Ibu Kota (nya) Manusia
A
A
A
Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
WACANA pemindahan ibu kota memasuki fase baru. Presiden Joko Widodo bahkan telah melakukan survei lokasi calon-calon ibu kota. Kriteria calon ibu kota sudah mulai disusun dan dilemparkan ke publik. Tentu saja, ini merupakan awal yang bagus sebab wacana pemindahan ibu kota sudah berlangsung sangat lama sehingga dibutuhkan keberanian pascawacana untuk mewujudkannya.
Masyarakat pun menyambut isu tersebut dengan beragam. Suasana pemilihan presiden (pilpres) yang baru lalu sempat membuat isu pemindahan ibu kota dibaluti nuansa politik. Padahal, di luar masalah politiknya, pemindahan ibu kota harus dilihat dalam cara pandang yang holistik. Berbagai aspek harus benar-benar matang dipikirkan.
Tulisan singkat ini ingin mengajukan aspek manusia (human perspective ) sebagai cara pandang dalam memahami kepentingan pemindahan ibu kota ini. Ada beberapa alasan yang melatari mengapa cara pandang manusia menjadi penting.
Perspektif Manusia
Sudah lama disimpulkan bahwa manusia adalah sumber segala sumber dinamika. Pandangan ini dikemukakan oleh kalangan antroposentris. Ringkasnya bahwa manusia memberikan pengaruh besar kepada lingkungannya. Kacau atau teraturnya lingkungan, tergantung manusia membuatnya seperti apa. Maka, kebutuhan membangun sistem yang mengacu kepada visi keadaban dan peradaban menjadi penting. Karena tanpa visi tersebut, masa depan manusia akan di ambang kepunahan.
Sistem sosial, dengan demikian, menjadi fondasi yang kuat untuk menopang perubahan, dinamika, dan arah dari pergerakan sosio-antropologis masyarakat. Tanpa sistem yang kuat, bukan hanya keberlanjutan entitas manusia yang dipertaruhkan, bahkan lebih jauh, umat manusianya sendiri terancam.
Cara pandang antroposentris ini banyak dikritik karena kekuatannya sebab melalui kekuatan yang melekat kepadanya, justru dunia menjadi hancur lebur. Masa depan kemudian hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki akses kepada sumber daya. Atau, mereka yang memiliki kuasa untuk melakukan hegemoni atas kelompok lainnya. Sisanya, mereka yang tidak mampu mengakses sumber-sumber itu, serta tidak memiliki kuasa, justru akhirnya menjadi tatakan atau bantalan dari mereka yang berjaya.
Cara pandang antroposentris ini merupakan buah dari positivisme. Positivisme adalah fase sosiologis di mana ilmu pengetahuan menjadi kiblat dari penggerakan entitas manusia. Positivisme mengabaikan aspek spiritualitas dan (kadang) mengabaikan moralitas sebab akar utamanya adalah fungsi dan pragmatisme logis.
Ketika sesuatu berfungsi, maka pada saat itu aspek dan variabel lain menjadi terabaikan. Positivisme ini juga, dalam beberapa hal, menjadi dasar dari model pilihan rasional manusia dalam mengelola kehidupannya.
Sementara realitasnya, manusia memiliki dua dimensi yang keduanya saling mengisi dan berdinamika secara seimbang. Aspek sosial-emosional akan mendinamisasi manusia menjadi makhluk yang berambisi untuk mencapai beragam kesuksesan duniawi. Kesuksesan adalah puncak dari syahwat sosialnya.
Sedangkan aspek lain adalah spiritual. Aspek spiritual merupakan dimensi lain manusia yang berimplikasi kepada mendinamisasi kehidupannya pada beragam makna. Makna-makna inilah yang memberikan sesosok manusia arti lain dari beragam hal yang sudah atau sedang dicapainya. Spiritualitas kadang merupakan sumber dari moralitas.
