Cegah Stunting Itu Penting
A
A
A
Rita Pranawati
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dosen FISIP UHAMKA
HARI Anak Nasional diperingati tiap 23 Juli. Ini momentum tepat untuk mengingatkan kembali pentingnya kerja nyata dalam mengatasi berbagai masalah serius yang mengancam masa depan anak, salah satunya stunting.
Stunting menjadi masalah serius saat ini, tidak sekadar kondisi kekurangan gizi kronis yang dialami anak, namun juga terkait dengan sikap hidup orang tua dan masyarakat sekitar.
Stunting adalah kekurangan gizi pada balita yang berlangsung lama, sejak konsepsi, kehamilan, hingga usia dua tahun, dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak.
Gagal tumbuh bisa terjadi dalam masa kandungan (IUGR= intra uteri growth retardation ) serta saat lahir (BBLR: berat bayi lahir rendah, kurang dari 2,5 kg dan panjang bayi lahir kurang dari 48 cm).
Bayi atau anak yang stunting akan tetap tumbuh, namun garis pertumbuhannya akan tetap berada di bawah bayi atau anak dengan gizi baik.
Kondisi terburuk dari stunting dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak.
Orang tua mempunyai tanggung jawab utama untuk menyelamatkan anak dari stunting karena mereka adalah pribadi terdekat dengan anak.
Pola asuh yang baik dan benar dari orang tua akan menyelamatkan anak dari stunting .
Ironisnya, stunting terjadi baik di kalangan berpendapatan rendah maupun tinggi.
Hal ini disebabkan oleh kekurangan gizi dalam waktu yang lama pada periode 1.000 hari pertama kehidupannya.
Tanggung Jawab Moral
Demikian pula dengan masyarakat sekitar, mereka mempunyai tanggung jawab moral untuk menyelamatkan anak dari kekurangan gizi kronis yang mengakibatkan gagal tumbuh.
Masyarakat sekitar perlu menjamin bahwa kondisi lingkungan cukup sehat untuk anak dapat tumbuh kembang.
Saat lingkungan masyarakat abai terhadap masalah ini, kondisi keluarga pun akan mengalami masalah.
Masalah stunting bukanlah hal sederhana. Pasalnya, kekurangan nutrisi tidak hanya mengambil asupan dari tubuh, namun juga bisa mengambil nutrisi dari otak.
Ini yang paling mengerikan. Saat anak menderita stunting dan mengambil nutrisi dari otak, maka akan terjadi retardasi mental.
Itu yang paling ditakutkan. Saat anak Indonesia mengalami stunting dalam stadium lanjut, maka masa depan bangsa pasti terancam.
Bangsa Indonesia akan mengalami masalah serius karena generasi penerusnya mengalami masalah tumbuh kembang mental yang lambat, bahkan tidak jarang berdampak pada IQ hingga di bawah 80.
Riset Kesehatan Dasar (RKD) 2018 sudah menunjukkan perbaikan dengan turunnya angka prevalensi stunting nasional dari 37,2% (2013) menjadi 30,8%.
Penurunan ini tentu penting kita apresiasi, namun angkanya masih cukup tinggi yaitu hampir sepertiga anak Indonesia.
Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia, atau hampir satu dari tiga anak Indonesia.
Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%).
Kerja Komunitas
Karena itu, minimalisasi stunting adalah kerja komunitas. Artinya, semua pihak perlu bergandengan tangan mengurai masalah ini.
Stunting bukan sekadar persoalan keluarga inti yang kurang gizi. Namun, bagaimana peran serta masyarakat menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia.
Komunitas masyarakat perlu menjamin lingkungan yang bersih. Kebersihan adalah sebagian dari iman perlu menjadi laku masyarakat.
Kebersihan bukan hanya dalam lisan, namun, praktik keseharian. Misalnya, kebiasaan cuci tangan perlu menjadi laku harian.
Mengajarkan perilaku hidup bersih dengan cuci tangan perlu dipraktikkan oleh orang tua. Saat orang tua sudah mempunyai kebiasaan baik, anak-anak akan mengikuti praktik itu.
Hidup dengan sanitasi bersih pun perlu. Setiap rumah tangga perlu memiliki jamban yang sehat. Buang air besar sembarangan bukanlah perilaku masyarakat beradab.
Membiasakan diri buang air di jamban perlu dukungan dan kemauan semua pihak. Pemerintah daerah perlu terus mendorong warganya untuk memiliki jamban.
Jika belum maka pemerintah berkewajiban untuk membuatkannya. Komunitas pun mendukung dengan membangkitkan kesadaran itu.
