Mengurai Kasus BLBI

Jum'at, 14 Juni 2019 - 08:15 WIB
Mengurai Kasus BLBI
Mengurai Kasus BLBI
A A A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

BEBERAPA hari belakangan ini kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali ke permukaan. Kasus BLBI yang “legendaris” itu kembali ramai diperbincangkan masyarakat, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya sebagai tersangka. Penetapan tersangka terhadap SN ini merupakan pengembangan dari vonis Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT), mantan Ketua BPPN 2002–2004.

Perdebatan yang muncul di masyarakat dan perlu diluruskan adalah, pertama, apakah kasus BLBI masuk ranah hukum perdata dengan lex specialis hukum perbankan atau merupakan ranah hukum pidana sehingga dalam hal ini KPK dapat menangani. Kedua, adalah apakah dalam hal ini KPK justru melanggar prinsip kepastian hukum mengingat baik secara perdata ataupun secara pidana surat keterangan lunas (SKL) Nomor 01/K.KKSK/03/2004 telah mendapat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung dan dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi DKI nomor 215/Pid/Prap/2008/PT DKI. SP3 tersebut sempat dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelum kembali dikukuhkan melalui Putusan PT DKI tersebut.

Alasan terbitnya SP3 kala itu adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000–2004 yang menyatakan bahwa obligor yang kooperatif dan telah melunasi utangnya tidak dapat lagi dituntut secara pidana. Dalam konteks perdata, kewajiban obligor sudah diselesaikan melalui perjanjian Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA), Perjanjian Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA), dan akta pengakuan utang.

Sifat Perdata dan Pidana BLBI

Harus dibedakan penyelesaian BLBI dengan obligor lain dengan penyelesaian BLBI terkait SKL 01/K.KKSK/03/2004 yang kini tengah dipersoalkan. Latar belakang munculnya kebijakan BLBI melalui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) adalah krisis moneter 1998 yang menyebabkan banyak bank kekurangan likuiditas, karena saat itu Undang-Undang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia belum mengatur mengenai capital adequacy ratio (rasio kecukupan modal untuk likuiditas).

Penyelesaian BLBI diinisiasi melalui TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1999 yang ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 25/2000 yang menyatakan bahwa obligor yang kooperatif dan telah melunasi utangnya tidak dapat lagi dituntut secara pidana. Mekanisme penyelesaian utang tersebut diatur di dalam Instruksi Presiden Nomor 8/2002 yang kemudian jika obligor telah menyelesaikan dan menandatangani MSAA, MRNIA, dan APU diterbitkan surat keterangan lunas (SKL), rangkaian penyelesaian ini memang berada dalam ranah hukum perdata.

Hal tersebut berbeda dengan persoalan SKL 01/K.KKSK/03/2004, karena baik secara pidana maupun perdata terbitnya SKL tersebut cacat hukum. Unsur pidana pada SKL 01/K.KKSK/03/2004 adalah adanya tindakan SAT untuk menutupi fakta penyelesaian yang sebenarnya sehingga sesuai laporan audit investigatif BPK tertanggal 25 Agustus 2017 tentang penerbitan SKL 01/K.KKSK/03/2004 dengan obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik SN yang merugikan negara sebesar Rp4,58 triliun.

Pidana pada kasus BLBI terkait SKL 01/K.KKSK/03/2004 terjadi akibat fakta bahwa piutang yang termasuk kredit macet yang akan dijadikan aset dan diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui mekanisme perdata MSAA, MRNIA, dan APU, yang telah dinyatakan sebagai kredit macet oleh tim audit financial due diligence.

Namun, fakta tersebut diabaikan oleh SAT dan tidak dilaporkan secara transparan pada rapat kabinet dan KKSK hingga akhirnya terbit SKL 01/K.KKSK/03/2004 yang menguntungkan SN. Artinya dalam hal ini misinterpretasi ada pada fakta yang dikesampingkan untuk keuntungan pihak lain dan merugikan negara, karena jika hasil audit financial due diligence dari kantor akuntan publik Prasetiyo Utomo and Co yang ditunjuk BPPN kala itu disampaikan pada rapat kabinet terbatas dan KKSK mungkin keputusan penyelesaian terkait SKL 01/K.KKSK/03/2004 akan lain.

