Komunikasi untuk Penyelesaian Konflik
A
A
A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institutedan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SEJAK penetapan hasil rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum, Selasa (21/05) dini hari, situasi politik nasional kita panas dan mencemaskan. Sebagian dari mereka yang tak puas atas penetapan, turun ke jalanan dan yang disayangkan berbaur pula sekelompok pihak yang menjadi penunggang bebas dan memanfaatkan situasi agar menjurus ke chaos sehingga menimbulkan korban meninggal dan terluka. Situasi ini, tak bisa didiamkan berlarut-larut karena punya efek domino ke berbagai sektor seperti ekonomi dan bisnis, citra Indonesia di dunia, dan yang terpenting akan mengganggu kohesi sosial politik kita bangsa Indonesia. Solusi terbaik di situasi semacam ini adalah mengefektifkan komunikasi baik antarpribadi para elite, komunikasi antarorganisasi dan kelompok seperti partai politik dan ormas, juga komunikasi sosial terutama untuk menjembatani jarak komunikasi yang terjadi di masyarakat akar rumput.
Mental Kerumunan
Hal yang harus diwaspadai dari gelombang massa yang hadir di jalanan ibu kota beberapa hari ini adalah potensi mental kerumunan (mob mentality). Secara akademik, yang dimaksud dengan mental kerumunan adalah bagaimana orang dapat dipengaruhi oleh orang lain untuk mengadopsi perilaku tertentu berdasarkan emosi, daripada rasionalitas. Ketika individu dipengaruhi oleh mentalitas massa yang berkerumun, mereka mungkin saja membuat keputusan yang berbeda dari yang mereka miliki secara individual. Itulah yang menjelaskan mengapa seseorang bisa larut dalam euforia atau histeria massa, dan tanpa berpikir panjang melakukan sesuatu yang sebenarnya melanggar aturan. Seperti bersama-sama melanggar waktu untuk berujuk rasa, melakukan keonaran, memprovokasi kekerasan baik verbal maupun tindakan, juga terlibat dalam tawuran.
Bisa jadi, dari yang turun ke jalan sejak Selasa (21/05) ada yang murni karena ekspresi berdemokrasi yakni meyampaikan ketidakpuasan atas hasil penetapan rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, yang dikhawatirkan adalah modus sebagian kelompok yang memanfatkan situasi ini untuk membuat keonaran yang disengaja dan bisa memantik meluasnya mental kerumunan di arena unjuk rasa. Denis McQuail dalam bukunya Mass Communication Theory (1987) memberikan empat karakteristik tipe kolektivitas kerumunan. Pertama, tingkat instruksinya tinggi, karena saat terjadi kerumunan satu pancingan atau satu provokasi bisa cepat diamini oleh yang lainnya. Kedua, tujuan atau objek perhatian dari kerumunan itu kejadian yang sedang berlangsung.
Situasi yang terjadi di lapangan kerap berjalan cepat dan dinamis, di situlah orang-orang kerap tak berpikir panjang atau mengevaluasi apakah tindakannya berisiko atau tidak di masa mendatang. Ketiga, kontrol organisasi rendah. Meksipun bisa jadi orang yang datang dan berkerumun itu terdiri dari berbagai organisasi, tetapi praktiknya sulit mengendalikan orang yang datang dari berbagai kelompok dengan ragam motif serta kepentingan. Keempat, kadar kesadaran tinggi, tetapi bersifat sementara. Artinya kerumunan bisa merangsang orang untuk turut serta dengan kesadaran tinggi berpartisipasi dalam situasi yang terjadi meskipun sesaat.
Jika kita bersepakat bahwa pemilu adalah mekanisme demokratis, maka sudah saatnya kita kembali ke jalur konstitusional dalam mengekspresikan konflik elektoral. Setiap orang, memang punya hak untuk menyatakan pandangannya di muka umum, tetapi kita juga harus ingat kebebasan seseorang juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Situasi yang berkembang dari aksi yang memantik kekerasan ini, tidak bisa dibiarkan memburuk. Oleh karenanya, pihak-pihak yang memang ingin benar-benar memperjuangkan ketidakpuasannya atas hasil pemilu kembali ke koridor hukum.
