Cara Berpikir Manusia dalam Hiper-koneksivitas
A
A
A
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh dan Council AMAN, Bangkok
SALAH satu gejala masyarakat dalam Peradaban Planetari adalah hyper-conectivity (hiper-koneksivitas). Manusia terhubung pikirannya dalam waktu sangat cepat. Mereka cenderung lebih suka merespons suatu gejala dan menuangkannya dalam media sosial secara cepat. Di sini seolah-olah setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memberikan pandangan terhadap fenomena sosial dan budaya. Pikiran orang terbiarkan untuk memberikan komentar, walaupun kemudian berdampak fatal dalam cara berpikir masyarakat itu sendiri. Gejala ini merupakan akibat dari keterhubungan manusia secara pikiran dalam dunia maya.Saat ini dampak tersebut sudah mulai dirasakan masyarakat dunia maya. Orang berkomentar juga untuk menaikkan reputasi, seolah-olah dia begitu penting dalam membangun sebuah gagasan di berbagai hal. Istilah paling sering dimunculkan adalah pencerahan, kendati tujuannya reputasi. Saat ini sudah muncul studi tentang seni reputasi (art of reputation). Kegaduhan dapat tercipta hanya disebabkan oleh beberapa penggal kata di media sosial. Kekuatan kalimat yang pendek dalam suatu status melebihi penemuan-penemuan ilmiah di perguruan tinggi. Orang mulai malas membaca sesuatu yang panjang dibingkai dengan “bumbu ilmiah.”
Semakin tinggi reputasi seseorang, semakin besar kekuatan dan pengaruh kata-kata atau status yang diucapkan dalam media sosial. Akibatnya, ada kebiasaan baru dalam cara berpikir masyarakat saat ini, yaitu membaca status-status orang yang memiliki reputasi tinggi. Karena itu, orang sudah malas membaca buku atau karya ilmiah lainnya yang mencapai puluhan hingga ratusan halaman. Kalimat-kalimat pendek itu tersimpan di dalam memori otak manusia. Semakin banyak yang disimpan, semakin besar pula rasa hubungan emosional dengan orang yang dibaca pikirannya dari status mereka.
Tidak mengejutkan mana kala seseorang mampu menghabiskan waktu hanya untuk membaca kalimat-kalimat pendek dalam diskusi di media sosial. Adapun yang muncul adalah orang cenderung merujuk pada kalimat atau status di media sosial yang memiliki dampak sosial. Uniknya, media massa pun tidak lagi memburu berita secara investigatif. Namun, kabar yang diberitakan cukup merujuk pada status seseorang di dinding media sosial. Jadi, sistem pemberitaan didasarkan atas apa kalimat-kalimat pendek pada sesuatu yang dianggap akan “pecah.”
Kekuatan lain dari kalimat-kalimat pendek ini kemudian menghadirkan sistem kapitalisme kata-kata oleh mereka yang menjalankan bisnis daring. Kata-kata sudah menjadi bisnis yang amat menjanjikan. Bahkan, iklan bermunculan pada konten yang sering dibaca atau viral. Pada kondisi seperti ini, tampaknya masyarakat bukan lagi dicerdaskan oleh media sosial, tetapi menikmati rekayasa kebodohan sosial dipicu oleh bisnis kata-kata, terutama bagi yang memiliki kekuatan di dalam studi artificial intelligence. Rekayasa kebodohan sosial ini berujung pada masyarakat bukan semakin tercerahkan, tetapi semakin tumpul daya kritis dan analitisnya.
Inilah dampak dari cara berpikir masyarakat di era hiper-koneksivitas dewasa ini. Informasi yang berawal untuk mencerahkan, namun karena ada rekayasa kebodohan sosial (the scenario of social stupidness ), maka informasi tersebut membuat masyarakat semakin malas berpikir secara kontemplatif dan imajinatif. Di sini bukan kebodohan untuk melawan kepintaran, melainkan kebodohan untuk menutup kekuatan pikiran yang berpikir kritis, analitis, intuitif, dan kontemplatif. Kondisi cara berpikir masyarakat seperti ini, persis seperti yang diulas dalam karya Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (2013).
