Menggapai Mimpi Harmonisasi Regulasi
A
A
A
Fitriani Ahlan Sjarif Dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum UI
ISU disharmoni atau tumpang tindih peraturan perundang-undangan (regulasi) masih menjadi momok bagi para pelaku usaha. Ditengarai isu disharmoni regulasi daerah dan pusat adalah salah satu penghambat iklim investasi, usaha, dan kegiatan ekonomi Indonesia.
Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) memiliki mekanisme baru guna menangani disharmoni regulasi. Sejak Desember 2017, Menteri Hukum dan HAM menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 32/2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan melalui Jalur Nonlitigasi. Peraturan tersebut kemudian dicabut dengan Permenkumham Nomor 02/2019 tentang Penyelesaian Disharmoni Peraturan Perundang-undangan melalui Mediasi.
Di dalam peraturan ini terdapat jalur baru untuk para pihak memohon penyelesaian disharmoni regulasi melalui proses mediasi. Tujuannya agar tercapai kesepakatan antara pihak terkait (pemerintah) dengan pemohon (orang, sekumpulan orang, lembaga atau kementerian, badan hukum) yang dirugikan akibat disharmoni regulasi.
Perlu dipahami bahwa regulasi adalah pernyataan kehendak sepihak dari pemerintah, bukan kesepakatan antara pemerintah dan kelompok masyarakat yang diatur. Pada prinsipnya, regulasi ditujukan kepada masyarakat umum dan diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang, yang abstrak, tidak dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja. Dengan pengertian tersebut, pembentukan peraturan perundang-undangan tidak boleh hanya mengakomodasi kebutuhan satu pihak (individual), misal dalam hal ini, pemohon yang merasa kepentingannya dirugikan karena ada peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan merugikannya.
Regulasi yang dikeluarkan dalam ranah publik memang selalu menempatkan pemerintah sebagai pihak lebih tinggi dari masyarakat yang diaturnya. Pemerintah memiliki kewenangan publik, yaitu memerintah dan mengatur. Posisi yang lebih tinggi ini menghasilkan kondisi yang tidak akan pernah seimbang antara pemerintah dan rakyat yang diatur. Dengan pemahaman perbedaan posisi tersebut, pada saat terdapat sengketa regulasi, tidak akan dapat diselesaikan dengan cara membentuk kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat seperti layaknya sengketa pada bidang hukum perdata. Sengketa regulasi tersebut seharusnya dibawa ke ranah yudisial, bukan diselesaikan dengan mediasi!
Melalui Permenkumham Nomor 02/2019, Direktorat Jenderal Perundang-undangan berperan seperti mediator dengan menyebut diri sebagai majelis pemeriksa dan melakukan mekanisme penyelesaian sengketa "ala" hukum privat. Lewat aturan tersebut Kemenkumham seakan diberi kewenangan menjalankan mekanisme penyelesaian sengketa hukum seperti di lembaga yudisial. Di sana terjadi analisis dan proses membandingkan apakah norma dalam sebuah aturan bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi.
Layaknya lembaga yudisial, terdapat majelis yang memimpin pemeriksaan. Bedanya, majelis pemeriksa "hanya" mendengarkan keterangan pemohon dan pihak terkait, pendapat hukum para ahli, melakukan klarifikasi kepada para pihak, serta menyimpulkan dan membacakan hasil mediasi. Majelis pemeriksa tidak memutuskan sidang perkara layaknya di pengadilan, tetapi hanya memimpin pemeriksaan melalui mediasi.
Hasil akhir pemeriksaan berupa kesepakatan para pihak. Jika kesepakatan tidak terpenuhi, majelis akan memberikan pertimbangan kepada menteri untuk menyampaikan rekomendasi kepada presiden. Mediasi dianggap berhasil jika tercipta kesepakatan dan para pihak wajib melaksanakannya paling lama 30 hari kalender atau sesuai kesepakatan para pihak.
Sayangnya, hasil mediasi bukan tanpa masalah. Persoalan lain bisa jadi muncul karena peraturan harus mengatur banyak pihak, bukan hanya pemerintah dan "sekelompok" orang yang menjadi pemohon. Kesepakatan antara pemerintah dan pemohon saja mungkin berpotensi merugikan masyarakat umum yang tidak sepakat atau bahkan tidak pernah tahu adanya sengketa norma di Kemenkumham. Akibatnya, akan muncul ketidakpastian hukum. Selain itu, hasil mediasi juga bukanlah sebuah "hukum" final dan mengikat layaknya putusan pengadilan. Belum lagi menjalankan kesepakatan dalam 30 hari juga tidak mudah dilakukan. Pemerintah dapat saja berkelit tidak akan melaksanakan kesepakatan itu saat di luar forum.
