Selamat Datang Era Baru Tis Tas

Sabtu, 27 Juli 2019 - 09:09 WIB
Selamat Datang Era Baru...
Selamat Datang Era Baru Tis Tas
A A A
Akh Muzakki
Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Guru Besar Sosiologi Pendidikan UIN Sunan Ampel

ERA baru telah datang. TisTas, namanya. Kepanjangannya, gratis berkualitas. Idenya, layanan pendidikan sekolah diselenggarakan dengan gratis bagi seluruh siswa.

Tapi, gratis saja tidak cukup. Harus juga berkualitas. Gabungan keduanya antara gratis dan berkualitas mengirimkan pesan agar sekolah bisa dinikmati oleh seluruh anak warga masyarakat dan mereka dikondisikan untuk selalu menjaga kualitas dalam belajar.

Era baru TisTas itu secara resmi dimulai pada tahun ajaran atau tahun akademik 2019/2020. Ya, berarti mulai Juli 2019 ini. Pencetusnya adalah Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak selaku gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur.

Program tersebut menjadi bagian dari Nawabhakti yang menandai kerja pemerintahan provinsi di bawah kepemimpinan keduanya.

Karena itu, hanya berlaku di Jawa Timur, tidak lainnya.

Dalam program TisTas itu, seluruh siswa SMA/SMK/sederajat se-Jawa Timur, negeri atau swasta, sebanyak 1,28 juta akan menikmati layanan pendidikan sekolah yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya.

Pertama, seluruh biaya dasar sekolah yang bernama SPP disubsidi alias ditanggung pemerintah provinsi.

Besarannya berbeda antardaerah. Dasarnya adalah Surat Edaran (SE) Gubernur Jawa Timur Nomor 120/71/101/2017 tentang Sumber Pendanaan SMA/SMK Negeri.

Ukuran besaran SPP itu di antaranya ditentukan sesuai dengan indeks kebutuhan masing-masing daerah.

Namun, meskipun dengan besaran bervariasi, SPP bagi siswa sekolah negeri dijamin gratis melalui skema subsidi di atas.

Untuk siswa sekolah swasta, subsidi menjadi faktor pengurang SPP bergantung pada besaran masing-masing.

Kedua, seluruh siswa juga akan mendapatkan dua pasang pakaian seragam sekolah, abu-abu putih dan pramuka.

Pengadaannya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Tentu, untuk sekolah swasta, seragam khas masing-masing menjadi tanggung jawab masing-masing pula.

Untuk kepentingan itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah mengalokasikan anggaran yang cukup besar. Untuk paruh kedua 2019 ini saja disediakan anggaran Rp908 miliar.

Anggaran itu akan membesar untuk 2020 hingga totalnya mencapai Rp1,8 miliar.

Melihat ide dasarnya, program TisTas di atas layak mendapatkan apresiasi dan dukungan memadai.

Pasalnya, setelah pengalihan kewenangan pengelolaan SMA/SMK dan PK/PLK dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi pada 2017, ada beberapa kabupaten dan kota yang "menyesali" pengalihan itu.

"Penyesalan" itu muncul karena saat pengelolaannya berada di bawah kewenangan kabupaten/kota, sudah ada beberapa pemerintah kabupaten/kota yang mampu menyediakan layanan sekolah gratis bagi warganya. Surabaya adalah contoh paling partikular.

Namun, saat dialihkan ke pemprov, layanan sekolah SMA/SMK menjadi tidak lagi gratis.

Tentu, lalu warga Kota Surabaya harus mengeluarkan belanja ekstra bagi layanan pendidikan sekolah yang diikuti anaknya.

Bayangkan, saat sebelumnya pemerintah mendorong putra-putri warga untuk bersekolah di sekolah vokasional yang bernama SMK, antusiasme pun muncul dalam skala yang cukup besar. Apalagi, warga Kota Surabaya menikmatinya secara gratis.

Namun, menyusul alih kewenangan ke pemprov, orang tua yang menyekolahkan dua anaknya di SMK teknik, sebagai misal, harus merogoh saku dalam-dalam hingga mencapai Rp430.000 untuk SPP keduanya per bulan.

