Antisipasi Inflasi pada Bulan Ramadan
A
A
A
Haris Zaky Mubarak, Peneliti Sejarah di Indonesia
Memasuki Ramadan 2019, harga beberapa bahan pokok yang ada di pasar melambung tinggi. Ambil contoh harga bawang putih yang sejak awal Mei 2019 mengalami kenaikan harga sebesar Rp61.900/kg.
Berdasarkan pantauan dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional yang dikelola oleh Bank Indonesia (BI) dan pemerintah, komoditas bawang putih, bawang merah, cabai rawit merah, dan cabai hijau, terus-menerus merangkak naik dalam sepekan terakhir. Data ini dihimpun dari 164 pasar tradisional pada 82 kota seluruh Indonesia.
Masalah kenaikan harga bahan pokok saat momen puasa memang menjadi fenomena sosial ekonomi di Indonesia. Yang menarik dalam konteks ini tentu saja soal bagaimana mengendalikan harga-harga barang kebutuhan pokok selama Ramadan. Selama bulan puasa kebutuhan permintaan barang dan bahan pokok cenderung meningkat karena ada peningkatan konsumsi untuk kebutuhan puasa.
Hal semacam ini sering kali dimanfaatkan oleh para tengkulak untuk ikut berspekulasi dalam menaikkan harga barang melebihi ambang batas harga yang sudah ditentukan pasar. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Bank Indonesia, angka inflasi pada April 2019 ini berada pada angka 0,25%. Angka ini lebih tinggi dari survei pada pekan pertama April sebesar 0,21%. Jika demikian kondisinya, maka mengapa pemerintah tidak memunculkan kebijakan antisipatif berkala untuk mencegah inflasi?
Pengalaman Berkala
Penyumbang inflasi terbesar pada periode April dan Mei 2019 ini adalah karena faktor naiknya harga bawang merah yang naik sebesar 18% dari bulan sebelumnya dan harga bawang putih yang melonjak 21,6% dari bulan sebelumnya.
Meskipun angka tersebut juga dapat disebut sebagai angka yang relatif karena pada wilayah lain seperti halnya Jambi, harga bawang putih sudah naik lebih dari 50%, di mana para pedagang di Jambi menjual harga bawang putih dengan harga Rp100.000 per kilogram jauh lebih mahal dari harga sebelumnya yang berada di kisaran Rp30.000 per kilogram.
Tingginya harga bawang merah dan bawang putih pada bulan puasa tahun ini dinilai karena besarnya ketergantungan pemerintah atas impor bawang putih dan bukan dari pasokan produksi tanaman sendiri.
Menariknya, pemerintah sebagai regulator pasar dalam negeri justru semakin intensif menambah kuantitas ekspor. Kondisi ini semakin memperburuk kestabilan harga di pasar karena akhirnya pasar dalam negeri menjadi terbuka terhadap inflasi.
Selama ini sikap antisipatif pemerintah terhadap fenomena inflasi pada Ramadan cenderung pada langkah taktis seperti melakukan operasi pasar, sosialisasi transparansi harga pangan, hingga pada sikap penindakan monopoli harga dari pengusaha besar.
Namun, hal semacam ini tidak terlalu efektif karena faktanya ketersediaan barang tetap langka dan daya beli masyarakat malah semakin menurun karena ketidakstabilan harga di pasar. Oleh karena itu, jelas sangat urgen bagi pemerintah untuk membangun rencana strategis antisipatif yang sifatnya berkala sehingga kestabilan harga barang dan bahan pokok pada bulan Ramadan pada setiap tahunnya dapat tetap terjaga.
Satu opsi penting dalam antisipatif inflasi yang sangat tinggi adalah dengan melakukan distribusi silang untuk menambah pasokan barang yang ada di satu daerah dengan pasokan dari daerah lain.
Jika berkaca pada sejarah, program kebijakan ekonomi dalam melakukan distribusi silang sebagai penekan laju inflasi dalam negeri dapat dikatakan cukup efektif hal itu dapat lihat pada alur perkembangan sejarah ekonomi kolonial pada awal 1900-an dan pada masa ekonomi Indonesia 1980-an.
Di mana dalam dua kurun waktu itu kebijakan ekonomi dari Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia benar-benar mendesain pola kebijakan ekonomi yang tersistematis. Awal 1900-an, pemerintah Hindia Belanda membangun alur kebijakan struktur ekonomi baru di mana Hindia Belanda membangun sistem ekonomi baru mereka dari surplus keuntungan perusahaan Belanda dan keuntungan produksi agrikultur daerah yang dimiliki mereka.
