Tol Trans Jawa dan Mudik Lebaran
A
A
A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
PERAYAAN Idul Fitri dan mudik Lebaran seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Rasanya kurang “mantul” jika Idul Fitri tanpa mudik. Tidak aneh jika mudik Lebaran menjadi ritual wajib dalam merayakan Idul Fitri. Pemerintah pun tampak sungguh-sungguh dalam memfasilitasi rakyatnya untuk mudik.
Nyaris semua kementerian, lembaga, plus BUMN bejibaku untuk mengamankan prosesi mudik Lebaran. Sebagai contoh, BUMN diwajibkan memfasilitasi mudik gratis bagi pemotor dan pemudik umum. Fasilitas mudik gratis oleh BUMN ini bukan semata menyediakan akses transportasi umum bagi pemudik, tetapi yang lebih strategis adalah untuk menekan tingkat kecelakaan bagi pemudik motor. Ingat, pemudik motor masih sangat signifikan, dan faktanya memicu kecelakaan lalu lintas (laka lantas) sebesar 70%.
Mudik Lebaran 2019 menurut data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tidak kurang dari 924.000 pemudik motor dari arah Jabodetabek menuju kota kota di Pulau Jawa. Dan, yang paling fenomenal adalah eksisnya ruas tol Trans Jawa, bahkan tol Trans Sumatera. Eksisnya kedua ruas tol tersebut berkontribusi signifikan terhadap suksesnya proses mudik Lebaran 2019 ini. Selain itu, dari sisi laka lantas dengan korban fatal, juga terjadi penurunan signifikan. Kemenhub dan Korlantas Mabes Polri mengklaim korban laka lantas dengan korban fatal (meninggal dunia) turun sebesar 88% dibanding mudik 2018. Pada titik ini kerja keras pemerintah untuk melancarkan arus mudik Lebaran 2019, yang terwadahi dalam kementerian, lembaga dan BUMN, patut diapresiasi.
Namun, di balik itu ada beberapa catatan kritis terkait keberadaan dan keandalan Tol Trans Jawa ini. Eksisnya tol Trans Jawa memicu bangkitan lalu lintas yang sangat signifikan. Masyarakat berjibaku mudik dengan kendaraan pribadinya guna menjajal keandalan tol Trans Jawa, yang menghubungkan Pulau Jawa, dari Merak sampai dengan Grati, dan Malang. Namun tampaknya tol Trans Jawa juga “kedodoran” menampung tumpah ruahnya kendaraan pribadi. Terbukti, lancarnya arus lalin di Tol Trans Jawa hanya terjadi H minus 7 dan H minus 6.
Sementara pada H minus 5 dan 4, yang merupakan puncak arus mudik, tol Cikampek sampai dengan Palikanci tampak rapat, bakshow roomsaja. Penulis sendiri menjajal tol Trans Jawa pada 30 Mei, menuju Semarang. Waktu yang ditempuh hampir sembilan jam, itu pun penulis harus manuver keluar tol Cikampek (melewati arteri), dan baru masuk lagi di km 53. Patut diduga jika tak keluar di ruas Cikampek untuk menempuh ke Semarang bisa 12 jam, atau bahkan lebih.
Bahkan, pada hari H Idul Fitri, kemacetan di tol Cikampek juga tak terhindarkan, yang menurut Jasa Marga, pada hari itu jumlah mobil yang melewati Japek (Jakarta-Cikampek) mencapai 220 ribuan. Pantas jika untuk menempuh perjalanan dari Jakarta ke Kutoarjo (Jateng) diperlukan waktu hampir 24 jam. Dan, yang paling kentara adalah kemacetan di Tol Trans Jawa saat arus balik.