Di mana moralitas menjadi pengendali dari setiap fungsi tadi agar tidak berkubang hanya pada fungsi-fungsi yang kasatmata dan logis secara pikiran saja. Sebab, ada aspek lain yang juga berfungsi pada yang lain meski kadang bertentangan atau tidak bisa dijelaskan secara logika biasa.
Keseimbangan antara visi tentang manusia yang utuh dan sempurna (insaan kaamil) inilah yang kemudian mendasari perspektif manusia. Lebih jauh, perspektif manusia hadir karena kebutuhan berikut:
Pertama, banyak sekali ditemukan bahwa program dan manfaat pembangunan justru tidak untuk menjembatani manusia untuk semakin kenal sisi kemanusiaannya. Misalnya pembangunan ruang pelayanan publik di kantor-kantor pemerintahan. Banyak yang mengabaikan aspek kemanusiaan. Di mana aksesnya susah, petugasnya kurang ramah, terkesan mempersulit, akan lancar hanya jika ada "pelicin" dan sebagainya.
Dehumanisasi terjadi dalam bentuk yang ditransformasikan kepada perilaku bahwa "saya yang memiliki kuasa", sedangkan masyarakat yang membutuhkan saya. Akibatnya adalah beres dan tidaknya kepentingan masyarakat "tergantung saya". Statement "tergantung saya" mengindikasikan bagaimana kekuasaan mandatoris didefinisikan sesuai kepentingan dan kebutuhan pemilik kuasa, bukan pemberi kuasa.
Karena inilah, perspektif manusia harus mampu membalikkan semua itu. Kesetaraan di ruang birokrasi harus menjadi dasar pengelolaan modus pelayanan. Birokrasi bukan hanya menyelesaikan administrasinya, tetapi untuk mengingatkan manusia pada sifat asli dari manusia itu sendiri: melayani. Sedangkan administrasi menjadi aspek penunjang dari kemanusiaan itu sendiri, bukan mereduksinya.
Kedua , bahkan banyak ruang publik terbuka (open public space ) pun tidak lepas dari kepentingan-kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Ruang publik, yang notabene di dalamnya ada frasa "publik" yang merujuk satu-satunya hanya kepada entitas manusia, justru mengalami dehumanisasi sistematis. Dehumanisasi sistematis ini banyak kita temukan pada berbagai ruang.
Misalnya, di ruang tunggu (bandara, stasiun, terminal, bahkan taman kota) tidak lepas dari berbagai papan iklan berbayar. Publik yang sudah membeli tiket atau sekadar leyah-leyeh di taman kota, tidak bisa melepaskan diri dari hegemoni iklan yang "membabi buta" menghiasi matanya. Iklan memang menjadi tambang emas para pemilik ruang. Termasuk ruang di dunia maya sekalipun. Bahkan hegemoni iklan ini sudah mencapai taraf "kebenaran kasatmata".
Karena itu, dalam hal ini perlu ada "pembebasan" keterbelengguan manusia saat ini dari perspektif dehumanisasi tersebut. Pengaturan ruang untuk kepentingan bisnis perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak "mengotori" pemandangan kemanusiaan. Hal ini semata-mata ingin dan akan menjadikan manusia sebagai subjek tunggal dari kemanusiaannya sendiri.
Ketiga, manusia adalah entitas yang berbeda dengan makhluk lain karena pengetahuan. Ilmu Mantiq mendefinisikan manusia adalah "hewan yang berbahasa". Bahasa adalah refleksi dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan serumit atau sesederhana apa pun tidak bisa dirasakan kehadirannya tanpa bahasa.
