Gaduh Sistem Zonasi
A
A
A
PENERIMAAN Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 dengan sistem zonasi atau pemetaan wilayah terus memunculkan polemik. Protes orang tua murid yang merasa dirugikan marak di berbagai daerah. Kegaduhan pun muncul di mana-mana. Sejumlah orang tua siswa menolak keras aturan zonasi karena dinilai tidak adil bagi anak-anak yang berprestasi. Dengan sistem zonasi, kendati seorang anak memiliki hasil ujian nasional (UN) yang baik, dia tidak bisa memilih untuk bersekolah di sekolah favorit yang diinginkannya. Sistem zonasi memprioritaskan anak yang berdomisili di sekitar lingkungan sekolah dengan radius tertentu untuk diterima bersekolah. Kuotanya sebesar 90%. Adapun 10% kuota sisa diperuntukkan bagi anak jalur prestasi (5%) dan jalur perpindahan tugas orang tua (5%).
Jika dicermati kebijakan zonasi yang diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51/ 2018 ini memang cukup baik, yakni menciptakan pemerataan pendidikan. Pemerintah ingin agar setiap anak memiliki kesempatan yang sama bersekolah dengan fasilitas yang sama. Pendeknya, pemerintah tidak ingin lagi ada istilah sekolah negeri favorit dan bukan favorit.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy pun mencoba meyakinkan masyarakat agar tidak perlu khawatir berlebihan. Menurutnya, penerapan sistem zonasi bertujuan memeratakan pendidikan berkualitas sehingga itu akan mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat. Kata Mendikbud, setiap sekolah, khususnya sekolah negeri, harus mendidik semua siswa tanpa terkecuali, tanpa boleh ada diskriminasi, hak eksklusif, dan kompetisi yang berlebihan.
Mendikbud juga menjelaskan pendekatan zonasi erat kaitannya dengan penguatan pendidikan karakter. Sederhananya, dalam proses berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki itu, anak bisa belajar etiket, sopan santun, peduli lingkungan, dan berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan budi pekerti. Proses belajar inilah yang disebut akan membentuk karakter seorang siswa.
Namun apa yang diidealkan pemerintah ini tidak mudah diterima sebagian masyarakat. Tidak sedikit orang tua yang dibuat resah. Untuk mengubah cara pandang sebagian orang tua memang tidak mudah karena selama ini sudah terbiasa dengan kompetisi yang terbuka ketika hendak memasukkan anaknya ke sekolah yang diinginkan. Persaingan terbuka yang dimaksud adalah ketika mereka menggunakan nilai UN sebagai acuan kelulusan. Ketika persaingan terbuka dan fair ini lalu diubah secara drastis melalui sistem zonasi, di sinilah muncul persoalan. Sebagian orang tua melihat ini bentuk ketidakadilan dan mengorbankan anak.
Keberatan orang tua ini memang cukup beralasan. Jika dicermati, sistem seleksi sebelumnya menggunakan hasil UN memang cukup adil. Mengapa? Karena persaingan terbuka menggunakan hasil UN akan mengajari anak untuk berkompetisi secara fair. Anak yang lulus karena nilai UN-nya tinggi akan merasa mendapat apresiasi yang layak. Begitu pun anak yang gagal lulus akan mudah menerima karena menyadari nilainya memang tidak mencukupi. Nah, bukankah penanaman sikap rela dan sportif dalam menerima hasil seperti ini juga salah satu hal yang baik dalam membangun karakter anak?
Memang tidak mudah membuat aturan yang bisa memuaskan semua pihak. Termasuk untuk urusan sistem penerimaan siswa baru. Namun ketika aturan yang dibuat memunculkan keresahan yang meluas, pemerintah melalui Kemendikbud juga jangan sampai menutup mata. Sangat penting mendengar apa permasalahan yang dikeluhkan orang tua murid lalu mencari solusi terbaik.
Mengenai sistem zonasi ini, persoalan nyata yang muncul antara lain kondisi ketika ada siswa yang rumahnya tidak berdekatan dengan sekolah atau tidak memenuhi syarat zonasi yang ditentukan untuk bisa diterima. Faktanya, tidak semua rumah berdekatan dengan sekolah. Untuk kondisi seperti ini bagaimana menjaga hak anak untuk bisa tetap bersekolah di sekolah negeri?