Terkatung-katung
Salah satu contoh hasil mediasi yang tidak dilaksanakan adalah kesepakatan antara Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) dan Pemerintah Kota Bogor pada 20 September 2018 terkait Peraturan Daerah (Perda) Kota Bogor Nomor 12/2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Peraturan Wali Kota Bogor (Perwali) Nomor 3/2014 sebagai turunan perda itu. Perda dan Perwali tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Hasil pemeriksaan memuat kesepakatan agar Pemerintah Kota Bogor menyesuaikan Perda Nomor 12/2009 dengan PP Nomor 109/2012 dan mencabut Perwali Bogor Nomor 3/2014. Hasil kesepakatan kemudian disimpulkan majelis pemeriksa dan dibacakan di depan pemohon dan para pihak terkait dalam sidang terbuka.
Untuk kasus Perda KTR Bogor, pada saat sidang hasil pemeriksaan dianggap berhasil karena mencapai kesepakatan dan dituangkan dalam berita acara kesepakatan yang ditandatangani para pihak di atas meterai. Faktanya, kesepakatan itu tidak dilaksanakan.
Buktinya, pada Desember 2018 Perda Kota Bogor Nomor 12/2009 dicabut dengan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10/2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok namun substansi Perda Kota Bogor Nomor 10/2018 tetap sama dengan perda lama. Substansi Perda Kota Bogor Nomor 10/2018 tetap bertentangan dengan PP Nomor 109/2012. Kesepakatan kedua, yang memerintahkan Perwali Nomor 3/ 2014 dicabut, juga tidak dilaksanakan. Perwali tersebut tetap berlaku sampai sekarang.
Mengacu pada Permenkumham Nomor 02/2019, jika kesepakatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari majelis pemeriksa harus memberikan pertimbangan kepada menteri untuk menyampaikan rekomendasi ke presiden. Sayang sekali batas waktu pemberian pertimbangan kepada menteri ataupun penyampaian rekomendasi kepada presiden tidak diatur lebih lanjut. Alhasil, sampai saat ini pelaksanaan atas kesepakatan yang telah tercapai antara Gaprindo dengan Pemerintah Kota Bogor terkatung-katung.
Inisiatif Menkumham menyelesaikan disharmoni regulasi melalui mediasi mungkin didasari atas niat yang baik, namun keliru secara teori dan pada praktiknya menimbulkan masalah baru, yakni ketidakpastian hukum. Kepastian hukum atas adanya disharmoni regulasi yang dimaknai sebagai konflik norma harusnya dibuktikan pada jalur yudisial. Tampaknya harmonisasi regulasi masih menjadi pekerjaan rumah bagi era pemerintahan ke depan.
ISU disharmoni atau tumpang tindih peraturan perundang-undangan (regulasi) masih menjadi momok bagi para pelaku usaha. Ditengarai isu disharmoni regulasi daerah dan pusat adalah salah satu penghambat iklim investasi, usaha, dan kegiatan ekonomi Indonesia.
Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) memiliki mekanisme baru guna menangani disharmoni regulasi. Sejak Desember 2017, Menteri Hukum dan HAM menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 32/2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan melalui Jalur Nonlitigasi. Peraturan tersebut kemudian dicabut dengan Permenkumham Nomor 02/2019 tentang Penyelesaian Disharmoni Peraturan Perundang-undangan melalui Mediasi.
Di dalam peraturan ini terdapat jalur baru untuk para pihak memohon penyelesaian disharmoni regulasi melalui proses mediasi. Tujuannya agar tercapai kesepakatan antara pihak terkait (pemerintah) dengan pemohon (orang, sekumpulan orang, lembaga atau kementerian, badan hukum) yang dirugikan akibat disharmoni regulasi.
Perlu dipahami bahwa regulasi adalah pernyataan kehendak sepihak dari pemerintah, bukan kesepakatan antara pemerintah dan kelompok masyarakat yang diatur. Pada prinsipnya, regulasi ditujukan kepada masyarakat umum dan diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang, yang abstrak, tidak dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja. Dengan pengertian tersebut, pembentukan peraturan perundang-undangan tidak boleh hanya mengakomodasi kebutuhan satu pihak (individual), misal dalam hal ini, pemohon yang merasa kepentingannya dirugikan karena ada peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan merugikannya.
Regulasi yang dikeluarkan dalam ranah publik memang selalu menempatkan pemerintah sebagai pihak lebih tinggi dari masyarakat yang diaturnya. Pemerintah memiliki kewenangan publik, yaitu memerintah dan mengatur. Posisi yang lebih tinggi ini menghasilkan kondisi yang tidak akan pernah seimbang antara pemerintah dan rakyat yang diatur. Dengan pemahaman perbedaan posisi tersebut, pada saat terdapat sengketa regulasi, tidak akan dapat diselesaikan dengan cara membentuk kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat seperti layaknya sengketa pada bidang hukum perdata. Sengketa regulasi tersebut seharusnya dibawa ke ranah yudisial, bukan diselesaikan dengan mediasi!