Maka, perspektif manusia berikutnya adalah bahwa segala hal yang terkait dengan kehidupan manusia sehari-hari, bahkan detik per detiknya, harus didasarkan kepada ilmu pengetahuan yang memadai. Ilmu pengetahuan harus menjadi dasar yang kuat dalam memutuskan sesuatu, bukan hanya perasaan, atau wangsit.Sebab, dengan mendasarkan pada ilmu pengetahuan, yang itu menjadi sifat paling mendasar dari manusia, maka keputusan-keputusan yang diambil akan mempertimbangkan aspek-aspek manusia kemarin, saat ini, dan di masa mendatang. Variabel tiga fase tersebut (dulu, kini, dan esok/ nanti) akan menjadi bahan bagaimana keputusan ini dijadikan acuan bagi berbagai pihak.
Menuju Ibu Kotanya Manusia
Mengacu kepada perspektif manusia di atas, yang bisa diringkas menjadi: birokrasi manusia, ruang publik manusia, dan ilmu pengetahuan berkemanusiaan, maka sudah sejatinya pemindahan ibu kota itu mempertimbangkan lebih besar pada aspek-aspek manusia.
Alam pikiran dan perasaan manusia akan berimajinasi pada sebuah ibu kota yang tidak hanya infrastrukturnya megah, berkarakter Nusantara, konektivitas antarunit yang solid, sistem yang tertata dan kuat, serta pelayanan prima yang merata, tetapi juga fungsi seluruh ruang memang didesain, dan diperuntukkan hanya untuk manusia. Pertimbangan atas ini sangat penting mengingat banyak kasus pembangunan abai dengan detil manusia ini. Karena itu, mumpung sang ibu kota baru akan dimulai dari nol, maka desain besar yang beperspektif kemanusiaan ini bisa dijadikan salah satu dasar perencanaan dan pembangunannya.
Secara teknis, tentu para arsitek dan desainer lanskap bisa merancang teknisnya dengan detil. Tetapi, aspek-aspek yang tidak kasatmata seperti nilai-nilai Indonesia, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika bisa saling berpadu dan saling bersenyawa di dalamnya. Sebab, nilai-nilai itulah yang akan terus saling menguatkan dan membuktikan bagaimana Indonesia Jaya itu sandarannya sangat tunggal: Manusia Indonesia!
Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
WACANA pemindahan ibu kota memasuki fase baru. Presiden Joko Widodo bahkan telah melakukan survei lokasi calon-calon ibu kota. Kriteria calon ibu kota sudah mulai disusun dan dilemparkan ke publik. Tentu saja, ini merupakan awal yang bagus sebab wacana pemindahan ibu kota sudah berlangsung sangat lama sehingga dibutuhkan keberanian pascawacana untuk mewujudkannya.
Masyarakat pun menyambut isu tersebut dengan beragam. Suasana pemilihan presiden (pilpres) yang baru lalu sempat membuat isu pemindahan ibu kota dibaluti nuansa politik. Padahal, di luar masalah politiknya, pemindahan ibu kota harus dilihat dalam cara pandang yang holistik. Berbagai aspek harus benar-benar matang dipikirkan.
Tulisan singkat ini ingin mengajukan aspek manusia (human perspective ) sebagai cara pandang dalam memahami kepentingan pemindahan ibu kota ini. Ada beberapa alasan yang melatari mengapa cara pandang manusia menjadi penting.
Perspektif Manusia
Sudah lama disimpulkan bahwa manusia adalah sumber segala sumber dinamika. Pandangan ini dikemukakan oleh kalangan antroposentris. Ringkasnya bahwa manusia memberikan pengaruh besar kepada lingkungannya. Kacau atau teraturnya lingkungan, tergantung manusia membuatnya seperti apa. Maka, kebutuhan membangun sistem yang mengacu kepada visi keadaban dan peradaban menjadi penting. Karena tanpa visi tersebut, masa depan manusia akan di ambang kepunahan.
Sistem sosial, dengan demikian, menjadi fondasi yang kuat untuk menopang perubahan, dinamika, dan arah dari pergerakan sosio-antropologis masyarakat. Tanpa sistem yang kuat, bukan hanya keberlanjutan entitas manusia yang dipertaruhkan, bahkan lebih jauh, umat manusianya sendiri terancam.