Pendeknya waktu arus balik berkontribusi signifikan terhadap kemacetan di Tol Trans Jawa, yang mulai macet parah darigateKalikangkung. Penulis mengalami nasib kemacetan saat arus balik pada H plus 5. Kemacetan serius mulai dari ruas Pejagan, Brebes dan kemudian kian parah manakala mendekati ruas Tol Cipali km 95, sampai dengangatetolCikampek Utama. Artinya kemacetan mencapai 25 km. Dengan demikian, terdapat ancaman cukup serius terhadap keandalan tol Trans Jawa, khususnya mulai dari Japek hingga mendekati Semarang, apalagi dengan pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor (mobil) yang mencapai 10% per tahun.
Selain keandalan jalan tol, hal yang masih sangat memprihatinkan adalah perilaku pemudik jalan tol itu sendiri. Masih banyak pemudik yang melanggar rambu rambu, seperti menggunakan bahu jalan, bahkan berhenti di bahu jalan. Akibatnya sebuah mobil dihantam dari belakang saat berhenti di bahu jalan, dan korban meninggal tak terhindarkan. Selain itu banyak pemudik yang sembarangan membuang sampah di jalan tol, terutama sampah plastik. Malah tidak sedikit pemudik yang menjadikan jalan tol Trans Jawa seperti tempat wisata.
Selain masalah tol Trans Jawa, juga patut dicermati hal yang lainnya, yang tak kalah krusialnya. Yakni, pertama, pengguna angkutan umum (bus) turun sebesar 2,47%. Pada 2018 pengguna bus umum mencapai 2,8 juta turun menjadi 2,4 juta. Jelas hal ini berkelindan dengan naiknya pengguna kendaraan pribadi, yang ingin menjajal tol Trans Jawa. Penurunan sampai ke titik nadir adalah pengguna angkutan udara, yakni 27,74%.
Mahalnya tiket pesawat tentu menjadi penyebab utama. Pengguna angkutan udara bermigrasi menjadi pengguna jalan raya (kendaraan pribadi), kereta api bahkan kapal laut. Hal ini terbukti pemudik jalur laut naik 8,7%, dari semula 1,36 juta (2018) menjadi 1,48 juta pada 2019. Demikian juga pengguna kereta api naik 6,62%; pada 2018 sebesar 4,47 juta menjadi 5 juta pemudik. Dan, kedua, masih maraknya pemudik motor. Faktanya pemudik motor menyumbang lakalantas hingga 73%, termasuk korban fatal (meninggal dunia).
Namun demikian pemudik motor tetap menyemut, khususnya dari arah Jabodetabek ke kota kota tujuan di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta bahkan Jawa Timur. Kemenhub mencatat tidak kurang dari 927.000 pemudik motor membanjiri jalan raya. Ini pekerjaan rumah yang paling berat. Di satu sisi sepeda motor sangat tidak aman untuk mudik, tetapi di sisi lain mereka membutuhkan angkutan di kampung halamannya. Pemudik membutuhkan angkutan di daerah, termasuk dengan sepeda motor, mengingat, angkutan di daerah sangat minim (mati suri).
Saran-saran
Dengan segala plus minusnya, keberadaan Tol Trans Jawa, tampak mengharu biru pemudik. Banyak pujian dilontarkan yang menyatakan mudik Lebaran kali ini tidak seperti mudik Lebaran, saking lancarnya! Namun, keberadaan tol Trans Jawa tetap mengkhawatirkan, jika parameternya untuk melancarkan arus mudik Lebaranansich. Mengingat pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor sebesar 10% per tahun, dan lebih dari 40% terkonsentrasi di Jabodetabek, maka menjadi beban sangat berat bagi Tol Trans Jawa. Alih-alih akan melancarkan arus mudik, malah dua tahun ke depan tol Trans Jawa berpotensi menjadishow roomterpanjang di dunia, alias macet total saat mudik Lebaran.
