Vonis Baiq Nuril: Hilangnya Legitimasi Berhukum?

Kamis, 11 Juli 2019 - 08:32 WIB
Vonis Baiq Nuril: Hilangnya Legitimasi Berhukum?
Vonis Baiq Nuril: Hilangnya Legitimasi Berhukum?
A A A
Ali Rido
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti

FASE nestapa yang dialami oleh Baiq Nuril terus berlanjut setelah ia menjadi korban pelecehan seksual, kini divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) pascaupaya hukum peninjauan kembali ditolak. Sebagaimana diketahui, Baiq Nuril diputus bersalah oleh MA karena dianggap terbukti melanggar UU Nomor 11 Tahun 2008 jo UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Apa yang dialami Baiq Nuril menjadi rentetan kasus ironis yang mengesankan hukum tak lagi berpihak pada rakyat kecil.

Lini Persoalan
Secara normatif, kehadiran UU ITE memiliki spirit mulia dalam rangka mengantisipasi kejahatan di bidang perkembangan informasi teknologi yang kian masif. Namun, secara konsep pembentukan seolah dibentuk tanpa ada pertimbangan solutif jangka panjang, melainkan diperuntukkan hanya pada penyelesaian permasalahan temporer. Hal itu dibuktikan ada beberapa pasal karet yang dapat disalahgunakan demi kepentingan pragmatis. Hasil analisis Institute for Criminal Justice Reform dan LBH Pers, setidaknya terdapat empat materi muatan yang multiinterpretasi; 1) larangan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; 2) perubahan hukum acara pidana terkait UU ITE yang memberikan kewenangan diskresi aparat penegak hukum terlalu luas tanpa melalui pengadilan; 3) pidana cyber bullying yang tidak jelas kriterianya; dan 4) penapisan konten dan blocking konten muatan yang dilarang tanpa prosedur akses dan indikator yang memadai oleh pemerintah.

Adanya kelemahan tersebut patut diduga dalam pembentukannya minim pertimbangan secara holistik dan hanya bertumpu yang penting aturannya jadi. Aspek filosofis dan sosiologis yang merupakan legitimasi dalam pembentukan sangat mungkin diabaikan sekalipun itu merupakan hal yang niscaya. Akibatnya, produk hukum yang hadir kehilangan legitimasi ketika diimplementasi. Hal itu sekaligus menegaskan bahwa betul secara yuridis aturan itu menjadikan penegak hukum memiliki kepastian dalam bertindak. Namun, pada saat yang sama sejatinya regulasi itu telah kehilangan legitimasi karena justru merontokkan hak setiap orang untuk mendapatkan keadilan secara hakiki yang dijamin oleh konstitusi.

Kelemahan regulasi dunia maya di atas semakin lengkap jika pola penegakannya menggunakan kacamata positivistik. Penegak hukum tak jarang menggunakan kaca mata kuda yang cenderung positivistik dalam bertindak. Dengan dalil bahwa segala persoalan harus diproses hukum menjadi spirit dalam menaikkan angka kredit reputasi profesi. Padahal, dalam perkara tertentu tidak semua kasus harus diproses melalui jalur hukum, melainkan cukup dilakukan mediasi dan klarifikasi. Idealnya, ketika terdapat substansi aturan yang kurang memadai, maka di pundak penegak hukum diberikan beban untuk memperbaiki melalui kerja cerdas penegakan.

Idealnya, penegak hukum harus mampu memberikan pencerahan pemikiran melalui tafsir terhadap hukum itu. Penegak hukum jangan malah menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, namun harus menjadikan hukum sebagai suatu institusi yang bermoral/berkemanusiaan. Model penegakan hukum demikian menjadikan hukum tidak sekadar memiliki kepastian, namun lebih pada kepastian hukum yang logis dalam suatu kerangka rasional sehingga mewujud dimensi keadilan.

Membangun Legitimasi Berhukum
Dalam berhukum tidak cukup hanya bersandar pada kepastian, melainkan penting hadirnya keadilan guna memperoleh legitimasi dari rakyat. Kepastian memang aspek penting dalam berhukum, namun keberadaan keadilan dalam implementasi menjadi dimensi yang amat sangat penting. Dengan kehadiran keadilan, maka akan mendapat legitimasi dari rakyat sehingga hukum yang dibuat mendapatkan legitimasi. Semboyan Indonesia sebagai negara hukum sejatinya menghendaki bukan sekadar hukum yang harus ditegakkan, melainkan hukum yang memiliki nurani yang pantas untuk ditegakkan. Untuk itu, tidak memaksakan aturan buruk sebagai penjerat personal layak untuk dikedepankan.

Melihat ada kelemahan dalam UU ITE di atas, maka menggelorakan usulan untuk dilakukan perubahan menjadi penting untuk diserukan. Meski demikian, dalam proses perubahan, maka aspek substansinya harus dibentuk dan diarahkan pada pembentukan hukum yang memberikan kenyamanan, keamanan, kesejahteraan, serta sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Hal itu penting karena dalam rangka untuk mencapai keadilan substantif ketimbang keadilan formil. Selanjutnya, penguatan wawasan kepada penegak hukum. Dalam hal ini, penegak hukum harus diberikan pemahaman secara radikal akan pentingnya penegakan hukum dengan hati nurani, yaitu penegakan hukum yang bersumber dari basic need setiap manusia untuk diperlakukan adil dan fair .

Dalam konteks itu, penegak hukum harus mulai membangun kultur baru berupa penegakan hukum yang bersifat kolektif. Kolektif yang dimaksud ialah dalam menegakkan hukum harus mampu terlebih dahulu membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk dapat dilaksanakan, bukan sekadar menjalankan bunyi pasal-pasal dalam aturan. Apabila semua itu dilakukan, niscaya dalam berhukum di Indonesia akan mendapatkan legitimasi dari pemegang kedaulatan, yaitu rakyat. Semoga.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4040 seconds (0.1#10.140)