Pasal 24 C Ayat 1 UUD 1945 yang kemudian diturunkan ke Pasal 473 Ayat 1 UU No.7 Tahun 2017 jelas dan tegas menyebutkan, perselisihan hasil pemilu dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Kubu Prabowo-Sandi sudah menyatakan akan menempuh mekanisme perselisihan hasil pemilu di MK, ini artinya energi kubu pendukung Prabowo-Sandi lebih baik diarahkan di kanal hukum ini. Kalau masih terjadi tindakan provokasi di jalanan, artinya terbuka peluang ada yang memanfaatkan bukan dalam konteks pemilu tetapi menciptakan ketidakteraturan sosial (social disorder) di masyarakat.
Gejala Groupthink
Dalam situasi yang memanas seperti ini, penting juga kita untuk tidak terjebak pada gejala groupthink. Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink:Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982), digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohe-sivitas tinggi dan seringkali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil.
Ada tiga kondisi menonjol yang mendorong kuatnya gejala groupthink. Pertama, faktor kohesivitas kelompok. Ciri yang paling identik dari kelompok selama ini adalah semangat kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas terhadap pemimpin. Kohesi sesungguhnya positif, karena dapat menjadi perekat agar kelompok tetap utuh. Namun kelompok yang sangat kohesif berlebihan juga akan melahirkan keseragaman berpikir dan berperilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints). Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints (1998) batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak dari kelompoknya.Kedua, faktor struktural berbentuk minimnya kepemimpinan imparsial (lack of impartial leadership) dan kurangnya prosedur pengambilan keputusan (lack of decision making procedures). Ketiga, tekanan terhadap kelompok baik dari internal maupun eksternal.
Singkatnya, gejala groupthink ini terjadi di saat seseorang yang berada di dalam kelompok tertentu yang bergerak bukan karena kesadaran rasionalitas individunya tetapi lebih karena semangat kebersamaan kelompoknya. Jika pun dalam hatinya tidak setuju, tetapi karena adanya batasan afiliatif seperti loyalitas pada pimpinan atau esprit the corps, akhirnya tindakannya larut dalam tindakan kolektif kelompok. Gejala ini, sering kita lihat di perilaku anggota ormas yang turun ke jalan, mereka membangun batasan afiliatif dengan anggotanya mulai dengan seragam yang sama, teriakan yang sama, komando bergerak bersama, bahkan modus tindakan yang juga serupa. Saat gejala groupthink ini bergerak menjadi tindakan nyata yang membahayakan banyak orang, tentu akan sangat merepotkan aparat keamanan dan merugikan banyak orang.
Ada tiga solusi dari perspektif komunikasi politik untuk penyelesaian konflik pasca-penetapan hasil pemilu. Pertama, kedua pasangan kandidat di pilpres tak cukup hanya pidato yang secara simbolik memberi pesan damai. Baik Jokowi maupun Prabowo sudah menyampaikan pidato yang titik temu pesannya meminta semua pihak agar menghentikan kekerasan dan kembali ke politik kebangsaan karena Indonesia adalah rumah kita bersama. Prabowo, harus memastikan pesannya dipahami dan dijalankan oleh seluruh timnya. Jangan sampai pidato sekadar retorika, tetapi misalnya ada komponen dari tim yang memberi dukungan logistik bahkan memprovokasi aksi massa terus berlanjut. Demikian juga Jokowi, harus memberi instruksi agar aparat bertindak proporsional dan persuasif, jangan sampai represif dan memantik resistensi lebih besar.