Mereposisi keberadaan dan fungsirest area,yang faktanya memang berkontribusi signifikan terhadap kemacetan di jalan tol, patut diapresiasi. Namun hal itu bukanlah solusi ideal dan jangka panjang. Yang paling ideal adalah memfasilitasi pemudik dengan kendaraan umum massal, baik dari arah Jabodetabek dan atau angkutan umum di daerah. Tanpa hal itu, maka volumetraffictdi jalan tol Trans Jawa akan meningkat tajam, dan kemacetan parah tak terhindarkan. Sekalipun nantinyaelevatedtol Cikampek telah eksis. Bahkan sangat boleh jadielevatedtol Cikampek menjadi pemicu utama kemacetan baru yang sangat parah,grid lock.
Oleh karenanya mendesak untuk diberlakukan rekayasa sosial dalam mengelola mudik Lebaran, bukan hanya rekayasa teknis saja. Antara lain, pertama, membedakan jadwal libur dan jadwal masuk antara swasta dengan ASN (PNS), atau bahkan pegawai BUMN. Jadwal waktu libur/masuk yang serentak, menjadikan konsentrasi masa yang sangat dominan. Hal ini harus dipecah dengan cara membedakan waktu libur/masuk kerja saat Lebaran. Kedua, ini yang sangat urgen, pemerintah harus punya nyali untuk melakukan rekayasa sosial bahkan rekayasa budaya agar ongkos sosial ekonomi mudik Lebaran tidak terlalu besar.
Mudik Lebaran adalah peristiwa sosial, ekonomi dan budaya; bukan peristiwa agama; yang sangat ekstrem bahkan abnormal. Di negara negara-negara muslim lainnya, seperti Timur Tengah bahkan Malaysia, tidak ada pergerakan yang masif saat Idul Fitri, tetapi justru di Hari Raya Idul Adha pergerakan massa itu terjadi. Oleh karenanya, ke depan, pemerintah harus punya nyali melakukan rekayasa sosial dan budaya, misalnya menjadikan momen Idul Adha sebagaimana momen Idul Fitri. Dengan demikian momen Idul Fitri dengan fenomena mudik Lebaran tidak meraksasa seperti sekarang. Harus diciptakan fenomena baru mudik Lebaran saat Hari Raya Idul Adha, bukan hanya saat Idul Fitri saja.
Ketua Pengurus Harian YLKI
PERAYAAN Idul Fitri dan mudik Lebaran seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Rasanya kurang “mantul” jika Idul Fitri tanpa mudik. Tidak aneh jika mudik Lebaran menjadi ritual wajib dalam merayakan Idul Fitri. Pemerintah pun tampak sungguh-sungguh dalam memfasilitasi rakyatnya untuk mudik.
Nyaris semua kementerian, lembaga, plus BUMN bejibaku untuk mengamankan prosesi mudik Lebaran. Sebagai contoh, BUMN diwajibkan memfasilitasi mudik gratis bagi pemotor dan pemudik umum. Fasilitas mudik gratis oleh BUMN ini bukan semata menyediakan akses transportasi umum bagi pemudik, tetapi yang lebih strategis adalah untuk menekan tingkat kecelakaan bagi pemudik motor. Ingat, pemudik motor masih sangat signifikan, dan faktanya memicu kecelakaan lalu lintas (laka lantas) sebesar 70%.
Mudik Lebaran 2019 menurut data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tidak kurang dari 924.000 pemudik motor dari arah Jabodetabek menuju kota kota di Pulau Jawa. Dan, yang paling fenomenal adalah eksisnya ruas tol Trans Jawa, bahkan tol Trans Sumatera. Eksisnya kedua ruas tol tersebut berkontribusi signifikan terhadap suksesnya proses mudik Lebaran 2019 ini. Selain itu, dari sisi laka lantas dengan korban fatal, juga terjadi penurunan signifikan. Kemenhub dan Korlantas Mabes Polri mengklaim korban laka lantas dengan korban fatal (meninggal dunia) turun sebesar 88% dibanding mudik 2018. Pada titik ini kerja keras pemerintah untuk melancarkan arus mudik Lebaran 2019, yang terwadahi dalam kementerian, lembaga dan BUMN, patut diapresiasi.
