Diplomasi Sawit Melawan Uni Eropa
A
A
A
Khudori Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
TANTANGAN diplomasi minyak kelapa sawit sepertinya tak pernah usai. Tantangan terbaru datang dari Eropa. Komisi Eropa telah meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II) pada 13 Maret 2019. Aturan ini secara bertahap hendak menghapus penggunaanbiofuelberbasis minyak kelapa sawit (CPO) hingga 0% pada 2030. Alasannya, perkebunan kelapa sawit biang deforestasi global besar-besaran, pemicu perubahan peruntukan lahan, dan penyembur emisi gas rumah kaca (GRK) dunia. Jika tak ada keberatan dari Parlemen Eropa dan Dewan Eropa hingga dua bulan setelah RED II diadopsi, aturan ini disahkan.
Sebagai produsen 85% sawit dunia, Indonesia dan Malaysia pantas meradang. Uni Eropa merupakan salah satu wilayah penting penyerap CPO dan produk turunannya. Jikabeleidini mulus dan disahkan, Indonesia dan Malaysia akan kehilangan salah satu pasar potensial. Karena itu, lewat Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit, Malaysia dan Indonesia mencoba meyakinkan para pemangku di Uni Eropa bahwa langkah itu tak adil dan diskriminatif. Delegasi Indonesia dipimpin Menko Perekonomian Darmin Nasution, sedangkan Malaysia diwakili Sekjen Kementerian Industri Primer Tan Yew Chong.
Ini kali kesekian serangan bertubi-tubi terhadap sawit dilancarkan negara-negara maju. Kampanye negatif terhadap sawit sudah dimulai era 1980-an. Mulai dari tudingan sawit mengandung kolesterol, penyebab polusi, merusak lingkungan, mengusir orang hutan, dan penyebab utama deforestasi, penghasil gas rumah kaca, dan biang pemanasan global. Satu per satu tudingan itu terbantahkan. Soal GRK misalnya, pembukaan lahan sawit dari hutan alam atau lahan gambut akan mengeluarkan emisi. Namun, ketimbangoilseedslain, sepertirapeseeddi Eropa atau bunga matahari dan kedelai di AS, emisi sawit lebih kecil sebab sawit menyerap karbon darileaf area indexyang tinggi, efisiensi energiinput-outputtinggi, dan produktivitas hasil yang juga tinggi (Pehnet and Vietze, 2009).
Meski sama-sama monokultur,biodiversitysawit lebih baik ketimbang tanaman monokultur di Uni Eropa (World Growth, 2009). Soal kebakaran hutan/lahan, tak hanya terjadi di Indonesia, tidak spesifik lokasi dan ekosistem. Dari sisi luas hutan/lahan yang terbakar, rentang 2010-2014 AS menempati rerata terluas (491,4 ribu ha/tahun), disusul Australia (233 ribu ha), dan Eropa (202,4 ribu ha). Sedangkan di Indonesia hanya 12,5.000 ha (Kemen LHK, 2015). Kebakaran lahan/hutan di Indonesia terjadi di lahan gambut dan nongambut. Dari 12,5 ribu ha lahan/hutan yang terbakar pada 2010-2014, sebagian besar terjadi di hutan negara (59%) dan HTI (26%). Di konsesi sawit hanya 10%. Data-data ini menunjukkan, kebakaran hutan/lahan tidak selalu terkait perkebunan sawit.
Berbeda dengan RED I, pada RED II dikaitkan dengan perubahan penggunaan lahan tidak langsung (indirect land use change/ILUC). Masalah muncul karenabiodieselberbahan baku bahan pangan/pakan (first biofuel generation) yang tergolonghigh indirect land use change risk, salah satunya sawit, ditiadakan pada 2030.
Instrumen ini dibuat karena untuk memproduksibiodieseldari bahan baku sendiri,rapeseed, Uni Eropa masih kekurangan. Untuk menutupinya, tiap tahun dilakukan impor salah satunya sawit. Pelaksanaan RED akan meningkatkan impor bahan bakubiodiesel. Ini akan mendorong peningkatan produksi bahan bakubiodieseldi negara eksportir, lewat ekspansi areal tanam atau intensifikasi tanaman sehingga berpotensi meningkatkan emisi GRK dunia. Lewat evaluasi emisi ILUC, Uni Eropa ingin memastikan RED II tak mendongkrak emisi GRK.
Kebijakan RED Uni Eropa telah lama jadi perhatian para ahli. Dua pertanyaan mendasar dari ILUC RED adalah,pertama, dalam pelaksanaan RED apakah lebih baik membatasi impor bahan bakubiofuelke Uni Eropa (rezim protektif) seperti selama ini ataukah perdagangan bebas (rezimfree trade).Kedua, di antara bahan bakubiodiesel(first biofuel generation) yang digunakan pada RED Uni Eropa (minyak sawit,rapeseed, kedelai, dan bunga matahari), mana yang paling rendah/menurunkan emisi ILUC?
