Urbanisasi dan Efektivitas Dana Desa
A
A
A
SEBAGIAN warga Kota Jakarta yang mudik ke berbagai daerah sudah kembali lagi ke Ibu Kota. Mereka kembali menjalankan aktivitas sehari-hari setelah berlebaran Idul Fitri di kampung halaman. Salah satu kebiasaan dari sebagian pemudik yakni mereka akan membawa serta sanak saudara, kerabat, atau teman mereka ke Jakarta.
Urbanisasi pascalebaran ini jamak terjadi setiap tahun. Para pendatang baru ini datang ke Ibu Kota untuk mencoba peruntungan. Harapannya, akan ada pekerjaan yang diperoleh demi memperbaiki taraf ekonomi keluarga. Asumsi sebagian masyarakat di desa, kota selalu lebih mapan dan maju secara ekonomi.
Di sisi lain, ada kabar baik bagi para pendatang baru yang datang mengadu nasib di Jakarta karena mereka tidak perlu lagi khawatir akan terkena operasi yustisi. Mereka akan aman mencari kerja di Jakarta tanpa khawatir dengan statusnya sebagai pendatang baru, yang sudah barang tentu tidak memiliki KTP Jakarta. Ini tak lepas dari kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menyatakan bahwa Jakarta terbuka menerima para pendatang baru untuk mencari nafkah.
Anies memprediksi sebanyak 71.000 pendatang baru akan masuk Jakarta pascalibur Lebaran 2019. Angka tersebut naik sekitar 2.000 orang dari jumlah pendatang baru pada 2018. Pada 2018 sekitar 5.865.000 pemudik berangkat meninggalkan Jakarta. Kemudian saat arus balik, orang yang masuk Jakarta mencapai 5.934.000 orang.
Kebijakan Anies yang cukup populis ini di satu sisi patut diapresiasi. Jakarta sebagai ibu kota negara memang seharusnya menjadi kawasan yang setara untuk semua golongan, dan terbuka bagi siapa saja sepanjang dia adalah warga negara Indonesia. Namun, di sisi lain, kebijakan populis seperti ini harus diimbangi dengan sejumlah langkah antisipasi berhubung urbanisasi selama ini cenderung menimbulkan berbagai masalah.
Berdasarkan data PBB pada 2014, sebanyak 54% masyarakat dunia saat ini tinggal di perkotaan. Jumlah ini meningkat setiap tahun. Diperkirakan pada 2050 nanti 66% masyarakat hidup di kota. Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, hampir separuh penduduk Indonesia tinggal di kota. Jumlah ini diproyeksikan naik menjadi 67% pada 2035.
Kekhawatiran akibat serbuan pendatang baru ke Jakarta ini adalah bertambahnya jumlah pengangguran. Apalagi, BPS mencatat pengangguran di DKI Jakarta sepanjang 2018 lalu meningkat. BPS mencatat pada Februari ada 290.120 orang yang menganggur. Jumlah tersebut naik enam bulan kemudian, yakni mencapai 314.840 orang Agustus tahun lalu. Kenaikan pengangguran dari Februari 2018 ke Agustus 2018 sebesar 8,25% atau 24.720 orang. Selain jumlah pengangguran, BPS DKI mencatat tingkat pengangguran terbuka naik dari awalnya 5,34% pada Februari 2018 menjadi 6,24% pada Agustus 2018.
Persoalan lain jika merujuk banyaknya penduduk desa yang menyerbu Jakarta adalah sejauh mana efektivitas ratusan triliun dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat sejak 2015? Bukankah tujuan pengucuran dana desa adalah untuk menciptakan lapangan kerja di pedesaan agar pengangguran berkurang? Total dana desa yang sudah dikucurkan sejak 2015 sampai dengan 2018 mencapai Rp187,74 triliun.
Tercatat ada 74.958 desa dan 8.430 kelurahan yang menjadi penerima dana desa. Jumlah dana desa yang diterima antara Rp800 juta hingga Rp1 miliar. Jika dalam empat tahun dana dikucurkan namun desa belum juga mampu mandiri dan tidak cukup kuat menarik warganya untuk tetap tinggal bekerja, maka wajar jika ada usulan dilakukan evaluasi, bahkan audit terhadap penggunaan anggaran negara dalam jumlah sangat besar tersebut.
Karena kehadiran pendatang baru tak lagi terelakkan, tugas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menciptakan kawasan yang memadai. Urbanisasi harus direspons dengan memberikan pelayanan dasar yang baik, menjamin kecukupan air, pangan dan energi, perumahan layak huni, pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, dan ruang publik untuk bermain. Tanpa memantapkan ini dikhawatirkan kehadiran pendatang baru yang jumlahnya puluhan ribu setiap tahunnya akan menimbulkan berbagai persoalan sosial. Hal yang paling dikhawatirkan adalah meningkatinya kriminalitas, selain bertambahnya kawasan kumuh, meningkatinya kesenjangan sosial, dan timbulnya kerusakan lingkungan.