Cara pandang antroposentris ini banyak dikritik karena kekuatannya sebab melalui kekuatan yang melekat kepadanya, justru dunia menjadi hancur lebur. Masa depan kemudian hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki akses kepada sumber daya. Atau, mereka yang memiliki kuasa untuk melakukan hegemoni atas kelompok lainnya. Sisanya, mereka yang tidak mampu mengakses sumber-sumber itu, serta tidak memiliki kuasa, justru akhirnya menjadi tatakan atau bantalan dari mereka yang berjaya.
Cara pandang antroposentris ini merupakan buah dari positivisme. Positivisme adalah fase sosiologis di mana ilmu pengetahuan menjadi kiblat dari penggerakan entitas manusia. Positivisme mengabaikan aspek spiritualitas dan (kadang) mengabaikan moralitas sebab akar utamanya adalah fungsi dan pragmatisme logis.
Ketika sesuatu berfungsi, maka pada saat itu aspek dan variabel lain menjadi terabaikan. Positivisme ini juga, dalam beberapa hal, menjadi dasar dari model pilihan rasional manusia dalam mengelola kehidupannya.
Sementara realitasnya, manusia memiliki dua dimensi yang keduanya saling mengisi dan berdinamika secara seimbang. Aspek sosial-emosional akan mendinamisasi manusia menjadi makhluk yang berambisi untuk mencapai beragam kesuksesan duniawi. Kesuksesan adalah puncak dari syahwat sosialnya.
Sedangkan aspek lain adalah spiritual. Aspek spiritual merupakan dimensi lain manusia yang berimplikasi kepada mendinamisasi kehidupannya pada beragam makna. Makna-makna inilah yang memberikan sesosok manusia arti lain dari beragam hal yang sudah atau sedang dicapainya. Spiritualitas kadang merupakan sumber dari moralitas.
Di mana moralitas menjadi pengendali dari setiap fungsi tadi agar tidak berkubang hanya pada fungsi-fungsi yang kasatmata dan logis secara pikiran saja. Sebab, ada aspek lain yang juga berfungsi pada yang lain meski kadang bertentangan atau tidak bisa dijelaskan secara logika biasa.
Keseimbangan antara visi tentang manusia yang utuh dan sempurna (insaan kaamil) inilah yang kemudian mendasari perspektif manusia. Lebih jauh, perspektif manusia hadir karena kebutuhan berikut:
Pertama, banyak sekali ditemukan bahwa program dan manfaat pembangunan justru tidak untuk menjembatani manusia untuk semakin kenal sisi kemanusiaannya. Misalnya pembangunan ruang pelayanan publik di kantor-kantor pemerintahan. Banyak yang mengabaikan aspek kemanusiaan. Di mana aksesnya susah, petugasnya kurang ramah, terkesan mempersulit, akan lancar hanya jika ada "pelicin" dan sebagainya.
Dehumanisasi terjadi dalam bentuk yang ditransformasikan kepada perilaku bahwa "saya yang memiliki kuasa", sedangkan masyarakat yang membutuhkan saya. Akibatnya adalah beres dan tidaknya kepentingan masyarakat "tergantung saya". Statement "tergantung saya" mengindikasikan bagaimana kekuasaan mandatoris didefinisikan sesuai kepentingan dan kebutuhan pemilik kuasa, bukan pemberi kuasa.
Karena inilah, perspektif manusia harus mampu membalikkan semua itu. Kesetaraan di ruang birokrasi harus menjadi dasar pengelolaan modus pelayanan. Birokrasi bukan hanya menyelesaikan administrasinya, tetapi untuk mengingatkan manusia pada sifat asli dari manusia itu sendiri: melayani. Sedangkan administrasi menjadi aspek penunjang dari kemanusiaan itu sendiri, bukan mereduksinya.
