Citra Kekuasaan Demoriter
A
A
A
Ali Rido
Pengajar Hukum Tata Negara FH Universitas Trisakti
DALAM tesisnya, Francis Fukuyama (1992) dengan lugas mengatakan bahwa sejarah tentang otoritarianisme, sentralisme, dan monopoli kuasa telah berakhir pada penghujung dasawarsa 80-an. Maka, sejak itu terbit keyakinan bahwa demokrasi merupakan jalan tunggal bagi setiap negara di dunia. Otoritarianisme tak cukup daya untuk merayu publik yang makin gigih menagih kedaulatan dan hak-hak asasi mereka. Karena itu, akan menjadi periode anakronis jika setelah tahun 2000-an ini suatu negara menolak demokrasi sebagai sistem politik.
Sayangnya, gejala itu seolah dirasakan –dan mungkin akan dipraktikkan- di negara Indonesia seiring dengan akan dibentuknya tim bantuan hukum atau apa pun istilahnya oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Hingga kini memang belum pasti tugas dari tim tersebut, namun pernyataan yang terlontar dari sang menteri ada arah menjadikannya sebagai pelacak untuk mengkaji dan mengontrol perkataan, pikiran, dan gerak rakyat.
Realitas-Kuasa
Jika boleh berprasangka baik, penulis meyakini pembentukan tim oleh Menko Polhukam pasti diniati dengan tujuan mulia yaitu dalam rangka memastikan demokrasi yang dijalani beradab dan bertanggung jawab. Terlalu tergesa-gesa pula memberikan stempel, kekuasaan saat ini akan mengarah pada otoritarian mengingat peranti berdemokrasi relatif kuat bercokol untuk mengawal transisi demokrasi di Indonesia saat ini.
Namun, yang menjadi kekhawatiran adalah ada tampilan kekuasaan yang dapat disebut sebagai kekuasaan demoriter, yaitu sebuah bentuk kekuasaan yang diikhtiarkan memapankan demokrasi, namun dengan jalan dan cara-cara otoriter.
Mengapa demikian? Tentu ini dapat berlandas atas pernyataan Lord Acton yang masyhur tentang kekuasaan yang cenderung korup. Esensinya bukan dari kata korup, melainkan yang perlu diperhatikan ialah diksi "cenderung" itu. Ia menyodorkan tesis bahwa ada pergulatan antara bakat-bakat jahat manusia dan bakat-bakat yang baik. Kedua bakat tersebut, dalam kekuasaan, yang seringkali menggoda untuk tampil ialah bakat superiornya –kalau tidak ingin disebut bakat jahatnya. Karena itu, pembentukan tim oleh Menko Polhukam seakan mencitrakan realitas berkuasa yang ingin menampilkan bakat superioritas pemberi mandat (rakyat).
Pada sisi yang lain, apa yang akan dilakukan oleh Menko Polhukam meneguhkan citra kekuasaan yang lari dari realitas sosial berdemokrasi. Dalam hubungannya ini, Sendjaya (2013) dengan lugas berujar bahwa alam demokrasi menjadikan realitas sosial seharusnya sebagai referensi bagi setiap gerak langkah rezim, bukan menjadikan kekuasaan sebagai referensi bagi realitas di sekitarnya. Kekuasaan demokratis mengakomodasikan semua perbedaan menjadi sebuah mozaik, bukan mendikte masyarakat ke dalam format politik yang monolitik. Dalam sejarahnya, kekuasaan yang lari dari realitas itu sejatinya menunjukkan kekuasaannya merupakan kekuasaan yang tak berkuasa.
Memapankan Demokrasi
Kegelisahan atas laku masyarakat yang dianggap tidak bertanggung jawab dalam berdemokrasi tampaknya menjadi alasan niatan pembentukan tim oleh Menko Polhukam tersebut. Ikhtiar itu yang diharapkan nanti dapat mengawal demokrasi secara baik sehingga demokrasi berjalan dengan mapan sekaligus mantap. Namun, sejatinya ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan ketimbang membentuk tim.
Pertama, pembacaan ulang atas perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah bangsa ini telah banyak merasakan berbagai rezim kekuasaan, mulai dari yang namanya era demokrasi terpimpin hingga otoriter pernah singgah. Namun, dari itu semua, akhirnya bangsa Indonesia memilih untuk bernaung pada rezim kekuasaan demokratis. Sejarah itu, yang harus dibaca ulang dan dikontemplasi sehingga haram dinegasi oleh penguasa sekarang dan yang akan datang. Karena itu, penguasa harus taat pada nilai partisipasi, artikulasi, dan agregasi untuk menjadikannya cara dalam membangun kekuasaan. Bukan represi, kooptasi, dan dominasi yang dijadikan cara mempertahankan kekuasaan.
Kedua, edukasi politik. Sebagaimana ritus dalam rezim demokratis yang selalu memiliki ikhtiar untuk melakukan pendidikan politik, maka Indonesia yang sejak 1998 bertransformasi pada ruang demokrasi penting untuk melakukan pendidikan politik cerdas kepada masyarakatnya. Tugas itu tentu dapat diperankan oleh negara selaku penguasa sebagaimana diktum alinea keempat pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang sekaligus merupakan tujuan bernegara. Karena itu, berbalik arah merumuskan pendidikan politik yang cerdas, layak dilakukan oleh Menko Polhukam ketimbang meneruskan langkah untuk melahirkan tim pemantau yang memata-matai gerak-pikir dan mungkin tawa rakyatnya.
Namun, jika yang akan diteruskan adalah pembentukan tim, maka alangkah malangnya manusia negeri ini yang dinilai Roeder bahwa manusia Indonesia lahir untuk tertawa (Indonesian people born to smile).