Namun, di balik itu ada beberapa catatan kritis terkait keberadaan dan keandalan Tol Trans Jawa ini. Eksisnya tol Trans Jawa memicu bangkitan lalu lintas yang sangat signifikan. Masyarakat berjibaku mudik dengan kendaraan pribadinya guna menjajal keandalan tol Trans Jawa, yang menghubungkan Pulau Jawa, dari Merak sampai dengan Grati, dan Malang. Namun tampaknya tol Trans Jawa juga “kedodoran” menampung tumpah ruahnya kendaraan pribadi. Terbukti, lancarnya arus lalin di Tol Trans Jawa hanya terjadi H minus 7 dan H minus 6.
Sementara pada H minus 5 dan 4, yang merupakan puncak arus mudik, tol Cikampek sampai dengan Palikanci tampak rapat, bakshow roomsaja. Penulis sendiri menjajal tol Trans Jawa pada 30 Mei, menuju Semarang. Waktu yang ditempuh hampir sembilan jam, itu pun penulis harus manuver keluar tol Cikampek (melewati arteri), dan baru masuk lagi di km 53. Patut diduga jika tak keluar di ruas Cikampek untuk menempuh ke Semarang bisa 12 jam, atau bahkan lebih.
Bahkan, pada hari H Idul Fitri, kemacetan di tol Cikampek juga tak terhindarkan, yang menurut Jasa Marga, pada hari itu jumlah mobil yang melewati Japek (Jakarta-Cikampek) mencapai 220 ribuan. Pantas jika untuk menempuh perjalanan dari Jakarta ke Kutoarjo (Jateng) diperlukan waktu hampir 24 jam. Dan, yang paling kentara adalah kemacetan di Tol Trans Jawa saat arus balik.
Pendeknya waktu arus balik berkontribusi signifikan terhadap kemacetan di Tol Trans Jawa, yang mulai macet parah darigateKalikangkung. Penulis mengalami nasib kemacetan saat arus balik pada H plus 5. Kemacetan serius mulai dari ruas Pejagan, Brebes dan kemudian kian parah manakala mendekati ruas Tol Cipali km 95, sampai dengangatetolCikampek Utama. Artinya kemacetan mencapai 25 km. Dengan demikian, terdapat ancaman cukup serius terhadap keandalan tol Trans Jawa, khususnya mulai dari Japek hingga mendekati Semarang, apalagi dengan pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor (mobil) yang mencapai 10% per tahun.
Selain keandalan jalan tol, hal yang masih sangat memprihatinkan adalah perilaku pemudik jalan tol itu sendiri. Masih banyak pemudik yang melanggar rambu rambu, seperti menggunakan bahu jalan, bahkan berhenti di bahu jalan. Akibatnya sebuah mobil dihantam dari belakang saat berhenti di bahu jalan, dan korban meninggal tak terhindarkan. Selain itu banyak pemudik yang sembarangan membuang sampah di jalan tol, terutama sampah plastik. Malah tidak sedikit pemudik yang menjadikan jalan tol Trans Jawa seperti tempat wisata.
Selain masalah tol Trans Jawa, juga patut dicermati hal yang lainnya, yang tak kalah krusialnya. Yakni, pertama, pengguna angkutan umum (bus) turun sebesar 2,47%. Pada 2018 pengguna bus umum mencapai 2,8 juta turun menjadi 2,4 juta. Jelas hal ini berkelindan dengan naiknya pengguna kendaraan pribadi, yang ingin menjajal tol Trans Jawa. Penurunan sampai ke titik nadir adalah pengguna angkutan udara, yakni 27,74%.
Mahalnya tiket pesawat tentu menjadi penyebab utama. Pengguna angkutan udara bermigrasi menjadi pengguna jalan raya (kendaraan pribadi), kereta api bahkan kapal laut. Hal ini terbukti pemudik jalur laut naik 8,7%, dari semula 1,36 juta (2018) menjadi 1,48 juta pada 2019. Demikian juga pengguna kereta api naik 6,62%; pada 2018 sebesar 4,47 juta menjadi 5 juta pemudik. Dan, kedua, masih maraknya pemudik motor. Faktanya pemudik motor menyumbang lakalantas hingga 73%, termasuk korban fatal (meninggal dunia).