Studi IFPRI (International Food Policy Research Institute) Eropean Commission (Al-Riffai et al 2010) berjudul “Global Trade and Environmental Impact Study on the EU Biofuels Mandate” (2010) telah menjawab dua pertanyaan itu. ILUC RED Uni Eropa menghasilkan emisi yang berbeda, baik antarbahan bakubiodiesel, rezim perdagangan, maupun efek lahan gambut. Dari empat bahan bakubiodiesel(minyak sawit, kedelai,rapeseed, dan bunga matahari), emisi ILUC minyak sawit paling rendah. Bahkan, emisi netto ILUC minyak sawit menghemat/mengurangi emisi. Sedangkan minyak nabati lain justru meningkatkan emisi. Emisi ILUC RED Uni Eropa umumnya kian rendah jika perdagangan bahan bakubiodieselberubah: dari rezim protektif menjadi rezimfree trade.
Studi ini sebenarnya sudah menjawab kebijakan RED II Uni Eropa. Masalahnya,biofuelbagi Uni Eropa bukan hanya soal emisi, tapi juga soal subsidibiofuelyang besar (sekitar 6-7 miliar euro per tahun). Jika menggunakanbiofuelimpor, masyarakat Uni Eropa menilai langkah ini sama saja menyubsidi negara lain. Di luar itu, rentang 2010-2016, pangsa minyak sawit sebagai bahan bakubiodieseldunia meningkat: dari 22% jadi 31%. Sedangkan pangsa minyakrapeseedmenurun dari 34% jadi 20%, dan pangsa minyak kedelai menurun dari 29% jadi 27%. Khusus untuk Uni Eropa, bahan baku industribiodieselditopang darirapeseed(48,6%), sawit (27,6%), dan kedelai (4,9%). Dalam kurun tahun 2010-2016 pangsa sawit sebagai bahan bakubiodieseldi Uni Eropa meningkat dari 17% jadi 28%. Sedangkan pangsarapeseedmenurun dari 71% menjadi 49%. Tampaknya, penurunan pangsa minyakrapeseeddan peningkatan pangsa minyak sawit dalam bahan bakubiodieselitu jadi dasar berbagai kebijakan protektif Uni Eropa.
Uni Eropa merupakan wilayah tujuan ekspor CPO yang penting, berada pada urutan ketiga setelah India dan China. Rentang waktu 2012-2017, rata-rata surplus neraca perdagangan Indonesia-Uni Eropa mencapai USD 4,54 miliar/tahun. Bila dikurangkan dengan ekspor CPO, rata-rata surplus neraca perdagangan Indonesia-UE mencapai USD 3,68 miliar. Ekspor CPO selama ini memberikan kontribusi USD0,87 miliar per tahun. Dengan kata lain, kontribusi ekspor CPO dalam membantu surplus neraca perdagangan Indonesia berkisar 19%. Peran ekspor CPO dalam enam tahun terakhir semakin besar. Pangsa ekspor CPO meningkat dari 15% menjadi 19%. Karena itu, sikap UE yang kian protektif dan bahkan hendak menghapuskan minyak sawit dari wilayah itu mesti disikapi hati-hati.
Pertama, kebijakan lobi dengan UE merupakan langkah prioritas agar kerja sama yang dibangun menciptakan keuntungan kedua belah pihak. Atase perdagangan, duta besar dan pihak-pihak lain harus membuka semua pintu lobi untuk mencari kesepakatan yangwin-win solution.
Kedua, ritelisasi perdagangan, seperti disarankan Wapres Jusuf Kalla. Sebelum ini ditempuh, perlu dipastikan barang/jasa apa saja yang mesti diritelisasi berikut dampak dan kemungkinan langkah balasan yang ditempuh UE. Dengan begitu, memungkinkan kita memperhitungkan segala sisi, terutama sisi buruknya bagi ekonomi.
Ketiga, membawa kasus ini ke jalur hukum. Ada dua jalan. Indonesia bisa menggugat kebijakan RED II ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO. Lalu, asosiasi industri sawit seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) bisa menggugat kebijakan RED II dan aturan turunannya melalui Mahkamah Eropa (Court of Justice of the European Union/CJEU).
Keempat, mencari pasar nontradisional baru yang prospektif seperti di Pakistan, Yaman, dan Afrika Selatan. Pada saat yang sama, pasar dalam negeri harus digarap dengan serius. Langkah mempercepat pelaksanaanbiodiesel30% (B30) menjadi 2020, pengembangangreen dieseldangreen avturadalah langkah tepat. Selain itu, hilirisasi mesti terus didorong untuk mengurangi ketergantungan yang besar pada pasar ekspor.