Kedua , bahkan banyak ruang publik terbuka (open public space ) pun tidak lepas dari kepentingan-kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Ruang publik, yang notabene di dalamnya ada frasa "publik" yang merujuk satu-satunya hanya kepada entitas manusia, justru mengalami dehumanisasi sistematis. Dehumanisasi sistematis ini banyak kita temukan pada berbagai ruang.
Misalnya, di ruang tunggu (bandara, stasiun, terminal, bahkan taman kota) tidak lepas dari berbagai papan iklan berbayar. Publik yang sudah membeli tiket atau sekadar leyah-leyeh di taman kota, tidak bisa melepaskan diri dari hegemoni iklan yang "membabi buta" menghiasi matanya. Iklan memang menjadi tambang emas para pemilik ruang. Termasuk ruang di dunia maya sekalipun. Bahkan hegemoni iklan ini sudah mencapai taraf "kebenaran kasatmata".
Karena itu, dalam hal ini perlu ada "pembebasan" keterbelengguan manusia saat ini dari perspektif dehumanisasi tersebut. Pengaturan ruang untuk kepentingan bisnis perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak "mengotori" pemandangan kemanusiaan. Hal ini semata-mata ingin dan akan menjadikan manusia sebagai subjek tunggal dari kemanusiaannya sendiri.
Ketiga, manusia adalah entitas yang berbeda dengan makhluk lain karena pengetahuan. Ilmu Mantiq mendefinisikan manusia adalah "hewan yang berbahasa". Bahasa adalah refleksi dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan serumit atau sesederhana apa pun tidak bisa dirasakan kehadirannya tanpa bahasa.
Maka, perspektif manusia berikutnya adalah bahwa segala hal yang terkait dengan kehidupan manusia sehari-hari, bahkan detik per detiknya, harus didasarkan kepada ilmu pengetahuan yang memadai. Ilmu pengetahuan harus menjadi dasar yang kuat dalam memutuskan sesuatu, bukan hanya perasaan, atau wangsit.Sebab, dengan mendasarkan pada ilmu pengetahuan, yang itu menjadi sifat paling mendasar dari manusia, maka keputusan-keputusan yang diambil akan mempertimbangkan aspek-aspek manusia kemarin, saat ini, dan di masa mendatang. Variabel tiga fase tersebut (dulu, kini, dan esok/ nanti) akan menjadi bahan bagaimana keputusan ini dijadikan acuan bagi berbagai pihak.
Menuju Ibu Kotanya Manusia
Mengacu kepada perspektif manusia di atas, yang bisa diringkas menjadi: birokrasi manusia, ruang publik manusia, dan ilmu pengetahuan berkemanusiaan, maka sudah sejatinya pemindahan ibu kota itu mempertimbangkan lebih besar pada aspek-aspek manusia.
Alam pikiran dan perasaan manusia akan berimajinasi pada sebuah ibu kota yang tidak hanya infrastrukturnya megah, berkarakter Nusantara, konektivitas antarunit yang solid, sistem yang tertata dan kuat, serta pelayanan prima yang merata, tetapi juga fungsi seluruh ruang memang didesain, dan diperuntukkan hanya untuk manusia. Pertimbangan atas ini sangat penting mengingat banyak kasus pembangunan abai dengan detil manusia ini. Karena itu, mumpung sang ibu kota baru akan dimulai dari nol, maka desain besar yang beperspektif kemanusiaan ini bisa dijadikan salah satu dasar perencanaan dan pembangunannya.
Secara teknis, tentu para arsitek dan desainer lanskap bisa merancang teknisnya dengan detil. Tetapi, aspek-aspek yang tidak kasatmata seperti nilai-nilai Indonesia, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika bisa saling berpadu dan saling bersenyawa di dalamnya. Sebab, nilai-nilai itulah yang akan terus saling menguatkan dan membuktikan bagaimana Indonesia Jaya itu sandarannya sangat tunggal: Manusia Indonesia!
(maf)