Konstruksi Kesadaran
Selain itu, di dalam keluarga perlu ada kesadaran pemberian gizi yang baik buat ibu hamil dan anak-anak. Pemberian gizi yang baik itu perlu konstruksi kesadaran sosial.
Artinya, selama ini masih ada pemahaman masyarakat bahwa gizi yang baik hanya diberikan untuk ayah. Makan, misalnya, jika ayah belum menyentuh makan dilarang bagi anggota keluarga yang lain untuk memakannya.
Tradisi mendahulukan ayah perlu direkonstruksi dalam relasi sosial yang baik. Agar ibu dan anak tidak makan sisa dari makanan ayah mereka.
Seorang ayah pun perlu legawa memberikan jatah makanan untuk anggota keluarganya, terutama untuk ibu hamil dan anak-anak.
Setelah keluarga mempunyai pandangan yang baik tentang relasi di ruang makan, giliran petugas kesehatan untuk mendidik masyarakat.
Mereka perlu masuk dalam kegiatan posyandu untuk mendidik kader-kader anti-stunting. Kader-kader itulah yang akan terus mewartakan arti pentingnya pola pengasuhan bagi tumbuh kembang anak yang baik dan sehat.
Kader-kader itu pun perlu mencatat secara detail tumbuh kembang anak di bawah pengawasannya.
Jika ditemukan gejala tidak naik berat badan, harus segera melapor agar tidak berkelanjutan kekurangan nutrisinya.
Respons dan penanganan yang cepat dan tepat akan menyelamatkan jiwa anak. Menyelamatkan satu jiwa anak sama artinya dengan menghidupkan seluruh nyawa anak bangsa.
Dukungan Masyarakat dan Negara
Kelompok sosial masyarakat juga perlu berperan serta dalam program ini. Artinya, organisasi sosial kemasyarakatan perlu ambil bagian dalam program ini.
Sesuai UUD 1945 Pasal 28 B ayat (2): " Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi."
Implementasi dari amanat UUD 1945 itu bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga seluruh anggota masyarakat.
Sekali lagi, persoalan stunting dapat terurai melalui kerja komunitas (kerja bersama antarkomponen bangsa).
Pada akhirnya, mari bergandengan tangan dan melakukan kerja nyata untuk menyelamatkan anak Indonesia dari stunting. Cegah stunting itu penting.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dosen FISIP UHAMKA
HARI Anak Nasional diperingati tiap 23 Juli. Ini momentum tepat untuk mengingatkan kembali pentingnya kerja nyata dalam mengatasi berbagai masalah serius yang mengancam masa depan anak, salah satunya stunting.
Stunting menjadi masalah serius saat ini, tidak sekadar kondisi kekurangan gizi kronis yang dialami anak, namun juga terkait dengan sikap hidup orang tua dan masyarakat sekitar.
Stunting adalah kekurangan gizi pada balita yang berlangsung lama, sejak konsepsi, kehamilan, hingga usia dua tahun, dan menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak.
Gagal tumbuh bisa terjadi dalam masa kandungan (IUGR= intra uteri growth retardation ) serta saat lahir (BBLR: berat bayi lahir rendah, kurang dari 2,5 kg dan panjang bayi lahir kurang dari 48 cm).
Bayi atau anak yang stunting akan tetap tumbuh, namun garis pertumbuhannya akan tetap berada di bawah bayi atau anak dengan gizi baik.
Kondisi terburuk dari stunting dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak.
Orang tua mempunyai tanggung jawab utama untuk menyelamatkan anak dari stunting karena mereka adalah pribadi terdekat dengan anak.
Pola asuh yang baik dan benar dari orang tua akan menyelamatkan anak dari stunting .
Ironisnya, stunting terjadi baik di kalangan berpendapatan rendah maupun tinggi.
Hal ini disebabkan oleh kekurangan gizi dalam waktu yang lama pada periode 1.000 hari pertama kehidupannya.
Tanggung Jawab Moral
Demikian pula dengan masyarakat sekitar, mereka mempunyai tanggung jawab moral untuk menyelamatkan anak dari kekurangan gizi kronis yang mengakibatkan gagal tumbuh.
Masyarakat sekitar perlu menjamin bahwa kondisi lingkungan cukup sehat untuk anak dapat tumbuh kembang.
Saat lingkungan masyarakat abai terhadap masalah ini, kondisi keluarga pun akan mengalami masalah.
Masalah stunting bukanlah hal sederhana. Pasalnya, kekurangan nutrisi tidak hanya mengambil asupan dari tubuh, namun juga bisa mengambil nutrisi dari otak.