Pengajar Hukum Tata Negara FH Universitas Trisakti
DALAM tesisnya, Francis Fukuyama (1992) dengan lugas mengatakan bahwa sejarah tentang otoritarianisme, sentralisme, dan monopoli kuasa telah berakhir pada penghujung dasawarsa 80-an. Maka, sejak itu terbit keyakinan bahwa demokrasi merupakan jalan tunggal bagi setiap negara di dunia. Otoritarianisme tak cukup daya untuk merayu publik yang makin gigih menagih kedaulatan dan hak-hak asasi mereka. Karena itu, akan menjadi periode anakronis jika setelah tahun 2000-an ini suatu negara menolak demokrasi sebagai sistem politik.
Sayangnya, gejala itu seolah dirasakan –dan mungkin akan dipraktikkan- di negara Indonesia seiring dengan akan dibentuknya tim bantuan hukum atau apa pun istilahnya oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Hingga kini memang belum pasti tugas dari tim tersebut, namun pernyataan yang terlontar dari sang menteri ada arah menjadikannya sebagai pelacak untuk mengkaji dan mengontrol perkataan, pikiran, dan gerak rakyat.
Realitas-Kuasa
Jika boleh berprasangka baik, penulis meyakini pembentukan tim oleh Menko Polhukam pasti diniati dengan tujuan mulia yaitu dalam rangka memastikan demokrasi yang dijalani beradab dan bertanggung jawab. Terlalu tergesa-gesa pula memberikan stempel, kekuasaan saat ini akan mengarah pada otoritarian mengingat peranti berdemokrasi relatif kuat bercokol untuk mengawal transisi demokrasi di Indonesia saat ini.
Namun, yang menjadi kekhawatiran adalah ada tampilan kekuasaan yang dapat disebut sebagai kekuasaan demoriter, yaitu sebuah bentuk kekuasaan yang diikhtiarkan memapankan demokrasi, namun dengan jalan dan cara-cara otoriter.
Mengapa demikian? Tentu ini dapat berlandas atas pernyataan Lord Acton yang masyhur tentang kekuasaan yang cenderung korup. Esensinya bukan dari kata korup, melainkan yang perlu diperhatikan ialah diksi "cenderung" itu. Ia menyodorkan tesis bahwa ada pergulatan antara bakat-bakat jahat manusia dan bakat-bakat yang baik. Kedua bakat tersebut, dalam kekuasaan, yang seringkali menggoda untuk tampil ialah bakat superiornya –kalau tidak ingin disebut bakat jahatnya. Karena itu, pembentukan tim oleh Menko Polhukam seakan mencitrakan realitas berkuasa yang ingin menampilkan bakat superioritas pemberi mandat (rakyat).
Pada sisi yang lain, apa yang akan dilakukan oleh Menko Polhukam meneguhkan citra kekuasaan yang lari dari realitas sosial berdemokrasi. Dalam hubungannya ini, Sendjaya (2013) dengan lugas berujar bahwa alam demokrasi menjadikan realitas sosial seharusnya sebagai referensi bagi setiap gerak langkah rezim, bukan menjadikan kekuasaan sebagai referensi bagi realitas di sekitarnya. Kekuasaan demokratis mengakomodasikan semua perbedaan menjadi sebuah mozaik, bukan mendikte masyarakat ke dalam format politik yang monolitik. Dalam sejarahnya, kekuasaan yang lari dari realitas itu sejatinya menunjukkan kekuasaannya merupakan kekuasaan yang tak berkuasa.
Memapankan Demokrasi
Kegelisahan atas laku masyarakat yang dianggap tidak bertanggung jawab dalam berdemokrasi tampaknya menjadi alasan niatan pembentukan tim oleh Menko Polhukam tersebut. Ikhtiar itu yang diharapkan nanti dapat mengawal demokrasi secara baik sehingga demokrasi berjalan dengan mapan sekaligus mantap. Namun, sejatinya ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan ketimbang membentuk tim.
Pertama, pembacaan ulang atas perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah bangsa ini telah banyak merasakan berbagai rezim kekuasaan, mulai dari yang namanya era demokrasi terpimpin hingga otoriter pernah singgah. Namun, dari itu semua, akhirnya bangsa Indonesia memilih untuk bernaung pada rezim kekuasaan demokratis. Sejarah itu, yang harus dibaca ulang dan dikontemplasi sehingga haram dinegasi oleh penguasa sekarang dan yang akan datang. Karena itu, penguasa harus taat pada nilai partisipasi, artikulasi, dan agregasi untuk menjadikannya cara dalam membangun kekuasaan. Bukan represi, kooptasi, dan dominasi yang dijadikan cara mempertahankan kekuasaan.
Kedua, edukasi politik. Sebagaimana ritus dalam rezim demokratis yang selalu memiliki ikhtiar untuk melakukan pendidikan politik, maka Indonesia yang sejak 1998 bertransformasi pada ruang demokrasi penting untuk melakukan pendidikan politik cerdas kepada masyarakatnya. Tugas itu tentu dapat diperankan oleh negara selaku penguasa sebagaimana diktum alinea keempat pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang sekaligus merupakan tujuan bernegara. Karena itu, berbalik arah merumuskan pendidikan politik yang cerdas, layak dilakukan oleh Menko Polhukam ketimbang meneruskan langkah untuk melahirkan tim pemantau yang memata-matai gerak-pikir dan mungkin tawa rakyatnya.
Namun, jika yang akan diteruskan adalah pembentukan tim, maka alangkah malangnya manusia negeri ini yang dinilai Roeder bahwa manusia Indonesia lahir untuk tertawa (Indonesian people born to smile).
(kri)