Kedua, penting mulai diinisiasi pendekatan public relations politik secara berjenjang. Mulai dari inisiatif perjumpaan Jokowi dan Prabowo yang akan menenangkan kedua pihak yang terpolarisasi sejak lama. Pun demikian, inisiatif komunikasi yang sama bisa dilakukan di level tim sukses, tim relawan dan lain-lain, sehingga konflik elektoral di dorong ke saluran hukum yakni di MK. Ketiga, peranan tokoh struktur sosial tradisional seperti agamawan dan tokoh masyarakat, agar lebih bergiat untuk menyemai perdamaian bukan sebaliknya meneguhkan kebencian. Pesan-pesan damai dan kanal konflik konstitusional ini dapat dibantu resonansinya melalui komunikasi massa oleh media.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institutedan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SEJAK penetapan hasil rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum, Selasa (21/05) dini hari, situasi politik nasional kita panas dan mencemaskan. Sebagian dari mereka yang tak puas atas penetapan, turun ke jalanan dan yang disayangkan berbaur pula sekelompok pihak yang menjadi penunggang bebas dan memanfaatkan situasi agar menjurus ke chaos sehingga menimbulkan korban meninggal dan terluka. Situasi ini, tak bisa didiamkan berlarut-larut karena punya efek domino ke berbagai sektor seperti ekonomi dan bisnis, citra Indonesia di dunia, dan yang terpenting akan mengganggu kohesi sosial politik kita bangsa Indonesia. Solusi terbaik di situasi semacam ini adalah mengefektifkan komunikasi baik antarpribadi para elite, komunikasi antarorganisasi dan kelompok seperti partai politik dan ormas, juga komunikasi sosial terutama untuk menjembatani jarak komunikasi yang terjadi di masyarakat akar rumput.
Mental Kerumunan
Hal yang harus diwaspadai dari gelombang massa yang hadir di jalanan ibu kota beberapa hari ini adalah potensi mental kerumunan (mob mentality). Secara akademik, yang dimaksud dengan mental kerumunan adalah bagaimana orang dapat dipengaruhi oleh orang lain untuk mengadopsi perilaku tertentu berdasarkan emosi, daripada rasionalitas. Ketika individu dipengaruhi oleh mentalitas massa yang berkerumun, mereka mungkin saja membuat keputusan yang berbeda dari yang mereka miliki secara individual. Itulah yang menjelaskan mengapa seseorang bisa larut dalam euforia atau histeria massa, dan tanpa berpikir panjang melakukan sesuatu yang sebenarnya melanggar aturan. Seperti bersama-sama melanggar waktu untuk berujuk rasa, melakukan keonaran, memprovokasi kekerasan baik verbal maupun tindakan, juga terlibat dalam tawuran.
Bisa jadi, dari yang turun ke jalan sejak Selasa (21/05) ada yang murni karena ekspresi berdemokrasi yakni meyampaikan ketidakpuasan atas hasil penetapan rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, yang dikhawatirkan adalah modus sebagian kelompok yang memanfatkan situasi ini untuk membuat keonaran yang disengaja dan bisa memantik meluasnya mental kerumunan di arena unjuk rasa. Denis McQuail dalam bukunya Mass Communication Theory (1987) memberikan empat karakteristik tipe kolektivitas kerumunan. Pertama, tingkat instruksinya tinggi, karena saat terjadi kerumunan satu pancingan atau satu provokasi bisa cepat diamini oleh yang lainnya. Kedua, tujuan atau objek perhatian dari kerumunan itu kejadian yang sedang berlangsung.
Situasi yang terjadi di lapangan kerap berjalan cepat dan dinamis, di situlah orang-orang kerap tak berpikir panjang atau mengevaluasi apakah tindakannya berisiko atau tidak di masa mendatang. Ketiga, kontrol organisasi rendah. Meksipun bisa jadi orang yang datang dan berkerumun itu terdiri dari berbagai organisasi, tetapi praktiknya sulit mengendalikan orang yang datang dari berbagai kelompok dengan ragam motif serta kepentingan. Keempat, kadar kesadaran tinggi, tetapi bersifat sementara. Artinya kerumunan bisa merangsang orang untuk turut serta dengan kesadaran tinggi berpartisipasi dalam situasi yang terjadi meskipun sesaat.
Jika kita bersepakat bahwa pemilu adalah mekanisme demokratis, maka sudah saatnya kita kembali ke jalur konstitusional dalam mengekspresikan konflik elektoral. Setiap orang, memang punya hak untuk menyatakan pandangannya di muka umum, tetapi kita juga harus ingat kebebasan seseorang juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Situasi yang berkembang dari aksi yang memantik kekerasan ini, tidak bisa dibiarkan memburuk. Oleh karenanya, pihak-pihak yang memang ingin benar-benar memperjuangkan ketidakpuasannya atas hasil pemilu kembali ke koridor hukum.