Melalui Permenkumham Nomor 02/2019, Direktorat Jenderal Perundang-undangan berperan seperti mediator dengan menyebut diri sebagai majelis pemeriksa dan melakukan mekanisme penyelesaian sengketa "ala" hukum privat. Lewat aturan tersebut Kemenkumham seakan diberi kewenangan menjalankan mekanisme penyelesaian sengketa hukum seperti di lembaga yudisial. Di sana terjadi analisis dan proses membandingkan apakah norma dalam sebuah aturan bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi.
Layaknya lembaga yudisial, terdapat majelis yang memimpin pemeriksaan. Bedanya, majelis pemeriksa "hanya" mendengarkan keterangan pemohon dan pihak terkait, pendapat hukum para ahli, melakukan klarifikasi kepada para pihak, serta menyimpulkan dan membacakan hasil mediasi. Majelis pemeriksa tidak memutuskan sidang perkara layaknya di pengadilan, tetapi hanya memimpin pemeriksaan melalui mediasi.
Hasil akhir pemeriksaan berupa kesepakatan para pihak. Jika kesepakatan tidak terpenuhi, majelis akan memberikan pertimbangan kepada menteri untuk menyampaikan rekomendasi kepada presiden. Mediasi dianggap berhasil jika tercipta kesepakatan dan para pihak wajib melaksanakannya paling lama 30 hari kalender atau sesuai kesepakatan para pihak.
Sayangnya, hasil mediasi bukan tanpa masalah. Persoalan lain bisa jadi muncul karena peraturan harus mengatur banyak pihak, bukan hanya pemerintah dan "sekelompok" orang yang menjadi pemohon. Kesepakatan antara pemerintah dan pemohon saja mungkin berpotensi merugikan masyarakat umum yang tidak sepakat atau bahkan tidak pernah tahu adanya sengketa norma di Kemenkumham. Akibatnya, akan muncul ketidakpastian hukum. Selain itu, hasil mediasi juga bukanlah sebuah "hukum" final dan mengikat layaknya putusan pengadilan. Belum lagi menjalankan kesepakatan dalam 30 hari juga tidak mudah dilakukan. Pemerintah dapat saja berkelit tidak akan melaksanakan kesepakatan itu saat di luar forum.
Terkatung-katung
Salah satu contoh hasil mediasi yang tidak dilaksanakan adalah kesepakatan antara Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) dan Pemerintah Kota Bogor pada 20 September 2018 terkait Peraturan Daerah (Perda) Kota Bogor Nomor 12/2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Peraturan Wali Kota Bogor (Perwali) Nomor 3/2014 sebagai turunan perda itu. Perda dan Perwali tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Hasil pemeriksaan memuat kesepakatan agar Pemerintah Kota Bogor menyesuaikan Perda Nomor 12/2009 dengan PP Nomor 109/2012 dan mencabut Perwali Bogor Nomor 3/2014. Hasil kesepakatan kemudian disimpulkan majelis pemeriksa dan dibacakan di depan pemohon dan para pihak terkait dalam sidang terbuka.
Untuk kasus Perda KTR Bogor, pada saat sidang hasil pemeriksaan dianggap berhasil karena mencapai kesepakatan dan dituangkan dalam berita acara kesepakatan yang ditandatangani para pihak di atas meterai. Faktanya, kesepakatan itu tidak dilaksanakan.
Buktinya, pada Desember 2018 Perda Kota Bogor Nomor 12/2009 dicabut dengan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10/2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok namun substansi Perda Kota Bogor Nomor 10/2018 tetap sama dengan perda lama. Substansi Perda Kota Bogor Nomor 10/2018 tetap bertentangan dengan PP Nomor 109/2012. Kesepakatan kedua, yang memerintahkan Perwali Nomor 3/ 2014 dicabut, juga tidak dilaksanakan. Perwali tersebut tetap berlaku sampai sekarang.
Mengacu pada Permenkumham Nomor 02/2019, jika kesepakatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari majelis pemeriksa harus memberikan pertimbangan kepada menteri untuk menyampaikan rekomendasi ke presiden. Sayang sekali batas waktu pemberian pertimbangan kepada menteri ataupun penyampaian rekomendasi kepada presiden tidak diatur lebih lanjut. Alhasil, sampai saat ini pelaksanaan atas kesepakatan yang telah tercapai antara Gaprindo dengan Pemerintah Kota Bogor terkatung-katung.
Inisiatif Menkumham menyelesaikan disharmoni regulasi melalui mediasi mungkin didasari atas niat yang baik, namun keliru secara teori dan pada praktiknya menimbulkan masalah baru, yakni ketidakpastian hukum. Kepastian hukum atas adanya disharmoni regulasi yang dimaknai sebagai konflik norma harusnya dibuktikan pada jalur yudisial. Tampaknya harmonisasi regulasi masih menjadi pekerjaan rumah bagi era pemerintahan ke depan.
(kri)