TANTANGAN diplomasi minyak kelapa sawit sepertinya tak pernah usai. Tantangan terbaru datang dari Eropa. Komisi Eropa telah meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II) pada 13 Maret 2019. Aturan ini secara bertahap hendak menghapus penggunaanbiofuelberbasis minyak kelapa sawit (CPO) hingga 0% pada 2030. Alasannya, perkebunan kelapa sawit biang deforestasi global besar-besaran, pemicu perubahan peruntukan lahan, dan penyembur emisi gas rumah kaca (GRK) dunia. Jika tak ada keberatan dari Parlemen Eropa dan Dewan Eropa hingga dua bulan setelah RED II diadopsi, aturan ini disahkan.
Sebagai produsen 85% sawit dunia, Indonesia dan Malaysia pantas meradang. Uni Eropa merupakan salah satu wilayah penting penyerap CPO dan produk turunannya. Jikabeleidini mulus dan disahkan, Indonesia dan Malaysia akan kehilangan salah satu pasar potensial. Karena itu, lewat Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit, Malaysia dan Indonesia mencoba meyakinkan para pemangku di Uni Eropa bahwa langkah itu tak adil dan diskriminatif. Delegasi Indonesia dipimpin Menko Perekonomian Darmin Nasution, sedangkan Malaysia diwakili Sekjen Kementerian Industri Primer Tan Yew Chong.
Ini kali kesekian serangan bertubi-tubi terhadap sawit dilancarkan negara-negara maju. Kampanye negatif terhadap sawit sudah dimulai era 1980-an. Mulai dari tudingan sawit mengandung kolesterol, penyebab polusi, merusak lingkungan, mengusir orang hutan, dan penyebab utama deforestasi, penghasil gas rumah kaca, dan biang pemanasan global. Satu per satu tudingan itu terbantahkan. Soal GRK misalnya, pembukaan lahan sawit dari hutan alam atau lahan gambut akan mengeluarkan emisi. Namun, ketimbangoilseedslain, sepertirapeseeddi Eropa atau bunga matahari dan kedelai di AS, emisi sawit lebih kecil sebab sawit menyerap karbon darileaf area indexyang tinggi, efisiensi energiinput-outputtinggi, dan produktivitas hasil yang juga tinggi (Pehnet and Vietze, 2009).
Meski sama-sama monokultur,biodiversitysawit lebih baik ketimbang tanaman monokultur di Uni Eropa (World Growth, 2009). Soal kebakaran hutan/lahan, tak hanya terjadi di Indonesia, tidak spesifik lokasi dan ekosistem. Dari sisi luas hutan/lahan yang terbakar, rentang 2010-2014 AS menempati rerata terluas (491,4 ribu ha/tahun), disusul Australia (233 ribu ha), dan Eropa (202,4 ribu ha). Sedangkan di Indonesia hanya 12,5.000 ha (Kemen LHK, 2015). Kebakaran lahan/hutan di Indonesia terjadi di lahan gambut dan nongambut. Dari 12,5 ribu ha lahan/hutan yang terbakar pada 2010-2014, sebagian besar terjadi di hutan negara (59%) dan HTI (26%). Di konsesi sawit hanya 10%. Data-data ini menunjukkan, kebakaran hutan/lahan tidak selalu terkait perkebunan sawit.
Berbeda dengan RED I, pada RED II dikaitkan dengan perubahan penggunaan lahan tidak langsung (indirect land use change/ILUC). Masalah muncul karenabiodieselberbahan baku bahan pangan/pakan (first biofuel generation) yang tergolonghigh indirect land use change risk, salah satunya sawit, ditiadakan pada 2030.
Instrumen ini dibuat karena untuk memproduksibiodieseldari bahan baku sendiri,rapeseed, Uni Eropa masih kekurangan. Untuk menutupinya, tiap tahun dilakukan impor salah satunya sawit. Pelaksanaan RED akan meningkatkan impor bahan bakubiodiesel. Ini akan mendorong peningkatan produksi bahan bakubiodieseldi negara eksportir, lewat ekspansi areal tanam atau intensifikasi tanaman sehingga berpotensi meningkatkan emisi GRK dunia. Lewat evaluasi emisi ILUC, Uni Eropa ingin memastikan RED II tak mendongkrak emisi GRK.
Kebijakan RED Uni Eropa telah lama jadi perhatian para ahli. Dua pertanyaan mendasar dari ILUC RED adalah,pertama, dalam pelaksanaan RED apakah lebih baik membatasi impor bahan bakubiofuelke Uni Eropa (rezim protektif) seperti selama ini ataukah perdagangan bebas (rezimfree trade).Kedua, di antara bahan bakubiodiesel(first biofuel generation) yang digunakan pada RED Uni Eropa (minyak sawit,rapeseed, kedelai, dan bunga matahari), mana yang paling rendah/menurunkan emisi ILUC?
