LSI Denny JA Ungkap Pertarungan Empat Ideologi di Pilpres 2019
A
A
A
JAKARTA - Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 sudah selesai seiring keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dan ditindaklanjuti dengan penetapan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kendati begitu, ”pertikaian” politik diprediksi akan terus berlanjut. Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Denny JA mengatakan sahut-menyahut komentar di media, saling kritik dan hujat akan tetap mewarnai ruang publik kita hingga Pilpres 2024 nanti.
”Situasi perpecahan yang kita alami kini tak akan mereda. Mengapa? Karena di balik pertikaian kelompok politik itu, ada elemen pertikaian ideologis. Ada perbedaan soal mimpi Indonesia masa depan. Ada posisi yang berseberangan soal paham kenegaraan,” tutur Denny JA dalam sambutannya ketika menerima The Legend Award, 4 Kali Berturut-Turut Ikut Memenangkan Pemilu Presiden (2004, 2009, 2014, 2019) dari Leprid di Jakarta, Selasa (2/7/2019).
Denny menuturkan, ada empat kelompok ideologi yang ikut “bertikai” dalam Pilpres 2019. Karena itu, seandainya pun terjadi koalisi antara Jokowi dan Prabowo Subianto, pertarungan empat ideologi itu akan terus berjalan. ”Pertarungan ideologi hanya berhenti jika ideologi itu kehilangan pengikutnya dalam jumlah yang signifikan,” urainya.
Keempat ideologi yang dimaksud yakni, pertama, ideologi politik reformasi. Paham ini mulai dibawa Presiden Habibie ketika menjadi presiden pertama era Reformasi. Lalu dilanjutkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan sekarang Jokowi.
”Paham politik reformasi adalah varian demokrasi yang khas Indonesia. Ada kebebasan politik di sana. Berbeda dengan Orde Baru ataupun Orde Lama. Ada kebebasan ekonomi. Semua warga negara punya hak yang sama, apapun agamanya,” katanya.
Ideologi ini disebut sebagai ideologi mainstream. Sejumlah partai politik seperti PDIP, Golkar, termasuk kaum minoritas ada di dalamnya. ”Dalam Pilpres 2019 tempo hari, mayoritas pendukung ideologi ini ada di kubu Jokowi,” paparnya.
Ideologi ini, disebut Denny JA, mendapatkan tantangan dari tiga ideologi lainnya. Yakni yang kedua, ideologi Islam Politik. Paham ini menginginkan syariat Islam lebih berperan di ruang publik.
”Bentuknya bisa macam- macam. Bisa Negara Islam. Bisa sistem khilafah. Bisa juga dengan nama NKRI bersyariah. Bagi paham ini, ideologi yang berlaku sekarang terlalu sekuler. Terlalu liberal. Terlalu memisahkan politik dari agama,” urainya.
Yang menonjol dalam ideologi ini adalah, kata Denny JA, yakni FPI dan HTI. Kedua ormas ini dinilai berperan signifikan dalam Pilpres 2019 di belakang Prabowo.
Ketiga, yakni ideologi “kembali ke UUD 45 yang asli.” Paham ini tak menyetujui sistem politik ekonomi yang berlaku sekarang. Mereka menganggapnya secara politik terlalu liberal. Namun secara ekonomi terlalu memberikan ruang pada perusahaan asing.
Pelopor paham ini, kata Denny JA, awalnya adalah Persatuan Purnawirawan Angkaran Darat. Pada 2009, tokohnya adalah Letnan Jenderal Suryadi. Mantan Panglima TNI, Djoko Santoso yang pada Pilpres 2019 berada di kubu Prabowo, juga disebutnya berada di barisan ini.
Keempat, ideologi hak asasi manusia. Paham ini juga banyak mengkritik Pemerintah Jokowi karena dianggap justru karena kurang liberal. Jika Islam politik menganggap pemerintahan Jokowi terlalu liberal, pendukung hak asasi justru sebaliknya, kurang liberal.
”Jokowi dianggap kurang tuntas menyelesaikan isu HAM, mulai dari kasus gerakan 65 hingga pembunuhan Munir. Tokoh ideologi ini lebih banyak dari LSM. Di tahun 2019, salah satu tokohnya memilih abstain. Harry Azhar sebagai misal, ia mengkritik keras Jokowi. Tapi ia juga tak mau membela Prabowo yang ia anggap punya catatan hitam hak asasi manusia,” paparnya.
Pilpres 2024 mendatang, kata Denny JA, ”pertikaian” politik diprediksi akan semakin ramai karena dua hal. Pertama empat ideologi itu kembali bertarung. Bisa jadi keempat-empatnya lebih kuat karena lebih punya pengalaman. Kedua, yang bertarung nanti, semuanya adalah penantang. Tak ada calon petahana (incumbent) karena Jokowi tak bisa mencalonkan kembali.