Langkah KPK untuk menuntaskan kasus BLBI dalam hal ini patut diapresiasi dan dikawal sehingga KPK dapat menuntaskan kasus BLBI secara komprehensif. Artinya, tidak hanya berhenti sampai SAT tetapi kini juga menjangkau SN yang merugikan negara sebagaimana laporan audit investigatif BPK No 12/LHP/XXI/08/2017 tertanggal 25 Agustus 2017 (meskipun kini laporan tersebut tengah diuji dalam persidangan perdata). Gugatan perdata atas laporan BPK tersebut sah-sah saja sebagai upaya SN membela diri, tetapi dalam hal ini penegak hukum harus proporsional dan profesional dalam menyikapinya.

Langkah Korektif

Banyak pihak menyoal tentang kepastian hukum mengingat kasus pidana terkait SKL 01/K.KKSK/03/2004 , sudah pernah diperiksa dan mendapat SP3 dari Kejaksaan Agung yang kemudian dikuatkan Putusan Pengadilan Tinggi DKI nomor 215/Pid/Prap/2008/PT DKI. Di dalam hukum berlaku adagium condition sine qua non, yaitu kausa sebab akibat. Fakta ini tidak dapat dilepaskan dari perilaku koruptif oknum kejaksaan dan BPK kala itu.

Kejaksaan Agung sebenarnya telah memiliki data lengkap tentang kejanggalan kasus BLBI terkait SKL 01/K.KKSK/03/2004 dengan obligor BDNI. Hal ini terlihat dari buku register perkara Jampidsus Kejaksaan Agung RI tahun 2006 yang menunjukkan bahwa BDNI merupakan obligor terbesar, tetapi dengan rasio jaminan penyelesaian terkecil di antara obligor lain, inilah yang kemudian disidik oleh Kejaksaan Agung kala itu, meskipun berakhir antiklimaks dengan SP3 dan tertangkap tangannya Jaksa Urip yang menangani kasus BLBI ini.

Pengungkapan kasus ini akan menjadi lebih terang benderang jika mengacu pada Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 243/K.Pidsus/2009 yang mengungkap modus koruptif terkait penanganan kasus BLBI. Dalam Putusan MA tersebut terang benderang dinyatakan bahwa jaksa Urip menerima suap agar jaksa selaku pengacara negara tidak menagihkan kekurangan penyelesaian BLBI secara perdata maupun untuk menghilangkan unsur pidana, termasuk dengan meminta oknum BPK kala itu untuk membuat seolah-olah tidak ada kerugian negara sehingga tidak ada unsur pidana. Berdasarkan laporan audit BPK nomor 34G/XII/11/2006 tersebut Kejaksaan Agung menerbitkan SP3.

Belum lama ini MA merilis Putusan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan mantan Jaksa Urip atas Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 243/K.Pidsus/2009, melalui Putusan Nomor 88/PK/Pid.Sus/2018 yang menolak permohonan PK tersebut dan menguatkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 243/K.Pidsus/2009.

Artinya, masyarakat harus paham bahwa SP3 tersebut terang benderang diterbitkan secara koruptif melawan hukum, sebagaimana diketahui laporan audit BPK nomor 34G/XII/11/2006 yang digunakan sebagai dasar penerbitan SP3 tersebut juga dikoreksi sebagaimana laporan audit investigatif BPK tertanggal 25 Agustus 2017. Dalam hal ini Putusan MA dan Putusan PK tersebut dapat menjadi amunisi bagi KPK dalam menuntaskan kasus BLBI ini.

Perspektif yang harus dibangun adalah saat ini penegakan hukum terkait penuntasan kasus BLBI dilakukan sebagai langkah korektif guna memenuhi keadilan dalam masyarakat yang sempat disesatkan karena perilaku korup aparat penegak hukum kala itu yang pada akhirnya menghasilkan produk hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Saat ini adalah ujian bagi KPK dan seluruh penegak hukum untuk menghasilkan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai bentuk koreksi atas kesalahan pada masa lampau guna menghadirkan kepastian hukum yang sesungguhnya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4828 seconds (0.1#10.140)