Arus Balik Demokrasi

Jum'at, 14 Juni 2019 - 08:30 WIB
Arus Balik Demokrasi
Arus Balik Demokrasi
A A A
Idul Rishan
Pengajar Hukum Konstitusi pada Universitas Islam Indonesia

ADA semacam persepsi yang menguat bahwa wajah demokrasi dunia semakin berjalan mundur. Para ilmuan ternama mengidentifikasi gejala kemunduran ini sebagai “arus balik demokrasi”. Ini kondisi di mana sebuah negara demokratis kembali terjebak pada rezim otoriter.

Entah disengaja atau tidak, persepsi ini dilekatkan pada rezim pemerintahan saat ini. Sebagian kalangan masyarakat pun membenarkan bahwa pemerintah sedang bermain dengan konfigurasi politik (non) demokratis. Anasir itu mulai dibangun dengan memetakan beberapa langkah represif terhadap warga negara ataupun kelompok masyarakat. Mulai pembubaran Hizbut Tahrir, menguatnya tuduhan makar terhadap beberapa warga negara, pembungkaman terhadap kritik, sampai dengan upaya pembentukan tim pengawas ucapan para tokoh.Kecenderungan ini semakin mendapatkan bentuknya ketika pemerintah kerap diklaim menggunakan instrumen hukum untuk memberangus lawan politiknya. Merujuk realitas empiris tersebut, apakah benar konstitusi pasca-amendemen (UUD ’99–2002) tidak mampu mereduksi peran pemimpin yang tiran? Benarkah bangsa ini di ambang arus balik demokrasi ?

Politik dan Supremasi Konstitusi

Tentunya ada begitu banyak alat ukur ilmiah berbasis riset guna mengidentifikasi fenomena arus balik demokrasi. Layaknya sebuah riset ilmiah, konklusi yang dihasilkan tidak bersifat mutlak. Akibat perbedaan objek serta variabel metode riset, kebenarannya pun menjadi sangat relatif. Dengan begitu, ada perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan soal arus balik demokrasi. Bagi cara pandang ilmuwan politik seperti Levitzky dan Ziblatt, variabel perilaku politik akan menentukan maju atau mundurnya sebuah demokrasi di suatu negara.

Mereka menganggap bahwa seorang pemimpin demagog akan mengakibatkan matinya sebuah demokrasi. Masing-masing ilmuwan ini mengambil sampel atas kisah Fujimori di Peru. Mengisahkan bagaimana demokrasi di Peru mengalami kemunduran, kemudian bergerak kembali ke arah otoritarian.Bahkan Levitzky dan Ziblatt juga membangun preposisi bahwa kondisi demikian juga akan berpotensi besar dialami oleh Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan Trump, demokrasi di AS akan mengalami pembusukan akibat kebijakan-kebijakan antidemokrasi (Daniel Levitzky & Ziblatt:2018).
Kondisi yang sama juga pernah dibangun melalui riset Hutington terhadap konfigurasi politik di Indonesia. Di bawah Presiden Soekarno, Indonesia menjadi entitas negara yang demokratis, kemudian mengalami arus balik di fase demokrasi terpimpin “1959–1965”, hingga mengantarkan Indonesia berada di bawah rezim otoriter sampai dengan Orde Baru (Samuel P Hutington: 1991).

Di sisi lain, riset para ilmuwan hukum memperlihatkan kecenderungan yang berbeda. Para ilmuwan hukum percaya bahwa tegaknya supremasi konstitusi, tidak akan melahirkan seorang pemimpin yang tiran. Melalui titik pandang ini, gelombang arus balik demokrasi dipercaya tidak akan berhasil mewabah pada pemerintahan dengan supremasi konstitusi yang kuat. Konstitusionalisme menjadi titik tumpu dalam melahirkan prinsip saling imbang dan saling kontrol (checks and balances) pada lembaga-lembaga demokrasi. (Bonime Blanc:1987).