Orang cenderung berpikir secara cepat untuk sampai pada kesimpulan semata. Sang kreator kata-kata pun lebih tertarik menyajikan kesimpulan ketimbang merangsang orang untuk berpikir. Ketika muncul dampak dari cara berpikir pada kehidupan sosial dan budaya, maka sebenarnya para kreator kata-kata sedang membuat masyarakat berada dalam jamaah kebodohan sosial. Salah satu tesis yang bisa diturunkan adalah media sosial telah membumikan kebodohan sosial bagi masyarakat di era Peradaban Planetari (Planetary Civilization). Tesis ini menyiratkan bahwa temuan akademik tidak begitu diminati masyarakat. Para cendekiawan pun masuk untuk berusaha secara aktif merekayasa kebodohan sosial ini.
Daya berpikir masyarakat saat ini cenderung mencerna informasi untuk kebutuhan emosi, bukan untuk akal pikiran sehat. Parahnya, para akademisi malah menimbun kebutuhan emosi masyarakat tersebut. Dengan begitu, rekayasa kebodohan sosial bukan disebabkan oleh kelemahan berpikir, tetapi karena kebutuhan data dan fakta untuk memuaskan kebutuhan emosional masyarakat.
Dampaknya adalah beberapa individu merasa menjadi orang penting terhadap masalah yang bukan ranah keilmuannya. Orang merasa penting karena faktor emosional. Hoaks, dengan demikian, menjadi subkultur dari rekayasa kebodohan sosial sebagai dampak dari orang merasa penting untuk berkomentar terhadap sesuatu yang bukan bidang disiplin keilmuannya. Orang berilmu ketika terlibat dalam rekayasa kebodohan sosial, maka dia pun sebenarnya bukan menjadi orang yang menyelesaikan masalah, tetapi menjadi bagian dari masalah sosial.
Upaya menanggulangi masalah di atas tentu bukan hal mudah. Sebab ketika informasi untuk emosi dikedepankan, maka persoalan ini tidak akan tuntas. Pada hakikatnya, informasi untuk mendayagunakan akal pikiran secara kritis. Mengembalikan khitah manusia berpikir, maka manusia itu ada karena agenda yang harus dikampanyekan ulang kepada netizen. Keberadaan manusia berpikir bukan ditopang oleh materi, tetapi ditopang oleh kemampuan untuk mencerahkan umat manusia secara kontinu. Mereka adalah yang berpikir bahwa ide merupakan ba-gian dari rekayasa peradaban.
SALAH satu gejala masyarakat dalam Peradaban Planetari adalah hyper-conectivity (hiper-koneksivitas). Manusia terhubung pikirannya dalam waktu sangat cepat. Mereka cenderung lebih suka merespons suatu gejala dan menuangkannya dalam media sosial secara cepat. Di sini seolah-olah setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memberikan pandangan terhadap fenomena sosial dan budaya. Pikiran orang terbiarkan untuk memberikan komentar, walaupun kemudian berdampak fatal dalam cara berpikir masyarakat itu sendiri. Gejala ini merupakan akibat dari keterhubungan manusia secara pikiran dalam dunia maya.Saat ini dampak tersebut sudah mulai dirasakan masyarakat dunia maya. Orang berkomentar juga untuk menaikkan reputasi, seolah-olah dia begitu penting dalam membangun sebuah gagasan di berbagai hal. Istilah paling sering dimunculkan adalah pencerahan, kendati tujuannya reputasi. Saat ini sudah muncul studi tentang seni reputasi (art of reputation). Kegaduhan dapat tercipta hanya disebabkan oleh beberapa penggal kata di media sosial. Kekuatan kalimat yang pendek dalam suatu status melebihi penemuan-penemuan ilmiah di perguruan tinggi. Orang mulai malas membaca sesuatu yang panjang dibingkai dengan “bumbu ilmiah.”
Semakin tinggi reputasi seseorang, semakin besar kekuatan dan pengaruh kata-kata atau status yang diucapkan dalam media sosial. Akibatnya, ada kebiasaan baru dalam cara berpikir masyarakat saat ini, yaitu membaca status-status orang yang memiliki reputasi tinggi. Karena itu, orang sudah malas membaca buku atau karya ilmiah lainnya yang mencapai puluhan hingga ratusan halaman. Kalimat-kalimat pendek itu tersimpan di dalam memori otak manusia. Semakin banyak yang disimpan, semakin besar pula rasa hubungan emosional dengan orang yang dibaca pikirannya dari status mereka.