Ini yang paling mengerikan. Saat anak menderita stunting dan mengambil nutrisi dari otak, maka akan terjadi retardasi mental.
Itu yang paling ditakutkan. Saat anak Indonesia mengalami stunting dalam stadium lanjut, maka masa depan bangsa pasti terancam.
Bangsa Indonesia akan mengalami masalah serius karena generasi penerusnya mengalami masalah tumbuh kembang mental yang lambat, bahkan tidak jarang berdampak pada IQ hingga di bawah 80.
Riset Kesehatan Dasar (RKD) 2018 sudah menunjukkan perbaikan dengan turunnya angka prevalensi stunting nasional dari 37,2% (2013) menjadi 30,8%.
Penurunan ini tentu penting kita apresiasi, namun angkanya masih cukup tinggi yaitu hampir sepertiga anak Indonesia.
Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia, atau hampir satu dari tiga anak Indonesia.
Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%).
Kerja Komunitas
Karena itu, minimalisasi stunting adalah kerja komunitas. Artinya, semua pihak perlu bergandengan tangan mengurai masalah ini.
Stunting bukan sekadar persoalan keluarga inti yang kurang gizi. Namun, bagaimana peran serta masyarakat menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia.
Komunitas masyarakat perlu menjamin lingkungan yang bersih. Kebersihan adalah sebagian dari iman perlu menjadi laku masyarakat.
Kebersihan bukan hanya dalam lisan, namun, praktik keseharian. Misalnya, kebiasaan cuci tangan perlu menjadi laku harian.
Mengajarkan perilaku hidup bersih dengan cuci tangan perlu dipraktikkan oleh orang tua. Saat orang tua sudah mempunyai kebiasaan baik, anak-anak akan mengikuti praktik itu.
Hidup dengan sanitasi bersih pun perlu. Setiap rumah tangga perlu memiliki jamban yang sehat. Buang air besar sembarangan bukanlah perilaku masyarakat beradab.
Membiasakan diri buang air di jamban perlu dukungan dan kemauan semua pihak. Pemerintah daerah perlu terus mendorong warganya untuk memiliki jamban.
Jika belum maka pemerintah berkewajiban untuk membuatkannya. Komunitas pun mendukung dengan membangkitkan kesadaran itu.
Konstruksi Kesadaran
Selain itu, di dalam keluarga perlu ada kesadaran pemberian gizi yang baik buat ibu hamil dan anak-anak. Pemberian gizi yang baik itu perlu konstruksi kesadaran sosial.
Artinya, selama ini masih ada pemahaman masyarakat bahwa gizi yang baik hanya diberikan untuk ayah. Makan, misalnya, jika ayah belum menyentuh makan dilarang bagi anggota keluarga yang lain untuk memakannya.
Tradisi mendahulukan ayah perlu direkonstruksi dalam relasi sosial yang baik. Agar ibu dan anak tidak makan sisa dari makanan ayah mereka.
Seorang ayah pun perlu legawa memberikan jatah makanan untuk anggota keluarganya, terutama untuk ibu hamil dan anak-anak.
Setelah keluarga mempunyai pandangan yang baik tentang relasi di ruang makan, giliran petugas kesehatan untuk mendidik masyarakat.
Mereka perlu masuk dalam kegiatan posyandu untuk mendidik kader-kader anti-stunting. Kader-kader itulah yang akan terus mewartakan arti pentingnya pola pengasuhan bagi tumbuh kembang anak yang baik dan sehat.
Kader-kader itu pun perlu mencatat secara detail tumbuh kembang anak di bawah pengawasannya.
Jika ditemukan gejala tidak naik berat badan, harus segera melapor agar tidak berkelanjutan kekurangan nutrisinya.
Respons dan penanganan yang cepat dan tepat akan menyelamatkan jiwa anak. Menyelamatkan satu jiwa anak sama artinya dengan menghidupkan seluruh nyawa anak bangsa.
Dukungan Masyarakat dan Negara
Kelompok sosial masyarakat juga perlu berperan serta dalam program ini. Artinya, organisasi sosial kemasyarakatan perlu ambil bagian dalam program ini.
Sesuai UUD 1945 Pasal 28 B ayat (2): " Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi."
Implementasi dari amanat UUD 1945 itu bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga seluruh anggota masyarakat.
Sekali lagi, persoalan stunting dapat terurai melalui kerja komunitas (kerja bersama antarkomponen bangsa).
Pada akhirnya, mari bergandengan tangan dan melakukan kerja nyata untuk menyelamatkan anak Indonesia dari stunting. Cegah stunting itu penting.
(shf)