ICW: Pemerintah Harus Punya Itikad Kuat Reformasi Sistem Kepartaian
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai persoalan korupsi yang dilakukan para kepala daerah, pejabat daerah, hingga pimpinan dan anggota DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota memang sangat kompleks. Aspeknya mencakup korupsi birokrasi, korupsi budgeting, perizinan, maupun legislasi yang berujung terciptanya korupsi politik.
Dari temuan ICW, selama ini untuk pencegahan korupsi baik tataran pemerintah pusat maupun daerah ternyata program yang ditawarkan pemerintah pusat hanya mengarah pada reformasi sektor birokrasi seperti e-budgeting, e-procurement, perizinan elektronik, dan dengan lelang jabatan.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz berpandangan reformasi selama ini yang dilakukan pemerintah pusat hingga tingkat daerah hanya setengah jalan dan tidak menjadi obat mujarab untuk mencegah korupsi. Dengan kata lain, hanya reformasi setengah persoalan. Akibatnya tentu saja belum signifikan untuk menggeser atau mengurangi korupsi di daerah.
"Kenapa itu bukan obat mujarab bagi persoalan korupsi? Karena ternyata sumber penting yang tidak pernah disentuh adalah mereformasi sistem kepartaian. Wilayah korupsi politik yang akarnya adalah pada sistem kepartaian tidak pernah diperbaiki oleh pemerintah," ujar Donal kepada KORAN SINDO, Jumat (26/7/2019).
Dia menggariskan, pemerintah pusat dengan dikomandoi presiden harus memiliki itikad baik, itikad kuat, dan tindakan nyata guna mereformasi sistem kepartaian. Musababnya sampai saat ini para partai politik ada permasalahan serius pada aspek tata kelola keuangan, asas transparansi, perkaderan, rekrutmen hingga pada penunjukan calon-calon pejabat publik.
Karenanya kata dia, perbaikan sistem kepartaian harus maksimal dilakukan oleh pemerintah pusat maupun seluruh partai politik sendiri untuk mencegah korupsi.
"Saya melihat butuh komitmen politik tingkat tinggi pimpinan negara dalam hal ini presiden untuk mendorong reformasi seperti itu terhadap sistem kepartaian. Kalau hanya diandalkan political will dari elite-elite partai semata, maka menurut saya ini cenderung sulit untuk direalisasikan," paparnya.
Donal mencontohkan, pencalonan seorang kepala daerah oleh partai politik sering kali dipermasalahkan tidak hanya oleh eksternal partai tapi bahkan internal partai itu sendiri. Guna pencalonan seorang kepala daerah maupun calon legislatif selalu saja ada dan disertai mahar politik yang diminta partai dan diserahkan si calon ke partai. Menurut data ICW, mahar politik mayoritas terjadi di partai politik.
"Karena mereka merasa itu hak eksklusif partai politik dan tiket itu bisa diperjualbelikan kepada pembayar termahal kan atau probabilitas menangnya paling tinggi. Persoalan mahar politik di parpol kan akar permasalahan korupsi politik yang sesungguhnya, yang ini tidak pernah diobati oleh pemerintah," bebernya.
Dia melanjutkan, adanya mahar politik kemudian membuat calon tersebut ketika terpilih dan menjabat kemudian melakukan berbagai upaya mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan dengan jalan melakukan korupsi.
Donal memaparkan, berdasarkan data yang diperoleh ICW khusus untuk mahar politik bahkan ada satu orang calon gubernur yang ingin maju pada Pilkada Serentak 2015 dimintai Rp20 miliar oleh salah satu partai politik. Calon gubernur tersebut menang dan menjabat sebagai gubernur, kemudian dua perkaranya ditangani KPK, dan kini menjadi terpidana.
