Manipulasi Istilah Reklamasi
A
A
A
Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/
Dosen Universitas Trilogi Jakarta
Reklamasi Teluk Jakarta ini kini menjadi sorotan. Munculnya istilah baru, reklamasi, menjadi bagian dari pantai atau lahan daratan menimbulkan problem terminologi dan konsekuensi hukum agrarianya. Ada kesan manipulasi terminologi agar proyek ini tetap berlanjut. Apakah istilah baru menjadi dasar keluarnya izin mendirikan bangunan (IMB) di atas pulau D hasil reklamasi?
Padahal, selama berkampanye, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan amat lantang menghentikan proyek tersebut. Kenyataannya, pembangunan di atas pulau D tetap saja jalan. Ironisnya, Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Pantai Jakarta Utara dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) pantai utara Jakarta hingga kini belum rampung.
Belum lagi ditambah keharusan kelayakan analisis dampak lingkungannya terhadap bangunan yang berdiri di atas pulau D. Berarti penghentian reklamasi selama ini hanyalah bersifat semu.
IMB buat Siapa?
Keluarnya IMB bagi 932 bangunan yang terdiri dari 409 rumah mewah dan 212 kantor di lahan reklamasi pulau D sejatinya buat mengakomodasi kepentingan siapa? Pasalnya, pulau D telah menjadi pusat aktivitas bisnis semisal "Food Store ", yang sama sekali tak berkaitan dengan kelompok masyarakat yang terkena dampak penggusuran, yaitu nelayan Teluk Jakarta.Apakah nelayan yang selama ini digusur mendapatkan manfaat dari penghentian proyek ini? Mestinya mereka mendapatkan akses dan aset agar bisa mengembangkan aktivitas ekonomi produktif. Jika kenyataannya justru pengembang yang sudah sejak awal bermasalah membangun pulau ini yang mendapatkan akses dan memiliki hak kepemilikan atas pulau serta bangunannya, maka sesungguhnya Pemda DKI telah menjilat ludahnya sendiri.
Pemprov DKI sudah menyatakan menghentikan pembangunan pulau reklamasi, namun tidak menghentikan bangunan di atas pulau tersebut. Mengapa bisa demikian? Ini persoalan ekonomi politik yang melibatkan berbagai kalangan elite politik dan korporasi yang berkepentingan terhadap pulau D. Secara de facto, pascapenghentian, pulau D yang sudah telanjur direklamasi itu memang jadi milik Pemprov DKI. Apakah itu benar atau tidak masih menjadi misteri?
Jika benar adanya, seharusnya penggunaan ruang di pulau itu mengalokasikan juga buat nelayan. Atau, mengembangkan sabuk hijau pesisir Jakarta Utara sebagai model pengembangan bioinfrastruktur untuk mengatasi abrasi, akresi dan dampak perubahan iklim. Jika, tidak demikian, apa bedanya kebijakan Pemprov DKI sebelum dan sesudah dihentikan?
Kebijakan politik Anies menghentikan megaproyek reklamasi Teluk Jakarta memberikan harapan masyarakat akan adanya perubahan dalam pengelolaan wilayah pesisir Jakarta Utara terutama nasib nelayan yang terkena dampak. Pasalnya, secara kelembagaan sejak awal proyek ini sudah bermasalah yang menyalahi peraturan perundangan yang berlaku.
Di antaranya UU Nomor 29/2007 dan perubahannya UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, hingga UU Nomor 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria termasuk aturan turunnya.
Di satu sisi proyek ini sudah berjalan sementara aturan perundangan yang mengharuskannya adanya RZWP3K, RTRKS, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) maupun AMDAL belum beres. Di sisi lain ketika tidak dilanjutkan, maka menimbulkan problem lain. Apa status kepemilikan lahan reklamasi?Sebab dia bukan tanah timbul atau hasil sedimentasi di wilayah pesisir. Anehnya, Pemprov DKI ujuk-ujuk mengeluarkan pernyataan bahwa pulau reklamasi disebut lahan kategori daratan. Mengapa demikian? Persoalan menjadi pelik karena Pemprov DKI sudah mengeluarkan IMM dan membuat status baru namanya lahan kategori daratan. Apakah begitu mudah mengangkangi UU dan aturan yang berlaku di negeri ini?
Ironisnya lagi, Pemprov DKI masih menggunakan Peraturan Gubernur Nomor 206/2016 tentang Rencana Tata Kota yang semestinya Gubernur Anies bisa mengubahnya jika memang hendak menghentikan pembangunan pulau dan bangunan di atasnya secara permanen. Lantas jika masih menggunakan dasar aturan, itu artinya reklamasi masih dibolehkan dan juga pembangunan di atasnya.