Urbanisasi pascalebaran ini jamak terjadi setiap tahun. Para pendatang baru ini datang ke Ibu Kota untuk mencoba peruntungan. Harapannya, akan ada pekerjaan yang diperoleh demi memperbaiki taraf ekonomi keluarga. Asumsi sebagian masyarakat di desa, kota selalu lebih mapan dan maju secara ekonomi.
Di sisi lain, ada kabar baik bagi para pendatang baru yang datang mengadu nasib di Jakarta karena mereka tidak perlu lagi khawatir akan terkena operasi yustisi. Mereka akan aman mencari kerja di Jakarta tanpa khawatir dengan statusnya sebagai pendatang baru, yang sudah barang tentu tidak memiliki KTP Jakarta. Ini tak lepas dari kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menyatakan bahwa Jakarta terbuka menerima para pendatang baru untuk mencari nafkah.
Anies memprediksi sebanyak 71.000 pendatang baru akan masuk Jakarta pascalibur Lebaran 2019. Angka tersebut naik sekitar 2.000 orang dari jumlah pendatang baru pada 2018. Pada 2018 sekitar 5.865.000 pemudik berangkat meninggalkan Jakarta. Kemudian saat arus balik, orang yang masuk Jakarta mencapai 5.934.000 orang.
Kebijakan Anies yang cukup populis ini di satu sisi patut diapresiasi. Jakarta sebagai ibu kota negara memang seharusnya menjadi kawasan yang setara untuk semua golongan, dan terbuka bagi siapa saja sepanjang dia adalah warga negara Indonesia. Namun, di sisi lain, kebijakan populis seperti ini harus diimbangi dengan sejumlah langkah antisipasi berhubung urbanisasi selama ini cenderung menimbulkan berbagai masalah.
Berdasarkan data PBB pada 2014, sebanyak 54% masyarakat dunia saat ini tinggal di perkotaan. Jumlah ini meningkat setiap tahun. Diperkirakan pada 2050 nanti 66% masyarakat hidup di kota. Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, hampir separuh penduduk Indonesia tinggal di kota. Jumlah ini diproyeksikan naik menjadi 67% pada 2035.
Kekhawatiran akibat serbuan pendatang baru ke Jakarta ini adalah bertambahnya jumlah pengangguran. Apalagi, BPS mencatat pengangguran di DKI Jakarta sepanjang 2018 lalu meningkat. BPS mencatat pada Februari ada 290.120 orang yang menganggur. Jumlah tersebut naik enam bulan kemudian, yakni mencapai 314.840 orang Agustus tahun lalu. Kenaikan pengangguran dari Februari 2018 ke Agustus 2018 sebesar 8,25% atau 24.720 orang. Selain jumlah pengangguran, BPS DKI mencatat tingkat pengangguran terbuka naik dari awalnya 5,34% pada Februari 2018 menjadi 6,24% pada Agustus 2018.
Persoalan lain jika merujuk banyaknya penduduk desa yang menyerbu Jakarta adalah sejauh mana efektivitas ratusan triliun dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat sejak 2015? Bukankah tujuan pengucuran dana desa adalah untuk menciptakan lapangan kerja di pedesaan agar pengangguran berkurang? Total dana desa yang sudah dikucurkan sejak 2015 sampai dengan 2018 mencapai Rp187,74 triliun.
Tercatat ada 74.958 desa dan 8.430 kelurahan yang menjadi penerima dana desa. Jumlah dana desa yang diterima antara Rp800 juta hingga Rp1 miliar. Jika dalam empat tahun dana dikucurkan namun desa belum juga mampu mandiri dan tidak cukup kuat menarik warganya untuk tetap tinggal bekerja, maka wajar jika ada usulan dilakukan evaluasi, bahkan audit terhadap penggunaan anggaran negara dalam jumlah sangat besar tersebut.
Karena kehadiran pendatang baru tak lagi terelakkan, tugas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menciptakan kawasan yang memadai. Urbanisasi harus direspons dengan memberikan pelayanan dasar yang baik, menjamin kecukupan air, pangan dan energi, perumahan layak huni, pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, dan ruang publik untuk bermain. Tanpa memantapkan ini dikhawatirkan kehadiran pendatang baru yang jumlahnya puluhan ribu setiap tahunnya akan menimbulkan berbagai persoalan sosial. Hal yang paling dikhawatirkan adalah meningkatinya kriminalitas, selain bertambahnya kawasan kumuh, meningkatinya kesenjangan sosial, dan timbulnya kerusakan lingkungan.
(kri)