Pesan Damai dari MRT Lebak Bulus

Senin, 15 Juli 2019 - 07:45 WIB
Pesan Damai dari MRT Lebak Bulus
Pesan Damai dari MRT Lebak Bulus
A A A
Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

DEMI eksistensi NKRI di masa depan dan juga memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, Joko Widodo dan Prabowo Subianto mengakhiri rivalitas mereka. Dilandasi semangat persaudaraan sebangsa dan satu Tanah Air Indonesia, dua negarawan itu bertemu, berjabat tangan, saling rangkul, dan saling memberi hormat di Stasiun MRT Lebak Bulus, disaksikan warga kebanyakan.

Peristiwa pertemuan di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, pada Sabtu (13/7) itu mengandung ragam makna. Memang, mudah untuk menerjemahkan bahwa pertemuan itu menjadi bukti nyata berdamainya dua tokoh yang sebelumnya bersaing di ajang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Tetapi, makna utama dari peristiwa itu adalah sebuah pesan kepada seluruh elemen rakyat Indonesia tentang urgensi merajut lagi persatuan dan kesatuan.

Pesan yang disampaikan dua negarawan itu tak lain bahwa polarisasi masyarakat akibat beda pilihan politik sudah harus diakhiri, cepat atau lambat. Harmonisasi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat harus segera dipulihkan. Saatnya bagi semua elemen bangsa melihat ke depan. "Kita sama-sama anak bangsa, patriot, dan sama-sama (harus) berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara," kata Prabowo.


Sedangkan Joko Widodo mengimbau semua pihak untuk tidak lagi menggunakan istilah 01 dan 02 sebagai identitas kelompok. Istilah cebong untuk pendukungnya dan kampret untuk pendukung Prabowo agar segera dihapus. "Kita berharap agar para pendukung juga melakukan hal yang sama karena kita sebangsa dan se-Tanah Air. Tidak ada lagi yang namanya 01, tidak ada lagi yang namanya 02. Tidak ada lagi yang namanya cebong. Tidak ada lagi yang namanya kampret. Yang ada adalah Garuda. Garuda Pancasila," seru Jokowi.

Pesan lainnya adalah iktikad baik dan tulus dua negarawan itu untuk mengakhiri sekaligus tutup buku atas sisa-sisa persolan Pilpres 2019, yang oleh beberapa kalangan diasumsikan dan dipersepsikan masih ada. Prabowo telah secara langsung memberi ucapan selamat kepada Joko Widodo yang terpilih sebagai presiden RI periode 2019-2024. 

Pesan berikutnya adalah penegasan Prabowo untuk mengambil posisi sebagai oposisi. Dia berujar, "Tapi kami minta maaf kalau kami mengkritisi sekali-kali karena demokrasi butuh check and balance."

Siapa pun yang mendambakan demokrasi yang sehat dan matang setuju dengan Prabowo. Tentu saja termasuk Presiden Joko Widodo sendiri. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa butuh partner oposisi yang kritis konstruktif. Sebaliknya, akan sangat berbahaya jika pemerintah yang diperkuat oleh partai politik pendukungnya dibiarkan jalan sendiri tanpa pengawasan dari kekuatan oposisi, baik di parlemen maupun di luar parlemen.

Dengan demikian, baik Joko Widodo maupun Prabowo sudah bersepakat untuk tutup buku perihal Pilpres 2019, dan keduanya mendorong semua elemen masyarakat untuk mengambil sikap yang sama.

Tahun politik yang terasa demikian panjang dan sangat melelahkan itu harus disudahi. Kini, setelah keduanya mengambil posisi yang demikian elegan itu, semua elemen masyarakat Indonesia pun idealnya mengambil posisi yang sama, yakni dengan meniadakan polarisasi di tengah kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Persatuan dan kesatuan nasional yang semakin kokoh sangat diperlukan agar Indonesia semakin kuat dan kompeten menanggapi tantangan global yang terus berubah.

Prakarsa Bersama
Memang, Pilpres 2019 telah menghadirkan ketegangan yang cukup menggelisahkan banyak orang, terutama karena terjadinya polarisasi masyarakat. Ragam eksesnya sudah menjadi pengetahuan bersama, termasuk akar persoalannya, dan rasanya tak perlu diulas lagi. Semua peristiwa itu hendaknya menjadi pembelajaran bagi semua komunitas agar di kemudian hari tak berulang.

Pascapiplres, semua berharap polarisasi itu diakhiri.Dan, inisiatif mengakhiri polarisasi itu idealnya diambil dan diprakarsai oleh para tokoh. Harapan masyarakat itu sudah dikabulkan karena baik Jokowi maupun Prabowo sudah mengambil prakarsa itu dengan menyuarakan pesan damai dari Stasiun MRT Lebak Bulus. Sangat elegan karena dua tokoh memanfaatkan ruang publik untuk menyuarakan pesan itu dalam pertemuan yang sangat cair dan penuh canda tawa.

Persoalan berikutnya adalah seberapa kuat pesan damai yang disampaikan Jokowi-Prabowo itu akan bertransmisi ke akar rumput? Tentunya sangat bergantung pada niat baik dan ketulusan semua komunitas menanggapi pesan itu. Memang, ada saja kelompok yang menunjukkan sikap tidak senang dengan pertemuan itu. Tetapi, diyakini bahwa sebagian besar komunitas mendukung dan mengapresiasi pesan damai dari dua tokoh.

Pertemuan itu setidaknya bisa menghilangkan kegelisahan sejumlah elemen masyarakat yang mendambakan terwujudnya harmonisasi kehidupan bermasyarakat.

Maka, setelah pertemuan Jokowi-Prabowo itu, semua komunitas hendaknya bergiat mengakhiri polarisasi masyarakat. Pendekatannya bisa dengan beragam cara sesuai kebiasaan di masing-masing tempat atau permukiman. Munculkan kesadaran bersama bahwa polarisasi atau rivalitas antarkelompok masyarakat itu tidak sehat dan juga tidak produktif.

Sebelumnya pemerintah, DPR, dan semua institusi negara bersama organisasi besar di bidang keagamaan telah menunjukkan keprihatinan sekaligus kepedulian terhadap masalah polarisasi ini. Berbagai pendekatan terus diupayakan untuk mengakhirinya. Namun, tanpa kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat, semua upaya pendekatan itu akan sia-sia. Sebab, pada akhirnya, faktor penentu ada pada kemauan serta niat baik dan tulus semua komunitas di negara ini.
Buku tahun politik itu pun sudah ditutup oleh Jokowi dan Prabowo melalui pesan damai di MRT.

Kini, biarlah panggung rivalitas politik itu selanjutnya diisi dan dilakoni oleh para politisi sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasi konstituennya masing-masing.

Patut untuk diingat dan digarisbawahi oleh semua komunitas bahwa bagi para politisi, tidak ada rivalitas abadi, tidak ada pula musuh abadi, dan tidak ada teman atau anggota koalisi yang abadi. Satu-satunya yang abadi dalam politik adalah kepentingan.

Kalau sudah bicara tentang kepentingan, selalu muncul pertanyaan siapa mendapat apa dan siapa yang harus lebih didahulukan. Kalau sudah begitu, jelas bahwa tidak ada alasan sedikit pun bagi semua elemen akar rumput masyarakat Indonesia untuk mempertahankan atau merawat polarisasi sekarang ini.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4051 seconds (0.1#10.140)