Sehingga perkembangan ekonomi dalam negeri Hindia Belanda menjadi stabil karena kuatnya saling silang distribusi ekonomi antardaerah. Begitu juga yang terjadi dengan realitas ekonomi Indonesia pada 1980-an, upaya Repelita IV yang digagas.
Oleh pemerintahan Soeharto memberikan sebuah paket kebijaksanaan deregulasi antardaerah yang membuat pengalokasian kuantitas barang di satu daerah harus selalu disesuaikan dengan tarif yang diberikan. Upaya masa Soeharto ini cukup efektif karena pasar akhirnya memberi ambang batas kesesuaian harga secara terbuka.
Kebijakan Ekonomi
Jika melihat langkah antisipatif yang dibangun dalam dua catatan sejarah ekonomi di atas, maka kita sesungguhnya perlu untuk melakukan rekayasa ekonomi terhadap pasar. Pemerintah sebagai regulator harus menerapkan beberapa kebijakan rasional ekonomi yang sekiranya dapat membuat perkembangan inflasi dapat terhambat.
Untuk itu, ada dua poin krusial yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia sekarang ini. Pertama, pemerintah Indonesia perlu untuk segera memetakan semua kebutuhan konsumsi ekonomi masyarakat secara berkala. Karena masalah inflasi seperti yang terjadi pada harga bawang putih yang semakin tinggi, pemerintah kita saat ini kenyataannya memang abai mengatur skematis waktu antara aktivitas memproduksi sendiri bahan pokok dan waktu untuk mengonsumsi.
Karena jika tidak ada skematis waktu, maka yang terjadi adalah seperti kenyataan sekarang di mana ada ketergantungan tinggi pemerintah terhadap Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Kedua, pemerintah hendaknya dapat dengan cepat membuat kebijakan pasar informasi yang sekiranya mampu memberikan informasi tentang alternatif dari daerah atau tempat dengan harga barang dan bahan pokok yang relatif stabil. Upaya semacam ini akan mampu memberikan pencegahan monopoli harga yang terjadi di pasar pada daerah tertentu.
Setidaknya, adanya kebijakan pasar informasi akan dapat melahirkan hubungan pola distribusi pembelian yang merata di setiap daerah. Melalui cara-cara seperti inilah, upaya antisipatif pemerintah Indonesia dalam menjaga kestabilan harga barang dan bahan pokok di pasar dapat terjaga dengan baik.
Memasuki Ramadan 2019, harga beberapa bahan pokok yang ada di pasar melambung tinggi. Ambil contoh harga bawang putih yang sejak awal Mei 2019 mengalami kenaikan harga sebesar Rp61.900/kg.
Berdasarkan pantauan dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional yang dikelola oleh Bank Indonesia (BI) dan pemerintah, komoditas bawang putih, bawang merah, cabai rawit merah, dan cabai hijau, terus-menerus merangkak naik dalam sepekan terakhir. Data ini dihimpun dari 164 pasar tradisional pada 82 kota seluruh Indonesia.
Masalah kenaikan harga bahan pokok saat momen puasa memang menjadi fenomena sosial ekonomi di Indonesia. Yang menarik dalam konteks ini tentu saja soal bagaimana mengendalikan harga-harga barang kebutuhan pokok selama Ramadan. Selama bulan puasa kebutuhan permintaan barang dan bahan pokok cenderung meningkat karena ada peningkatan konsumsi untuk kebutuhan puasa.
Hal semacam ini sering kali dimanfaatkan oleh para tengkulak untuk ikut berspekulasi dalam menaikkan harga barang melebihi ambang batas harga yang sudah ditentukan pasar. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Bank Indonesia, angka inflasi pada April 2019 ini berada pada angka 0,25%. Angka ini lebih tinggi dari survei pada pekan pertama April sebesar 0,21%. Jika demikian kondisinya, maka mengapa pemerintah tidak memunculkan kebijakan antisipatif berkala untuk mencegah inflasi?
Pengalaman Berkala
Penyumbang inflasi terbesar pada periode April dan Mei 2019 ini adalah karena faktor naiknya harga bawang merah yang naik sebesar 18% dari bulan sebelumnya dan harga bawang putih yang melonjak 21,6% dari bulan sebelumnya.
Meskipun angka tersebut juga dapat disebut sebagai angka yang relatif karena pada wilayah lain seperti halnya Jambi, harga bawang putih sudah naik lebih dari 50%, di mana para pedagang di Jambi menjual harga bawang putih dengan harga Rp100.000 per kilogram jauh lebih mahal dari harga sebelumnya yang berada di kisaran Rp30.000 per kilogram.
