalam Alquran Surah Ash-Shaffat ayat 102 :”Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu? Ia menjawab: Hai ayahku, laksanakanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Perintah Allah ini merupakan ujian mahaberat terhadap keimanan, kepatuhan, dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah. Nabi Ibrahim dengan rasa keimanan dan ketaatan yang kuat benar-benar mematuhi perintah Allah.
Nabi Ibrahim membulatkan dan meneguhkan niatnya seraya tetap tegar dan tabah hendak menyembelih Ismail. Ia pun meletakkan pisaunya di leher anak kesayangannya. Pada momen yang sangat mencekam ini, Allah dengan Kemahakuasaan-Nya secepat kilat mengganti Ismail dengan seekor domba besar, dan domba itulah yang akhirnya disembelih oleh Nabi Ibrahim.
Perintah berkurban ini diteruskan oleh Nabi Muhammad sebagai syariat Islam. Ajaran kurban ini dipertegas dalam Alquran Surah Al-Kautsar ayat 1-2: “Sesungguhnya Kami telah memberikan karunia sangat banyak kepadamu, maka salatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah.”
Nilai Ilahiah-Insaniah
Ajaran kurban mengandung nilai-nilai ilahiah dan insaniah. Pertama, ajaran kurban mendidik manusia untuk lebih mencintai Allah (dan Rasul-Nya) daripada yang lain sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim, walaupun beliau harus menyembelih anaknya yang sangat dicintainya. Ismail, sebagai seorang anak yang patuh kepada perintah Allah, juga rela untuk disembelih oleh ayahnya. Ini berarti urusan duniawi seperti anak, harta benda, kekayaan, bisnis, urusan keuangan jangan sampai menjadi penghalang untuk berbakti, mengabdi, dan beribadat secara maksimal dan total kepada Allah.
Kedua, ibadah kurban bermakna dan bertujuan agar manusia ”menyembelih” nafsu hewaniah dalam dirinya. Nafsu hewaniah seperti egoisme, ananiyah, keserakahan, ketamakan, dan nafsu-nafsu rendah dan jahat lainnya haruslah dikekang, dikendalikan, dan dilenyapkan dalam diri manusia.
Ketiga, ibadah kurban mendidik manusia bersifat ikhlas dan rela berkorban dengan memberikan sesuatu yang dicintai kepada orang lain. Logikanya, memberikan sesuatu yang tidak dicintai kepada orang lain adalah bukan esensi ajaran kurban.
Sesuatu yang tidak dicintai merupakan sesuatu yang tidak bernilai dan tidak berharga. Oleh karena itu, tidak etis dan tidak sepatutnya sesuatu yang tidak bernilai itu diberikan kepada orang lain. Sebaliknya, apabila yang diberikan kepada orang lain itu adalah sesuatu yang dicintai dan bernilai maka pemberian dan pengorbanan itu sangat bernilai bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Contohnya adalah pengorbanan para pahlawan. Jiwa, raga, dan harta telah mereka korbankan untuk memerdekakan Tanah Air. Berkat pengorbanan jiwa, raga, dan harta mereka itulah negeri ini akhirnya menjadi bebas merdeka, dan kita pun bisa menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan di bumi persada tercinta ini.
Keempat, ajaran kurban merupakan wujud kepekaan, kesetiakawanan, dan solidaritas sosial. Apabila kepekaan sosial ini luntur atau tergerus, solidaritas dan kesetiakawanan sosial juga akan luntur atau keropos. Apabila ini terjadi maka tidak mustahil akan terjadi kecemburuan sosial yang pada gilirannya akan menimbulkan gejolak dan kerusuhan-kerusuhan sosial dalam kehidupan masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya disharmoni dan disintegrasi sosial yang tentunya akan berdampak luas dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ajaran kurban mempertajam kembali daya kepekaan iman dan kepedulian sosial umat kepada kaum duafa. Ibadah kurban bermakna dan bertujuan agar orang-orang yang mampu memberikan sebagian harta mereka kepada orang-orang yang tidak mampu.
Lebih-lebih di tengah gelombang dan guncangan musibah yang terjadi secara bertubi-tubi di banyak daerah di Tanah Air dewasa ini, seperti di Lombok Barat. Peristiwa-peristiwa tragis seperti itu sudah selayaknya mengetuk hati nurani kita dan menggugah kepekaan sosial kita untuk mengulurkan tangan, memberikan bantuan dan sumbangan kemanusiaan kepada para korban, keluarga korban, dan para pengungsi yang banyak jumlahnya.
Mereka adalah saudara-saudara kita sebangsa se-Tanah Air yang memerlukan bantuan kemanusiaan. Ajaran kurban selalu dan tetap relevan untuk diamalkan karena ajaran tersebut merupakan wujud kepekaan dan kepedulian sosial yang menjadi inti sejati pengamalan kemanusiaan yang adil dan beradab (sila kedua Pancasila).
Ajaran dan ibadah kurban memiliki makna yang sangat fundamental dan tujuan sangat luhur dan mulia bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan. Esensi, makna, tujuan, dan nilai-nilai hakiki ajaran kurban sebenarnya tidak terletak pada daging dan darah hewan kurban itu, juga bukan daging dan darah hewan kurban itu yang sampai pada keridaan Allah, tetapi terletak pada bobot dan kualitas takwa orang yang berkurban itu, dan kualitas takwa itulah yang pada hakikatnya sampai kepada keridaan Allah. Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya: “Daging-daging kurban dan darahnya itu sekali-kali tidak mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”(QS Al-Hajj: 37)
(whb)