Zonasi dan Kebijakan Pendidikan Pemerintah

Senin, 24 Juni 2019 - 07:06 WIB
Zonasi dan Kebijakan Pendidikan Pemerintah
Zonasi dan Kebijakan Pendidikan Pemerintah
A A A
HM Luthfi Thomafi Pemerhati Pendidikan,

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hamidiyyah Lasem Rembang Jateng,

dan Ketua PP GP Ansor

KEBIJAKAN sistem zonasi pendidikan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekolah-mulai tingkat dasar hingga menengah atas-masih terus menjadi polemik. Isu pemerataan dan menghilangkan kastanisasi pendidikan kalah oleh keruwetan penerapan konsep ini.

Semua ini terjadi berawal dari Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 50 ayat 3. Ayat tersebut menyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Berdasarkan ayat itu, pemerintah dan pemerintah daerah bahu membahu mengadakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah, waktu itu, untuk menciptakan sekolah berkualitas. Dengan sekolah model tersebut diharapkan akan mengurasi jumlah siswa yang bersekolah di luar negeri.

Pada praktiknya, di kemudian hari kebijakan ini melahirkan kastanisasi pendidikan. Di lapangan, sekolah model ini mendikotomikan siswa kaya dan siswa miskin. Walaupun awalnya sekolah model ini adalah untuk siswa berakademik tinggi, tetapi pada perkembangan selanjutnya menjadi "siswa berekonomi tinggi". Siswa kaya bisa masuk ke sekolah tersebut dengan mudah setelah mampu mendapatkan "kursi", sedangkan siswa miskin, sekalipun memiliki kelebihan akademik, hanya bisa bermimpi.

Hampir sepuluh tahun kemudian, Pasal 50 ayat 3 tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan MK bernomor 5/PUU-X/2012 itu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu RSBI/SBI bertentangan dengan UUD 1945, menimbulkan dualisme pendidikan, diskriminasi pendidikan, dan kastanisasi pendidikan.

MK juga memiliki pertimbangan lain, yaitu penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran dalam RSBI/SBI dapat mengikis jati diri bangsa, melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. Keputusan MK ini sebenarnya bisa membawa harapan baru, tetapi ternyata tidak mudah.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memang telah menghapus model SBI dan RSBI, tetapi secara praktik pembinaan, pemerintah -baik pusat maupun daerah- masih menganakemaskan eks SBI dan RSBI. Komponen-komponen di eks RSBI/SBI mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, baik kurikulum, keuangan, sarana-prasarana, maupun ketenagaan. Kastanisasi pendidikan oleh pemerintah secara disengaja atau tidak tetap berlaku.

Kemendikbud pada pemerintahan Jokowi memiliki niat baik dan mulia, yaitu menghilangkan kastanisasi tersebut. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Mendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat.

Kebijakan sistem zonasi diatur pada Pasal 15-16. Kemudian pada 2018, Mendikbud kembali mengatur sistem zonasi pada PPDB 2018 pada Pasal 16. Selama PPDB 2017 dan 2018, sebenarnya telah banyak permasalahan muncul. Selama itu pula para pemerhati pendidikan sudah memberikan berbagai masukan. Namun, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak mau belajar dari pengalaman.

Pada Desember 2018, Kemendikbud mengeluarkan Peraturan Mendikbud Nomor 51/2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan yang diberlakukan untuk tahun pelajaran 2019/2020. Sistem zonasi masih dibahas, dengan memoles dan menambahi berbagai ramuan-ramuan bahasa. Revisi yang hanya berfokus pada persentase juga tidak akan meredam kekisruhan.

Peraturan-peraturan kementerian tersebut hanya menjadikan siswa atau peserta didik sebagai sasaran program. Menurut penulis, cara ini tidak tepat dan menimbulkan ekses serius serta berkepanjangan. Secara sekilas, kebijakan sistem zonasi memiliki kelebihan dan kelemahan.

Kelebihan sistem zonasi dapat dibaca sebagai berikut: meniadakan sekolah favorit dan nonfavorit serta meratanya kualitas siswa, karena siswa pintar tidak terfokus di satu sekolah favorit. Kebijakan ini juga bisa mengurangi biaya transportasi bersekolah dan mengurangi kepadatan lalu lintas. Karena jarak yang dekat, siswa datang ke sekolah dalam keadaan segar dan tidak stres sebab berebut angkutan atau terkena kemacetan.

Jarak dekat juga melahirkan hubungan sekolah dengan lingkungan bisa lebih terjalin, hubungan sekolah dengan orang tua siswa lebih intensif. Dengan hubungan intensif, kekurangan dan permasalahan di sekolah dapat lebih mudah diatasi.

Sedangkan kelemahan sistem zonasi adalah tingkat kompetisi siswa menjadi berkurang bahkan hilang. Secara tak langsung, problem ini juga akan merambah hilangnya kompetisi antarsekolah. Akibatnya, model ini bisa menurunkan kualitas lulusan. Sekolah yang berada di luar permukiman padat akan mengalami kekurangan siswa.

Kebijakan ini bukan harus dibatalkan, tetapi ada hal lain juga harus dilakukan pemerintah pusat. Memaksakan program ini, tapi mengabaikan masalah lain, tetap akan memunculkan masalah-masalah sebagaimana di atas serta kegaduhan-kegaduhan di masyarakat. Seharusnya Kemendikbud mengeluarkan kebijakan dengan sekolah dan guru sebagai sasaran, bukan siswa.

Kebijakan anggaran pemerintah terhadap sarana di sekolah-sekolah negeri selama 2017-2019, tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya dan itu bisa dengan mudah dilihat. RSBI dan SBI memang sudah almarhum, tetapi arwahnya masih gentayangan.

Inti yang harus dilakukan pemerintah untuk pemerataan pendidikan adalah memberikan perhatian sama pada semua sekolah, baik di perkotaan maupun di perdesaan serta baik dari aspek kurikulum, sarana dan prasarana, keuangan dan ketenagaan. Dengan perhatian yang sama di berbagai aspek tadi, maka tidak akan ada lagi kasta-kasta sekolah.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3287 seconds (0.1#10.140)