Studi IFPRI (International Food Policy Research Institute) Eropean Commission (Al-Riffai et al 2010) berjudul “Global Trade and Environmental Impact Study on the EU Biofuels Mandate” (2010) telah menjawab dua pertanyaan itu. ILUC RED Uni Eropa menghasilkan emisi yang berbeda, baik antarbahan bakubiodiesel, rezim perdagangan, maupun efek lahan gambut. Dari empat bahan bakubiodiesel(minyak sawit, kedelai,rapeseed, dan bunga matahari), emisi ILUC minyak sawit paling rendah. Bahkan, emisi netto ILUC minyak sawit menghemat/mengurangi emisi. Sedangkan minyak nabati lain justru meningkatkan emisi. Emisi ILUC RED Uni Eropa umumnya kian rendah jika perdagangan bahan bakubiodieselberubah: dari rezim protektif menjadi rezimfree trade.
Studi ini sebenarnya sudah menjawab kebijakan RED II Uni Eropa. Masalahnya,biofuelbagi Uni Eropa bukan hanya soal emisi, tapi juga soal subsidibiofuelyang besar (sekitar 6-7 miliar euro per tahun). Jika menggunakanbiofuelimpor, masyarakat Uni Eropa menilai langkah ini sama saja menyubsidi negara lain. Di luar itu, rentang 2010-2016, pangsa minyak sawit sebagai bahan bakubiodieseldunia meningkat: dari 22% jadi 31%. Sedangkan pangsa minyakrapeseedmenurun dari 34% jadi 20%, dan pangsa minyak kedelai menurun dari 29% jadi 27%. Khusus untuk Uni Eropa, bahan baku industribiodieselditopang darirapeseed(48,6%), sawit (27,6%), dan kedelai (4,9%). Dalam kurun tahun 2010-2016 pangsa sawit sebagai bahan bakubiodieseldi Uni Eropa meningkat dari 17% jadi 28%. Sedangkan pangsarapeseedmenurun dari 71% menjadi 49%. Tampaknya, penurunan pangsa minyakrapeseeddan peningkatan pangsa minyak sawit dalam bahan bakubiodieselitu jadi dasar berbagai kebijakan protektif Uni Eropa.
Uni Eropa merupakan wilayah tujuan ekspor CPO yang penting, berada pada urutan ketiga setelah India dan China. Rentang waktu 2012-2017, rata-rata surplus neraca perdagangan Indonesia-Uni Eropa mencapai USD 4,54 miliar/tahun. Bila dikurangkan dengan ekspor CPO, rata-rata surplus neraca perdagangan Indonesia-UE mencapai USD 3,68 miliar. Ekspor CPO selama ini memberikan kontribusi USD0,87 miliar per tahun. Dengan kata lain, kontribusi ekspor CPO dalam membantu surplus neraca perdagangan Indonesia berkisar 19%. Peran ekspor CPO dalam enam tahun terakhir semakin besar. Pangsa ekspor CPO meningkat dari 15% menjadi 19%. Karena itu, sikap UE yang kian protektif dan bahkan hendak menghapuskan minyak sawit dari wilayah itu mesti disikapi hati-hati.
Pertama, kebijakan lobi dengan UE merupakan langkah prioritas agar kerja sama yang dibangun menciptakan keuntungan kedua belah pihak. Atase perdagangan, duta besar dan pihak-pihak lain harus membuka semua pintu lobi untuk mencari kesepakatan yangwin-win solution.
Kedua, ritelisasi perdagangan, seperti disarankan Wapres Jusuf Kalla. Sebelum ini ditempuh, perlu dipastikan barang/jasa apa saja yang mesti diritelisasi berikut dampak dan kemungkinan langkah balasan yang ditempuh UE. Dengan begitu, memungkinkan kita memperhitungkan segala sisi, terutama sisi buruknya bagi ekonomi.
Ketiga, membawa kasus ini ke jalur hukum. Ada dua jalan. Indonesia bisa menggugat kebijakan RED II ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO. Lalu, asosiasi industri sawit seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) bisa menggugat kebijakan RED II dan aturan turunannya melalui Mahkamah Eropa (Court of Justice of the European Union/CJEU).
Keempat, mencari pasar nontradisional baru yang prospektif seperti di Pakistan, Yaman, dan Afrika Selatan. Pada saat yang sama, pasar dalam negeri harus digarap dengan serius. Langkah mempercepat pelaksanaanbiodiesel30% (B30) menjadi 2020, pengembangangreen dieseldangreen avturadalah langkah tepat. Selain itu, hilirisasi mesti terus didorong untuk mengurangi ketergantungan yang besar pada pasar ekspor.
(mhd)