Kini, era gratis berkualitas hadir. Layanan sekolah menjadi gratis dan siswa juga diberi fasilitas kelengkapan seragam.

Kita semuanya, tentu, menyambut baik program itu. Tapi, sambutan baik itu harus diikuti catatan kritis. Saya mencatat, minimal, ada dua catatan penting yang patut diberikan kepada layanan program pendidikan TisTas di atas.

Pertama, niat baik Pemprov Jawa Timur tidak akan sempurna jika tidak dibarengi kedewasaan warga masyarakat.

Sebab, yang ditanggung oleh program TisTas di atas hanya menyangkut komponen dasar penyelenggaraan pendidikan sekolah yang bernama SPP.

Kebutuhan pendidikan lain, misalnya biaya penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler, bisa saja disepakati untuk ada dengan jumlah besaran yang variatif pula sesuai dengan rencana kegiatan dan anggaran sekolah (RKAS) yang disetujui antara pihak sekolah dan komite sekolah yang menjadi wadah para pemangku kepentingan, seperti orang tua dan warga masyarakat.

Untuk itu, kedewasaan yang dibutuhkan dari masyarakat adalah masih terbukanya ruang yang memadai bagi partisipasi aktif warga dalam menyukseskan pendidikan sekolah anak.

Partisipasi aktif dimaksud tidak menutup kemungkinan terhadap keluarnya anggaran dana dari orang tua untuk kelengkapan layanan pendidikan anaknya, seperti ekstrakurikuler.

Ekstrakurikuler memang bukan wajib, tapi opsi penyelenggaraannya dimaksudkan sebesar-besarnya untuk mendampingi skema penguatan keterampilan peserta didik di luar yang dasar pada kegiatan kurikuler sekolah, namun dibutuhkan untuk masa depan mereka.

Hilangnya kesadaran dan kedewasaan atas perihal di atas hanya akan membuka ruang keluhan.

Bisa saja akan muncul komplain yang tidak semestinya seperti ungkapan berikut ini: "Katanya gratis, tapi kok masih ada tarikan uang?" Keluhan semacam ini tidak perlu ada karena Permendikbud Nomor 75/2016 tentang Komite Sekolah sudah mengatur tentang terbukanya ruang bagi orang tua atau warga masyarakat untuk memberikan iuran atau sumbangan (bukan pungutan!) untuk kelengkapan pendidikan peserta didik.

Kedua, program TisTas patut dilengkapi skema bantuan kepada sekolah untuk pemenuhan kebutuhan guru tidak tetap (GTT).

Fakta yang ada, tidak sedikit sekolah terpaksa harus mengangkat GTT hanya untuk menjamin agar pembelajaran tidak kolaps.

Sebab, jumlah guru yang harus menyelenggarakan proses pembelajaran di kelas tidak mampu memenuhi kebutuhan kelas.

Apalagi, jumlah guru tetap yang memasuki masa purnatugas atau pensiun lebih pasti dan jumlahnya lebih banyak daripada jumlah guru tetap yang masuk atas hasil rekrutmen baru.

Memang, jumlah guru tetap semakin tahun bukan makin bertambah, melainkan semakin berkurang.

Untuk menutupi kebutuhan terhadap ketercukupan jumlah guru itu tidak ada cara lain yang bisa dilakukan sekolah kecuali merekrut GTT.

Dari manakah penggajian diberikan kepada GTT? Tentu itu menjadi kewajiban mutlak sekolah.

Nah, kalau tidak ada skema pembantuan dari pemerintah provinsi, tentu hal itu menjadi tugas yang terlalu berat jika dipikirkan secara sepihak oleh sekolah.

Karena itu, program TisTas juga perlu disempurnakan dengan skema penjaminan terhadap ketersediaan dan ketercukupan guru di sekolah.

Jika guru tetap tidak mungkin dilakukan melalui rekrutmen baru secara nasional, harus ada kebijakan tersendiri oleh pemerintah provinsi untuk menjamin ketercukupan guru demi suksesnya proses pembelajaran di sekolah.

Minimal, beban penggajian GTT terjamin. Sebab, sukses siswa harus dimulai dari sukses gurunya.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0601 seconds (0.1#10.140)