Kendati begitu, ”pertikaian” politik diprediksi akan terus berlanjut. Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Denny JA mengatakan sahut-menyahut komentar di media, saling kritik dan hujat akan tetap mewarnai ruang publik kita hingga Pilpres 2024 nanti.
”Situasi perpecahan yang kita alami kini tak akan mereda. Mengapa? Karena di balik pertikaian kelompok politik itu, ada elemen pertikaian ideologis. Ada perbedaan soal mimpi Indonesia masa depan. Ada posisi yang berseberangan soal paham kenegaraan,” tutur Denny JA dalam sambutannya ketika menerima The Legend Award, 4 Kali Berturut-Turut Ikut Memenangkan Pemilu Presiden (2004, 2009, 2014, 2019) dari Leprid di Jakarta, Selasa (2/7/2019).
Denny menuturkan, ada empat kelompok ideologi yang ikut “bertikai” dalam Pilpres 2019. Karena itu, seandainya pun terjadi koalisi antara Jokowi dan Prabowo Subianto, pertarungan empat ideologi itu akan terus berjalan. ”Pertarungan ideologi hanya berhenti jika ideologi itu kehilangan pengikutnya dalam jumlah yang signifikan,” urainya.
Keempat ideologi yang dimaksud yakni, pertama, ideologi politik reformasi. Paham ini mulai dibawa Presiden Habibie ketika menjadi presiden pertama era Reformasi. Lalu dilanjutkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan sekarang Jokowi.
”Paham politik reformasi adalah varian demokrasi yang khas Indonesia. Ada kebebasan politik di sana. Berbeda dengan Orde Baru ataupun Orde Lama. Ada kebebasan ekonomi. Semua warga negara punya hak yang sama, apapun agamanya,” katanya.
Ideologi ini disebut sebagai ideologi mainstream. Sejumlah partai politik seperti PDIP, Golkar, termasuk kaum minoritas ada di dalamnya. ”Dalam Pilpres 2019 tempo hari, mayoritas pendukung ideologi ini ada di kubu Jokowi,” paparnya.
Ideologi ini, disebut Denny JA, mendapatkan tantangan dari tiga ideologi lainnya. Yakni yang kedua, ideologi Islam Politik. Paham ini menginginkan syariat Islam lebih berperan di ruang publik.
”Bentuknya bisa macam- macam. Bisa Negara Islam. Bisa sistem khilafah. Bisa juga dengan nama NKRI bersyariah. Bagi paham ini, ideologi yang berlaku sekarang terlalu sekuler. Terlalu liberal. Terlalu memisahkan politik dari agama,” urainya.
Yang menonjol dalam ideologi ini adalah, kata Denny JA, yakni FPI dan HTI. Kedua ormas ini dinilai berperan signifikan dalam Pilpres 2019 di belakang Prabowo.
Ketiga, yakni ideologi “kembali ke UUD 45 yang asli.” Paham ini tak menyetujui sistem politik ekonomi yang berlaku sekarang. Mereka menganggapnya secara politik terlalu liberal. Namun secara ekonomi terlalu memberikan ruang pada perusahaan asing.
Pelopor paham ini, kata Denny JA, awalnya adalah Persatuan Purnawirawan Angkaran Darat. Pada 2009, tokohnya adalah Letnan Jenderal Suryadi. Mantan Panglima TNI, Djoko Santoso yang pada Pilpres 2019 berada di kubu Prabowo, juga disebutnya berada di barisan ini.
Keempat, ideologi hak asasi manusia. Paham ini juga banyak mengkritik Pemerintah Jokowi karena dianggap justru karena kurang liberal. Jika Islam politik menganggap pemerintahan Jokowi terlalu liberal, pendukung hak asasi justru sebaliknya, kurang liberal.
”Jokowi dianggap kurang tuntas menyelesaikan isu HAM, mulai dari kasus gerakan 65 hingga pembunuhan Munir. Tokoh ideologi ini lebih banyak dari LSM. Di tahun 2019, salah satu tokohnya memilih abstain. Harry Azhar sebagai misal, ia mengkritik keras Jokowi. Tapi ia juga tak mau membela Prabowo yang ia anggap punya catatan hitam hak asasi manusia,” paparnya.
Pilpres 2024 mendatang, kata Denny JA, ”pertikaian” politik diprediksi akan semakin ramai karena dua hal. Pertama empat ideologi itu kembali bertarung. Bisa jadi keempat-empatnya lebih kuat karena lebih punya pengalaman. Kedua, yang bertarung nanti, semuanya adalah penantang. Tak ada calon petahana (incumbent) karena Jokowi tak bisa mencalonkan kembali.
(dam)