Namun demikian pemudik motor tetap menyemut, khususnya dari arah Jabodetabek ke kota kota tujuan di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta bahkan Jawa Timur. Kemenhub mencatat tidak kurang dari 927.000 pemudik motor membanjiri jalan raya. Ini pekerjaan rumah yang paling berat. Di satu sisi sepeda motor sangat tidak aman untuk mudik, tetapi di sisi lain mereka membutuhkan angkutan di kampung halamannya. Pemudik membutuhkan angkutan di daerah, termasuk dengan sepeda motor, mengingat, angkutan di daerah sangat minim (mati suri).
Saran-saran
Dengan segala plus minusnya, keberadaan Tol Trans Jawa, tampak mengharu biru pemudik. Banyak pujian dilontarkan yang menyatakan mudik Lebaran kali ini tidak seperti mudik Lebaran, saking lancarnya! Namun, keberadaan tol Trans Jawa tetap mengkhawatirkan, jika parameternya untuk melancarkan arus mudik Lebaranansich. Mengingat pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor sebesar 10% per tahun, dan lebih dari 40% terkonsentrasi di Jabodetabek, maka menjadi beban sangat berat bagi Tol Trans Jawa. Alih-alih akan melancarkan arus mudik, malah dua tahun ke depan tol Trans Jawa berpotensi menjadishow roomterpanjang di dunia, alias macet total saat mudik Lebaran.
Mereposisi keberadaan dan fungsirest area,yang faktanya memang berkontribusi signifikan terhadap kemacetan di jalan tol, patut diapresiasi. Namun hal itu bukanlah solusi ideal dan jangka panjang. Yang paling ideal adalah memfasilitasi pemudik dengan kendaraan umum massal, baik dari arah Jabodetabek dan atau angkutan umum di daerah. Tanpa hal itu, maka volumetraffictdi jalan tol Trans Jawa akan meningkat tajam, dan kemacetan parah tak terhindarkan. Sekalipun nantinyaelevatedtol Cikampek telah eksis. Bahkan sangat boleh jadielevatedtol Cikampek menjadi pemicu utama kemacetan baru yang sangat parah,grid lock.
Oleh karenanya mendesak untuk diberlakukan rekayasa sosial dalam mengelola mudik Lebaran, bukan hanya rekayasa teknis saja. Antara lain, pertama, membedakan jadwal libur dan jadwal masuk antara swasta dengan ASN (PNS), atau bahkan pegawai BUMN. Jadwal waktu libur/masuk yang serentak, menjadikan konsentrasi masa yang sangat dominan. Hal ini harus dipecah dengan cara membedakan waktu libur/masuk kerja saat Lebaran. Kedua, ini yang sangat urgen, pemerintah harus punya nyali untuk melakukan rekayasa sosial bahkan rekayasa budaya agar ongkos sosial ekonomi mudik Lebaran tidak terlalu besar.
Mudik Lebaran adalah peristiwa sosial, ekonomi dan budaya; bukan peristiwa agama; yang sangat ekstrem bahkan abnormal. Di negara negara-negara muslim lainnya, seperti Timur Tengah bahkan Malaysia, tidak ada pergerakan yang masif saat Idul Fitri, tetapi justru di Hari Raya Idul Adha pergerakan massa itu terjadi. Oleh karenanya, ke depan, pemerintah harus punya nyali melakukan rekayasa sosial dan budaya, misalnya menjadikan momen Idul Adha sebagaimana momen Idul Fitri. Dengan demikian momen Idul Fitri dengan fenomena mudik Lebaran tidak meraksasa seperti sekarang. Harus diciptakan fenomena baru mudik Lebaran saat Hari Raya Idul Adha, bukan hanya saat Idul Fitri saja.
(thm)