"Ketika level birokrasi diperbaiki kemudian sistem kepartaian diperbaiki itu bisa meminimalisir korupsi baik itu kepala daerah, pejabat daerah, DPRD sampai korupsi pihak pengusaha yang ternyata banyak penyumbang dana untuk calon baik kepala daerah maupun calon legislatif," ucapnya.
Dari temuan ICW, selama ini untuk pencegahan korupsi baik tataran pemerintah pusat maupun daerah ternyata program yang ditawarkan pemerintah pusat hanya mengarah pada reformasi sektor birokrasi seperti e-budgeting, e-procurement, perizinan elektronik, dan dengan lelang jabatan.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz berpandangan reformasi selama ini yang dilakukan pemerintah pusat hingga tingkat daerah hanya setengah jalan dan tidak menjadi obat mujarab untuk mencegah korupsi. Dengan kata lain, hanya reformasi setengah persoalan. Akibatnya tentu saja belum signifikan untuk menggeser atau mengurangi korupsi di daerah.
"Kenapa itu bukan obat mujarab bagi persoalan korupsi? Karena ternyata sumber penting yang tidak pernah disentuh adalah mereformasi sistem kepartaian. Wilayah korupsi politik yang akarnya adalah pada sistem kepartaian tidak pernah diperbaiki oleh pemerintah," ujar Donal kepada KORAN SINDO, Jumat (26/7/2019).
Dia menggariskan, pemerintah pusat dengan dikomandoi presiden harus memiliki itikad baik, itikad kuat, dan tindakan nyata guna mereformasi sistem kepartaian. Musababnya sampai saat ini para partai politik ada permasalahan serius pada aspek tata kelola keuangan, asas transparansi, perkaderan, rekrutmen hingga pada penunjukan calon-calon pejabat publik.
Karenanya kata dia, perbaikan sistem kepartaian harus maksimal dilakukan oleh pemerintah pusat maupun seluruh partai politik sendiri untuk mencegah korupsi.
"Saya melihat butuh komitmen politik tingkat tinggi pimpinan negara dalam hal ini presiden untuk mendorong reformasi seperti itu terhadap sistem kepartaian. Kalau hanya diandalkan political will dari elite-elite partai semata, maka menurut saya ini cenderung sulit untuk direalisasikan," paparnya.
Donal mencontohkan, pencalonan seorang kepala daerah oleh partai politik sering kali dipermasalahkan tidak hanya oleh eksternal partai tapi bahkan internal partai itu sendiri. Guna pencalonan seorang kepala daerah maupun calon legislatif selalu saja ada dan disertai mahar politik yang diminta partai dan diserahkan si calon ke partai. Menurut data ICW, mahar politik mayoritas terjadi di partai politik.
"Karena mereka merasa itu hak eksklusif partai politik dan tiket itu bisa diperjualbelikan kepada pembayar termahal kan atau probabilitas menangnya paling tinggi. Persoalan mahar politik di parpol kan akar permasalahan korupsi politik yang sesungguhnya, yang ini tidak pernah diobati oleh pemerintah," bebernya.
Dia melanjutkan, adanya mahar politik kemudian membuat calon tersebut ketika terpilih dan menjabat kemudian melakukan berbagai upaya mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan dengan jalan melakukan korupsi.
Donal memaparkan, berdasarkan data yang diperoleh ICW khusus untuk mahar politik bahkan ada satu orang calon gubernur yang ingin maju pada Pilkada Serentak 2015 dimintai Rp20 miliar oleh salah satu partai politik. Calon gubernur tersebut menang dan menjabat sebagai gubernur, kemudian dua perkaranya ditangani KPK, dan kini menjadi terpidana.
"Ketika level birokrasi diperbaiki kemudian sistem kepartaian diperbaiki itu bisa meminimalisir korupsi baik itu kepala daerah, pejabat daerah, DPRD sampai korupsi pihak pengusaha yang ternyata banyak penyumbang dana untuk calon baik kepala daerah maupun calon legislatif," ucapnya.
(kri)