Pertanyaannya, apakah keluarnya IMB atas pulau D dan penetapan sebagai lahan kategori daratan oleh Pemda DKI mengindikasikan "ada udang di balik batu"? Padahal, bangunan diberi IMB itu belum memiliki dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL).
Pengelolaan Terpadu
Penerbitan IMB pulau D kian menambah daftar masalah terkait pulau reklamasi yang sudah jadi di Teluk Jakarta. Pemda DKI semestinya tidak mengeluarkan IMB di atas pulau D sebelum merampungkan dokumen RZWP3K, RTRKS, RDTR maupun amdal yang merupakan perintah undang-undang, sebab semua dokumen tersebut menjadi acuan pengelolaan terpadu antara ruang daratan dan perairan pesisir Jakarta Utara.
Pasalnya, perairan Teluk Jakarta tak hanya mencakup DKI Jakarta, tetapi juga Jawa Barat dan Banten. Apalagi 13 sungai yang bermuara ke teluk tersebut berasal dari Jawa Barat dan Banten. Makanya, konsep pengelolaan yang mengintegrasikan daerah aliran sungai dan wilayah pesisir (integrated coasal and river basin management) untuk mewujudkan keadilan ekonomi, ruang dan ekologi jadi keniscayaan. Pulau yang terlanjur direklamasi sebaiknya menjadi kawasan sabuk hijau pesisir (coastal green belt) lewat penanaman vegetasi bakau dan sejenisnya untuk merestorasi fungsi ekologis dan menjamin keberlanjutan metabolisme alam.
Imbasnya, di masa datang akan mengakibatkan sumber daya perikanan akan kembali melimpah akibat ketersediaan nutrien alami di wilayah tersebut. Di samping itu, kawasan sabuk hijau ini dapat juga dijadikan kawasan ekosturisme (eco-tourism) yang melibatkan masyarakat lokal sebagai pengelolanya.
Akibatnya, nelayan pesisir Jakarta Utara bakal kembali mendapatkan sumber mata pencaharian yang berkelanjutan dari perikanan. Hal lain, kawasan ini juga dapat dijadikan sebagai laboratorium alam untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Jadi, Pemprov DKI sebaiknya menghentikan permanen reklamasi dan bangunannya sehingga tidak perlu memanipulasi istilahnya.
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/
Dosen Universitas Trilogi Jakarta
Reklamasi Teluk Jakarta ini kini menjadi sorotan. Munculnya istilah baru, reklamasi, menjadi bagian dari pantai atau lahan daratan menimbulkan problem terminologi dan konsekuensi hukum agrarianya. Ada kesan manipulasi terminologi agar proyek ini tetap berlanjut. Apakah istilah baru menjadi dasar keluarnya izin mendirikan bangunan (IMB) di atas pulau D hasil reklamasi?
Padahal, selama berkampanye, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan amat lantang menghentikan proyek tersebut. Kenyataannya, pembangunan di atas pulau D tetap saja jalan. Ironisnya, Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Pantai Jakarta Utara dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) pantai utara Jakarta hingga kini belum rampung.
Belum lagi ditambah keharusan kelayakan analisis dampak lingkungannya terhadap bangunan yang berdiri di atas pulau D. Berarti penghentian reklamasi selama ini hanyalah bersifat semu.
IMB buat Siapa?
Keluarnya IMB bagi 932 bangunan yang terdiri dari 409 rumah mewah dan 212 kantor di lahan reklamasi pulau D sejatinya buat mengakomodasi kepentingan siapa? Pasalnya, pulau D telah menjadi pusat aktivitas bisnis semisal "Food Store ", yang sama sekali tak berkaitan dengan kelompok masyarakat yang terkena dampak penggusuran, yaitu nelayan Teluk Jakarta.Apakah nelayan yang selama ini digusur mendapatkan manfaat dari penghentian proyek ini? Mestinya mereka mendapatkan akses dan aset agar bisa mengembangkan aktivitas ekonomi produktif. Jika kenyataannya justru pengembang yang sudah sejak awal bermasalah membangun pulau ini yang mendapatkan akses dan memiliki hak kepemilikan atas pulau serta bangunannya, maka sesungguhnya Pemda DKI telah menjilat ludahnya sendiri.
Pemprov DKI sudah menyatakan menghentikan pembangunan pulau reklamasi, namun tidak menghentikan bangunan di atas pulau tersebut. Mengapa bisa demikian? Ini persoalan ekonomi politik yang melibatkan berbagai kalangan elite politik dan korporasi yang berkepentingan terhadap pulau D. Secara de facto, pascapenghentian, pulau D yang sudah telanjur direklamasi itu memang jadi milik Pemprov DKI. Apakah itu benar atau tidak masih menjadi misteri?