Pandangan ini juga diperkuat oleh Buyung Nasution dalam peta jalan demokrasi konstitusional di Indonesia. Bahwa arus balik demokrasi yang terjadi pada fase 1959–1965 lebih dipengaruhi akibat lemahnya supremasi konstitusi, yang cenderung memberikan ruang begitu besar pada political good will presiden (Adnan Buyung Nasution:1995). Terlepas dari pembelahan perspektif tersebut, setidaknya ada dua faktor yang memengaruhi ancaman terhadap arus balik demokrasi.

Pertama, bisa disebabkan oleh faktor perilaku politik dan kedua, bisa disebabkan oleh lemahnya supremasi konstitusi. Saat ini bangsa Indonesia sedikit lebih diuntungkan. Terlepas dari segala kekurangan yang dilahirkan atas hasil perubahan UUD, pada prinsipnya supremasi konstitusi berkembang lebih baik.

Tidak ada lagi penumpukan kekuasaan di bawah satu tangan, dan aturan main berdemokrasi telah di desain dengan prinsip saling imbang serta saling kontrol. Oleh karena itu, kecil kemungkinan konstitusi kita akan melahirkan seorang pemimpin yang demagog. Namun perlu diingat, sebaik apa pun konstitusinya, tentu tetap memiliki kelemahan. Untuk memastikan supremasi hukum itu bisa bekerja dengan baik, maka diperlukan yang namanya perilaku politik. Perilaku yang didasarkan atas etika dan moralitas, untuk memastikan instrumen hukum itu tidak menjelma menjadi alat penindas.

Mencegah Arus Balik

Kembali pada kondisi faktual saat ini. Pemerintah pun berada pada situasi yang cukup dilematis. Supremasi hukum dan demokrasi tampak memberikan titik taut yang saling berseberangan. Ketegangan bisa muncul ketika perluasan demokrasi menyebabkan lemahnya penegakan hukum, hal sebaliknya bisa terjadi. Ketika menguatkan penegakan hukum, justru menyebabkan terbatasnya ruang demokrasi.

Di satu sisi pemerintah perlu menjamin tegaknya instrumen hukum terhadap ancaman besar pada era post-truth. Berita bohong, ujaran kebencian, dan agitasi yang setiap saat bisa berujung pada adu domba serta perpecahan pada masyarakat. Di sisi lain, penanganan sejumlah persoalan di atas melalui kebijakan yang over-represif, juga bisa membatasi ruang gerak demokrasi itu sendiri. Demokrasi menjadi beku (frozen democracy) bahkan jalan di tempat (stand still).

Untuk mencegah datangnya arus balik demokrasi, tentu dibutuhkan upaya penanganan secara tepat. Sejak 2014, pembelahan pada level akar rumput terus menjadi lubang yang menganga. Alih-alih mendapatkan pemulihan secara cepat, justru kian tajam pada eskalasi pilkada pada 2017.

Politik identitas menguat dan terus menjadi komoditas sampai pada 2019. Jika penanganan itu hanya dilakukan secara represif, ancaman arus balik menjadi kian nyata. Pembelahan akan terus menjadi gejala berulang. Pencemaran nama baik, tuduhan makar, ujaran kebencian, sampai dengan penghinaan atas jabatan presiden, akan terus menjadi penyakit laten di siklus lima tahunan.

Oleh karena itu, partai politik, pemerintah, dan segenap tokoh masyarakat, seharusnya mampu mengambil bagian untuk merumuskan upaya preventif terhadap kompleksitas kebutuhan demokrasi saat ini. Begitu pun dengan upaya rekonsiliasi kebangsaan. Momentum ini seharusnya tidak hanya menjadi ajang pertemuan bagi para elite, tetapi juga mampu melahirkan langkah konkret, guna merekatkan kembali persatuan bangsa.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5907 seconds (0.1#10.140)