Paradoks Pembangunan dan Pembangunan yang (Belum) Merata

Senin, 06 Mei 2019 - 09:15 WIB
Paradoks Pembangunan dan Pembangunan yang (Belum) Merata
Paradoks Pembangunan dan Pembangunan yang (Belum) Merata
A A A
Taufan Hariyadi
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina

SUDAH lama pembangunan di Indonesia banyak terfokus di Pulau Jawa. Jawa sedemikian diperhatikan hingga menjadi barometer ekonomi dan pembangunan di Indonesia. Akibatnya Indonesia seolah mengerucut menjadi Jawa dan Jawa adalah Jakarta. Pulau Jawa pun menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang, mengadu nasib, kemudian memilih tinggal dan menetap. Konsekuensinya, tingkat kebutuhan di Pulau Jawa semakin tinggi. Kebutuhan listrik, BBM, proyek jalan tol, sarana transportasi, hingga pembuatan bandara baru.

Masalah lain muncul di balik pembangunan itu. Saat Tol Trans Jawa dibangun, ada ribuan hektare sawah hilang dan beralih fungsi, demikian pula saat pembangunan bandara baru. Bahkan pertumbuhan perumahan baru di Pulau Jawa tak jarang menggunakan lahan sawah produktif. Lahan sawah hilang tak tergantikan, pertumbuhan penduduk meningkat. Inilah potret paradoks pembangunan di Pulau Jawa.

Mengapa pindah ibu kota penting? Luas Pulau Jawa sekitar 138.000 kilometer persegi, 7% dari luas NKRI, namun dihuni 58% penduduk Indonesia atau sekitar 150 juta jiwa. Sementara luas DKI Jakarta hanya 661 kilometer persegi dan dihuni 10,37 juta jiwa (data tahun 2017). Ini berarti ada sekitar 15.600 orang per 1 kilometer persegi di Jakarta. Bayangkan jika ribuan orang itu berdiri bersamaan dalam 1 kilometer persegi, maka satu orang akan menggendong dua orang di atasnya. Belum lagi warga sekitar Jakarta yang beraktivitas di ibu kota. Betapa padatnya Pulau Jawa dan wilayah DKI bukan?

Dalam Visi Indonesia 2033 yang digagas oleh sejumlah akademisi, setidaknya ada enam alasan mengapa ibu kota Indonesia harus pindah. Salah satunya mencoba menghentikan paradoks pembangunan yang selama ini diselesaikan dengan program parsial, seperti transmigrasi, pembangunan daerah tertinggal, pembangunan kawasan timur Indonesia yang terbukti gagal menciptakan pembangunan berkeadilan dan merata. Bandingkan tingkat pertumbuhan pembangunan di Jawa dengan Papua, sangat tidak imbang bukan? Dilihat dari perspektif manapun, pembangunan di Papua jauh tertinggal dari Pulau Jawa.

Saat pemerintah memindahkan ibu kota negara, persoalannya adalah siapa yang akan mengawal dan mengawasi secara politik proyek supermegah ini? Proyek ini akan berjalan dan diselesaikan dalam beberapa tahun. Jangan sampai muncul ruang bagi oknum pejabat dan oknum politisi yang melihat kebijakan ini sebagai "proyek" baru untuk korupsi. Jika anggaran pindah ibu kota diambil dari APBN multiyears, maka eksekutif dan legislatif harus benar-benar menjamin serta mengawasi agar tidak terjadi "bancakan" anggaran pembangunan. Sudah banyak catatan di Komisi Pemberantasan Korupsi, bagaimana pejabat dan politisi nakal yang memainkan anggaran pembangunan.

Sekitar 19 tahun lalu, TAP MPR Nomor VII/2001 menyebutkan, Visi Indonesia 2020 adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, adil, sejahtera, maju, dan mandiri dalam penyelenggaraan negara. Maka itu, kebijakan pindah ibu kota negara bisa jadi pintu masuk untuk memeratakan pembangunan dan kesejahteraan yang saat ini belum merata. Plato dalam Republik (2018) menulis, pemerintahan tidak mengurus kepentingannya sendiri, mereka memerintah dan mengurus kepentingan rakyatnya yang lebih lemah, bukan untuk kepentingan orang yang superior.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4075 seconds (0.1#10.140)