Tingginya harga bawang merah dan bawang putih pada bulan puasa tahun ini dinilai karena besarnya ketergantungan pemerintah atas impor bawang putih dan bukan dari pasokan produksi tanaman sendiri.
Menariknya, pemerintah sebagai regulator pasar dalam negeri justru semakin intensif menambah kuantitas ekspor. Kondisi ini semakin memperburuk kestabilan harga di pasar karena akhirnya pasar dalam negeri menjadi terbuka terhadap inflasi.
Selama ini sikap antisipatif pemerintah terhadap fenomena inflasi pada Ramadan cenderung pada langkah taktis seperti melakukan operasi pasar, sosialisasi transparansi harga pangan, hingga pada sikap penindakan monopoli harga dari pengusaha besar.
Namun, hal semacam ini tidak terlalu efektif karena faktanya ketersediaan barang tetap langka dan daya beli masyarakat malah semakin menurun karena ketidakstabilan harga di pasar. Oleh karena itu, jelas sangat urgen bagi pemerintah untuk membangun rencana strategis antisipatif yang sifatnya berkala sehingga kestabilan harga barang dan bahan pokok pada bulan Ramadan pada setiap tahunnya dapat tetap terjaga.
Satu opsi penting dalam antisipatif inflasi yang sangat tinggi adalah dengan melakukan distribusi silang untuk menambah pasokan barang yang ada di satu daerah dengan pasokan dari daerah lain.
Jika berkaca pada sejarah, program kebijakan ekonomi dalam melakukan distribusi silang sebagai penekan laju inflasi dalam negeri dapat dikatakan cukup efektif hal itu dapat lihat pada alur perkembangan sejarah ekonomi kolonial pada awal 1900-an dan pada masa ekonomi Indonesia 1980-an.
Di mana dalam dua kurun waktu itu kebijakan ekonomi dari Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia benar-benar mendesain pola kebijakan ekonomi yang tersistematis. Awal 1900-an, pemerintah Hindia Belanda membangun alur kebijakan struktur ekonomi baru di mana Hindia Belanda membangun sistem ekonomi baru mereka dari surplus keuntungan perusahaan Belanda dan keuntungan produksi agrikultur daerah yang dimiliki mereka.
Sehingga perkembangan ekonomi dalam negeri Hindia Belanda menjadi stabil karena kuatnya saling silang distribusi ekonomi antardaerah. Begitu juga yang terjadi dengan realitas ekonomi Indonesia pada 1980-an, upaya Repelita IV yang digagas.
Oleh pemerintahan Soeharto memberikan sebuah paket kebijaksanaan deregulasi antardaerah yang membuat pengalokasian kuantitas barang di satu daerah harus selalu disesuaikan dengan tarif yang diberikan. Upaya masa Soeharto ini cukup efektif karena pasar akhirnya memberi ambang batas kesesuaian harga secara terbuka.
Kebijakan Ekonomi
Jika melihat langkah antisipatif yang dibangun dalam dua catatan sejarah ekonomi di atas, maka kita sesungguhnya perlu untuk melakukan rekayasa ekonomi terhadap pasar. Pemerintah sebagai regulator harus menerapkan beberapa kebijakan rasional ekonomi yang sekiranya dapat membuat perkembangan inflasi dapat terhambat.
Untuk itu, ada dua poin krusial yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia sekarang ini. Pertama, pemerintah Indonesia perlu untuk segera memetakan semua kebutuhan konsumsi ekonomi masyarakat secara berkala. Karena masalah inflasi seperti yang terjadi pada harga bawang putih yang semakin tinggi, pemerintah kita saat ini kenyataannya memang abai mengatur skematis waktu antara aktivitas memproduksi sendiri bahan pokok dan waktu untuk mengonsumsi.
Karena jika tidak ada skematis waktu, maka yang terjadi adalah seperti kenyataan sekarang di mana ada ketergantungan tinggi pemerintah terhadap Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Kedua, pemerintah hendaknya dapat dengan cepat membuat kebijakan pasar informasi yang sekiranya mampu memberikan informasi tentang alternatif dari daerah atau tempat dengan harga barang dan bahan pokok yang relatif stabil. Upaya semacam ini akan mampu memberikan pencegahan monopoli harga yang terjadi di pasar pada daerah tertentu.
Setidaknya, adanya kebijakan pasar informasi akan dapat melahirkan hubungan pola distribusi pembelian yang merata di setiap daerah. Melalui cara-cara seperti inilah, upaya antisipatif pemerintah Indonesia dalam menjaga kestabilan harga barang dan bahan pokok di pasar dapat terjaga dengan baik.
(don)