Tidak mengejutkan mana kala seseorang mampu menghabiskan waktu hanya untuk membaca kalimat-kalimat pendek dalam diskusi di media sosial. Adapun yang muncul adalah orang cenderung merujuk pada kalimat atau status di media sosial yang memiliki dampak sosial. Uniknya, media massa pun tidak lagi memburu berita secara investigatif. Namun, kabar yang diberitakan cukup merujuk pada status seseorang di dinding media sosial. Jadi, sistem pemberitaan didasarkan atas apa kalimat-kalimat pendek pada sesuatu yang dianggap akan “pecah.”
Kekuatan lain dari kalimat-kalimat pendek ini kemudian menghadirkan sistem kapitalisme kata-kata oleh mereka yang menjalankan bisnis daring. Kata-kata sudah menjadi bisnis yang amat menjanjikan. Bahkan, iklan bermunculan pada konten yang sering dibaca atau viral. Pada kondisi seperti ini, tampaknya masyarakat bukan lagi dicerdaskan oleh media sosial, tetapi menikmati rekayasa kebodohan sosial dipicu oleh bisnis kata-kata, terutama bagi yang memiliki kekuatan di dalam studi artificial intelligence. Rekayasa kebodohan sosial ini berujung pada masyarakat bukan semakin tercerahkan, tetapi semakin tumpul daya kritis dan analitisnya.
Inilah dampak dari cara berpikir masyarakat di era hiper-koneksivitas dewasa ini. Informasi yang berawal untuk mencerahkan, namun karena ada rekayasa kebodohan sosial (the scenario of social stupidness ), maka informasi tersebut membuat masyarakat semakin malas berpikir secara kontemplatif dan imajinatif. Di sini bukan kebodohan untuk melawan kepintaran, melainkan kebodohan untuk menutup kekuatan pikiran yang berpikir kritis, analitis, intuitif, dan kontemplatif. Kondisi cara berpikir masyarakat seperti ini, persis seperti yang diulas dalam karya Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (2013).
Orang cenderung berpikir secara cepat untuk sampai pada kesimpulan semata. Sang kreator kata-kata pun lebih tertarik menyajikan kesimpulan ketimbang merangsang orang untuk berpikir. Ketika muncul dampak dari cara berpikir pada kehidupan sosial dan budaya, maka sebenarnya para kreator kata-kata sedang membuat masyarakat berada dalam jamaah kebodohan sosial. Salah satu tesis yang bisa diturunkan adalah media sosial telah membumikan kebodohan sosial bagi masyarakat di era Peradaban Planetari (Planetary Civilization). Tesis ini menyiratkan bahwa temuan akademik tidak begitu diminati masyarakat. Para cendekiawan pun masuk untuk berusaha secara aktif merekayasa kebodohan sosial ini.
Daya berpikir masyarakat saat ini cenderung mencerna informasi untuk kebutuhan emosi, bukan untuk akal pikiran sehat. Parahnya, para akademisi malah menimbun kebutuhan emosi masyarakat tersebut. Dengan begitu, rekayasa kebodohan sosial bukan disebabkan oleh kelemahan berpikir, tetapi karena kebutuhan data dan fakta untuk memuaskan kebutuhan emosional masyarakat.
Dampaknya adalah beberapa individu merasa menjadi orang penting terhadap masalah yang bukan ranah keilmuannya. Orang merasa penting karena faktor emosional. Hoaks, dengan demikian, menjadi subkultur dari rekayasa kebodohan sosial sebagai dampak dari orang merasa penting untuk berkomentar terhadap sesuatu yang bukan bidang disiplin keilmuannya. Orang berilmu ketika terlibat dalam rekayasa kebodohan sosial, maka dia pun sebenarnya bukan menjadi orang yang menyelesaikan masalah, tetapi menjadi bagian dari masalah sosial.
Upaya menanggulangi masalah di atas tentu bukan hal mudah. Sebab ketika informasi untuk emosi dikedepankan, maka persoalan ini tidak akan tuntas. Pada hakikatnya, informasi untuk mendayagunakan akal pikiran secara kritis. Mengembalikan khitah manusia berpikir, maka manusia itu ada karena agenda yang harus dikampanyekan ulang kepada netizen. Keberadaan manusia berpikir bukan ditopang oleh materi, tetapi ditopang oleh kemampuan untuk mencerahkan umat manusia secara kontinu. Mereka adalah yang berpikir bahwa ide merupakan ba-gian dari rekayasa peradaban.
(mhd)