Munculnya polemik seperti sistem zonasi ini tak lepas dari tidak konsistennya aturan atau kebijakan dalam dunia pendidikan. Selama ini aturan sangat mudah berubah. Tak jarang aturan tersebut tidak memikirkan siswa yang kemungkinan bisa menjadi korban. Ada kecenderungan aturan mudah berganti ketika menteri pendidikannya berganti atau rezim beralih ke yang baru. Perlunya konsistensi dalam membuat kebijakan inilah yang harus menjadi perhatian agar tidak muncul persoalan serupa pada dunia pendidikan kita di masa mendatang.
Jika dicermati kebijakan zonasi yang diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51/ 2018 ini memang cukup baik, yakni menciptakan pemerataan pendidikan. Pemerintah ingin agar setiap anak memiliki kesempatan yang sama bersekolah dengan fasilitas yang sama. Pendeknya, pemerintah tidak ingin lagi ada istilah sekolah negeri favorit dan bukan favorit.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy pun mencoba meyakinkan masyarakat agar tidak perlu khawatir berlebihan. Menurutnya, penerapan sistem zonasi bertujuan memeratakan pendidikan berkualitas sehingga itu akan mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat. Kata Mendikbud, setiap sekolah, khususnya sekolah negeri, harus mendidik semua siswa tanpa terkecuali, tanpa boleh ada diskriminasi, hak eksklusif, dan kompetisi yang berlebihan.
Mendikbud juga menjelaskan pendekatan zonasi erat kaitannya dengan penguatan pendidikan karakter. Sederhananya, dalam proses berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki itu, anak bisa belajar etiket, sopan santun, peduli lingkungan, dan berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan budi pekerti. Proses belajar inilah yang disebut akan membentuk karakter seorang siswa.
Namun apa yang diidealkan pemerintah ini tidak mudah diterima sebagian masyarakat. Tidak sedikit orang tua yang dibuat resah. Untuk mengubah cara pandang sebagian orang tua memang tidak mudah karena selama ini sudah terbiasa dengan kompetisi yang terbuka ketika hendak memasukkan anaknya ke sekolah yang diinginkan. Persaingan terbuka yang dimaksud adalah ketika mereka menggunakan nilai UN sebagai acuan kelulusan. Ketika persaingan terbuka dan fair ini lalu diubah secara drastis melalui sistem zonasi, di sinilah muncul persoalan. Sebagian orang tua melihat ini bentuk ketidakadilan dan mengorbankan anak.
Keberatan orang tua ini memang cukup beralasan. Jika dicermati, sistem seleksi sebelumnya menggunakan hasil UN memang cukup adil. Mengapa? Karena persaingan terbuka menggunakan hasil UN akan mengajari anak untuk berkompetisi secara fair. Anak yang lulus karena nilai UN-nya tinggi akan merasa mendapat apresiasi yang layak. Begitu pun anak yang gagal lulus akan mudah menerima karena menyadari nilainya memang tidak mencukupi. Nah, bukankah penanaman sikap rela dan sportif dalam menerima hasil seperti ini juga salah satu hal yang baik dalam membangun karakter anak?
Memang tidak mudah membuat aturan yang bisa memuaskan semua pihak. Termasuk untuk urusan sistem penerimaan siswa baru. Namun ketika aturan yang dibuat memunculkan keresahan yang meluas, pemerintah melalui Kemendikbud juga jangan sampai menutup mata. Sangat penting mendengar apa permasalahan yang dikeluhkan orang tua murid lalu mencari solusi terbaik.
Mengenai sistem zonasi ini, persoalan nyata yang muncul antara lain kondisi ketika ada siswa yang rumahnya tidak berdekatan dengan sekolah atau tidak memenuhi syarat zonasi yang ditentukan untuk bisa diterima. Faktanya, tidak semua rumah berdekatan dengan sekolah. Untuk kondisi seperti ini bagaimana menjaga hak anak untuk bisa tetap bersekolah di sekolah negeri?
Munculnya polemik seperti sistem zonasi ini tak lepas dari tidak konsistennya aturan atau kebijakan dalam dunia pendidikan. Selama ini aturan sangat mudah berubah. Tak jarang aturan tersebut tidak memikirkan siswa yang kemungkinan bisa menjadi korban. Ada kecenderungan aturan mudah berganti ketika menteri pendidikannya berganti atau rezim beralih ke yang baru. Perlunya konsistensi dalam membuat kebijakan inilah yang harus menjadi perhatian agar tidak muncul persoalan serupa pada dunia pendidikan kita di masa mendatang.
(mhd)