Jika benar adanya, seharusnya penggunaan ruang di pulau itu mengalokasikan juga buat nelayan. Atau, mengembangkan sabuk hijau pesisir Jakarta Utara sebagai model pengembangan bioinfrastruktur untuk mengatasi abrasi, akresi dan dampak perubahan iklim. Jika, tidak demikian, apa bedanya kebijakan Pemprov DKI sebelum dan sesudah dihentikan?
Kebijakan politik Anies menghentikan megaproyek reklamasi Teluk Jakarta memberikan harapan masyarakat akan adanya perubahan dalam pengelolaan wilayah pesisir Jakarta Utara terutama nasib nelayan yang terkena dampak. Pasalnya, secara kelembagaan sejak awal proyek ini sudah bermasalah yang menyalahi peraturan perundangan yang berlaku.
Di antaranya UU Nomor 29/2007 dan perubahannya UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, hingga UU Nomor 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria termasuk aturan turunnya.
Di satu sisi proyek ini sudah berjalan sementara aturan perundangan yang mengharuskannya adanya RZWP3K, RTRKS, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) maupun AMDAL belum beres. Di sisi lain ketika tidak dilanjutkan, maka menimbulkan problem lain. Apa status kepemilikan lahan reklamasi?Sebab dia bukan tanah timbul atau hasil sedimentasi di wilayah pesisir. Anehnya, Pemprov DKI ujuk-ujuk mengeluarkan pernyataan bahwa pulau reklamasi disebut lahan kategori daratan. Mengapa demikian? Persoalan menjadi pelik karena Pemprov DKI sudah mengeluarkan IMM dan membuat status baru namanya lahan kategori daratan. Apakah begitu mudah mengangkangi UU dan aturan yang berlaku di negeri ini?
Ironisnya lagi, Pemprov DKI masih menggunakan Peraturan Gubernur Nomor 206/2016 tentang Rencana Tata Kota yang semestinya Gubernur Anies bisa mengubahnya jika memang hendak menghentikan pembangunan pulau dan bangunan di atasnya secara permanen. Lantas jika masih menggunakan dasar aturan, itu artinya reklamasi masih dibolehkan dan juga pembangunan di atasnya.
Pertanyaannya, apakah keluarnya IMB atas pulau D dan penetapan sebagai lahan kategori daratan oleh Pemda DKI mengindikasikan "ada udang di balik batu"? Padahal, bangunan diberi IMB itu belum memiliki dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL).
Pengelolaan Terpadu
Penerbitan IMB pulau D kian menambah daftar masalah terkait pulau reklamasi yang sudah jadi di Teluk Jakarta. Pemda DKI semestinya tidak mengeluarkan IMB di atas pulau D sebelum merampungkan dokumen RZWP3K, RTRKS, RDTR maupun amdal yang merupakan perintah undang-undang, sebab semua dokumen tersebut menjadi acuan pengelolaan terpadu antara ruang daratan dan perairan pesisir Jakarta Utara.
Pasalnya, perairan Teluk Jakarta tak hanya mencakup DKI Jakarta, tetapi juga Jawa Barat dan Banten. Apalagi 13 sungai yang bermuara ke teluk tersebut berasal dari Jawa Barat dan Banten. Makanya, konsep pengelolaan yang mengintegrasikan daerah aliran sungai dan wilayah pesisir (integrated coasal and river basin management) untuk mewujudkan keadilan ekonomi, ruang dan ekologi jadi keniscayaan. Pulau yang terlanjur direklamasi sebaiknya menjadi kawasan sabuk hijau pesisir (coastal green belt) lewat penanaman vegetasi bakau dan sejenisnya untuk merestorasi fungsi ekologis dan menjamin keberlanjutan metabolisme alam.
Imbasnya, di masa datang akan mengakibatkan sumber daya perikanan akan kembali melimpah akibat ketersediaan nutrien alami di wilayah tersebut. Di samping itu, kawasan sabuk hijau ini dapat juga dijadikan kawasan ekosturisme (eco-tourism) yang melibatkan masyarakat lokal sebagai pengelolanya.
Akibatnya, nelayan pesisir Jakarta Utara bakal kembali mendapatkan sumber mata pencaharian yang berkelanjutan dari perikanan. Hal lain, kawasan ini juga dapat dijadikan sebagai laboratorium alam untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Jadi, Pemprov DKI sebaiknya menghentikan permanen reklamasi dan bangunannya sehingga tidak perlu memanipulasi istilahnya.
(rhs)