Pasal 24 C Ayat 1 UUD 1945 yang kemudian diturunkan ke Pasal 473 Ayat 1 UU No.7 Tahun 2017 jelas dan tegas menyebutkan, perselisihan hasil pemilu dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Kubu Prabowo-Sandi sudah menyatakan akan menempuh mekanisme perselisihan hasil pemilu di MK, ini artinya energi kubu pendukung Prabowo-Sandi lebih baik diarahkan di kanal hukum ini. Kalau masih terjadi tindakan provokasi di jalanan, artinya terbuka peluang ada yang memanfaatkan bukan dalam konteks pemilu tetapi menciptakan ketidakteraturan sosial (social disorder) di masyarakat.
Gejala Groupthink
Dalam situasi yang memanas seperti ini, penting juga kita untuk tidak terjebak pada gejala groupthink. Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink:Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982), digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohe-sivitas tinggi dan seringkali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil.
Ada tiga kondisi menonjol yang mendorong kuatnya gejala groupthink. Pertama, faktor kohesivitas kelompok. Ciri yang paling identik dari kelompok selama ini adalah semangat kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas terhadap pemimpin. Kohesi sesungguhnya positif, karena dapat menjadi perekat agar kelompok tetap utuh. Namun kelompok yang sangat kohesif berlebihan juga akan melahirkan keseragaman berpikir dan berperilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints). Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints (1998) batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak dari kelompoknya.Kedua, faktor struktural berbentuk minimnya kepemimpinan imparsial (lack of impartial leadership) dan kurangnya prosedur pengambilan keputusan (lack of decision making procedures). Ketiga, tekanan terhadap kelompok baik dari internal maupun eksternal.
Singkatnya, gejala groupthink ini terjadi di saat seseorang yang berada di dalam kelompok tertentu yang bergerak bukan karena kesadaran rasionalitas individunya tetapi lebih karena semangat kebersamaan kelompoknya. Jika pun dalam hatinya tidak setuju, tetapi karena adanya batasan afiliatif seperti loyalitas pada pimpinan atau esprit the corps, akhirnya tindakannya larut dalam tindakan kolektif kelompok. Gejala ini, sering kita lihat di perilaku anggota ormas yang turun ke jalan, mereka membangun batasan afiliatif dengan anggotanya mulai dengan seragam yang sama, teriakan yang sama, komando bergerak bersama, bahkan modus tindakan yang juga serupa. Saat gejala groupthink ini bergerak menjadi tindakan nyata yang membahayakan banyak orang, tentu akan sangat merepotkan aparat keamanan dan merugikan banyak orang.
Ada tiga solusi dari perspektif komunikasi politik untuk penyelesaian konflik pasca-penetapan hasil pemilu. Pertama, kedua pasangan kandidat di pilpres tak cukup hanya pidato yang secara simbolik memberi pesan damai. Baik Jokowi maupun Prabowo sudah menyampaikan pidato yang titik temu pesannya meminta semua pihak agar menghentikan kekerasan dan kembali ke politik kebangsaan karena Indonesia adalah rumah kita bersama. Prabowo, harus memastikan pesannya dipahami dan dijalankan oleh seluruh timnya. Jangan sampai pidato sekadar retorika, tetapi misalnya ada komponen dari tim yang memberi dukungan logistik bahkan memprovokasi aksi massa terus berlanjut. Demikian juga Jokowi, harus memberi instruksi agar aparat bertindak proporsional dan persuasif, jangan sampai represif dan memantik resistensi lebih besar.
Kedua, penting mulai diinisiasi pendekatan public relations politik secara berjenjang. Mulai dari inisiatif perjumpaan Jokowi dan Prabowo yang akan menenangkan kedua pihak yang terpolarisasi sejak lama. Pun demikian, inisiatif komunikasi yang sama bisa dilakukan di level tim sukses, tim relawan dan lain-lain, sehingga konflik elektoral di dorong ke saluran hukum yakni di MK. Ketiga, peranan tokoh struktur sosial tradisional seperti agamawan dan tokoh masyarakat, agar lebih bergiat untuk menyemai perdamaian bukan sebaliknya meneguhkan kebencian. Pesan-pesan damai dan kanal konflik konstitusional ini dapat dibantu resonansinya melalui komunikasi massa oleh media.
(pur)