Memelihara Iklim Investasi dengan Kepastian Hukum

Senin, 06 Mei 2019 - 08:35 WIB
Memelihara Iklim Investasi...
Memelihara Iklim Investasi dengan Kepastian Hukum
A A A
Herliana, PhD
Peneliti Arbitrase Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

KEPASTIAN
hukum serta dampaknya terhadap bisnis dan investasi selalu menjadi isu hangat dan sempat menjadi diskursus dalam kampanye Pemilihan Presiden 2019. Para pemimpin nasional yang akan muncul dari pesta demokrasi ini masih harus menjawab tantangan pelik ini, terutama mengingat pada 2018 pertumbuhan investasi melambat ke 4% dan investasi asing turun 8,8%.

Kepastian hukum sejatinya bermuara pada rendahnya kepercayaan dunia usaha terhadap peradilan. Ini tecermin dalam survei Ease of Doing Business (EoDB) oleh Bank Dunia secara rutin yang memberikan rapor Indeks Kualitas Proses Peradilan dari pandangan pelaku bisnis. Dalam survei EoDB 2019, ketika peringkat Indonesia turun dari 72 ke 73, Indeks Kualitas Proses Peradilan hanya mendapat skor 8 (skala 0-18) untuk empat indikator, yaitu struktur peradilan dan perkara, manajemen perkara, otomasi peradilan, dan penyelesaian sengketa alternatif.

Menariknya, hanya indikator keempat yang mendapat skor lumayan, yaitu 2,5 (skala 0-3) yang di dalamnya arbitrase mendapat skor maksimal 1,5 dan mediasi 1. Kesan yang muncul, dunia usaha sangat memercayai proses arbitrase di Indonesia. Meski demikian Indonesia masih dipersepsikan sebagai negara yang arbitration-unfriendly meskipun sudah banyak kemajuan sejak UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) diundangkan 20 tahun lalu.

Ada dua ganjalan utama yang menghambat hilangnya persepsi negatif itu. Pertama , UU Arbitrase tidak mengadopsi UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration . Kedua , yang paling penting, masih mudahnya pengadilan campur tangan terhadap sengketa yang menjadi yurisdiksi arbitrase.

Sebagai anggota World Trade Organization (WTO) dan peratifikasi konvensi internasional mengenai arbitrase seperti konvensi ICSID dan konvensi New York, Indonesia memiliki kewajiban menjamin kepastian hukum untuk menunjang kegiatan bisnis dan investasi. Salah satu bentuknya menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Arbitrase menjadi sangat krusial karena proses litigasi melalui pengadilan untuk menyelesaikan sengketa bisnis dinilai tidak efektif. Selain proses pengadilan yang lama, sifatnya yang terbuka untuk umum dan ketidakmampuan hakim dalam memahami kompleksitas dunia bisnis menjadi alasan pelaku bisnis memilih jalur arbitrase. Sayangnya kebutuhan akan arbitrase ini tidak diimbangi dengan ketaatan pengadilan terhadap prinsip-prinsip arbitrase.

UU Arbitrase secara tegas menyatakan eksklusivitas yurisdiksi arbitrase. Pasal 3 menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat arbitrase. Lebih lanjut, Pasal 11 ayat 1 menyebutkan bahwa adanya perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak membawa sengketa mereka ke pengadilan dan karenanya ayat 2 mewajibkan pengadilan untuk menolak memeriksa perkara tersebut.

Akan tetapi ada saja pihak yang berusaha menghindari proses arbitrase atau tidak mau melaksanakan putusan arbitrase yang menggunakan berbagai cara untuk meniadakan kewenangan arbitrase dan bahkan berupaya membatalkan putusan arbitrase melalui pengadilan. Upaya menghindari arbitrase dilakukan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan menggunakan dalil bahwa suatu perkara tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase (non-arbitrabl e) karena masuk kategori perbuatan melawan hukum.

Hal ini mengakibatkan munculnya yurisdiksi pengadilan negeri untuk menyelesaikan sengketa yang di dalamnya justru terikat dengan klausul arbitrase. Adapun upaya menghindari putusan arbitrase dilakukan oleh pihak yang kalah dalam bentuk gugatan pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan.

Maraknya Pembatalan Arbitrase
Dalam banyak kasus, pengadilan negeri menyatakan berwenang memeriksa dan mengadili perkara meskipun sengketa tersebut muncul sebagai akibat adanya perjanjian yang memiliki klausul arbitrase di dalamnya. Data Sekretariat Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menyebut sejak 1993 sampai 2016, sebanyak 15,6% putusan arbitrase diajukan pembatalannya ke pengadilan. Sejak 1977 hingga 2013, terdapat 60 upaya pembatalan putusan arbitrase melalui pengadilan (FH UII, 2018).

Pengadilan membatalkan putusan arbitrase dengan berbagai macam alasan seperti terlihat dalam contoh sengketa antara Perum Peruri dan PT Pura Barutama pada 2004, sengketa antara PT Berkah Karya Bersama (BKB) dan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 2014, dan yang terkini sengketa antara PT Grage Trimitra Usaha (GTU) dan joint operation Shimizu Corporation-PT Hutama Karya (Persero) pada 2018 lalu.

Pengadilan Negeri (PN) Kudus membatalkan putusan arbitrase sengketa antara Peruri dan Pura Barutama dengan alasan adanya cacat hukum. Peruri yang dimenangkan oleh BANI kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Agung dan dikabulkan. Dalam sengketa antara BKB dan TPI, BANI menghukum TPI membayar utang Rp510 miliar kepada BKB. TPI melakukan upaya pembatalan putusan arbitrase ke PN Jakarta Pusat. Majelis hakim PN Jakarta Pusat membatalkan putusan arbitrase BANI dengan alasan bertentangan dengan ketertiban umum.

Pada September 2018, PN Jakarta Selatan membatalkan putusan arbitrase yang memenangkan kontraktor Joint operation Shimizu-HK dengan menghukum pengembang PT GTU membayar ganti rugi lebih dari Rp140 miliar terkait sengketa tagihan pembangunan proyek SIMA Office Tower. Sebagai catatan di bulan yang sama PN Jakarta Selatan juga membatalkan putusan arbitrase yang memenangkan BUMN PT Geodipa Energi melawan PT Bumigas Energi dalam sengketa pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Yang menarik, selain menerima permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh GTU, PN Jakarta Selatan juga menyatakan bahwa perjanjian antara GTU dan Shimizu-Hutama Karya tidak sah karena menggunakan bahasa Inggris tanpa disertai salinan dalam bahasa Indonesia. Mengingat hal ini tidak pernah dimohonkan oleh para pihak yang bersengketa, putusan pengadilan tersebut bisa tergolong ultra petita.

Terhadap pembatalan putusan arbitrase di atas, hakim tampak mencampuradukkan alasan pembatalan yang diatur Pasal 70 UU Arbitrase dengan alasan penolakan eksekuatur (non-eksekuatur ) yang diatur Pasal 62 ayat (2) UU Arbitrase. Padahal, Pasal 70 UU Arbitrase hanya mengatur tiga alasan pembatalan putusan arbitrase, yakni adanya dokumen palsu dalam pemeriksaan arbitrase, ada dokumen menentukan yang disembunyikan, atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat salah satu pihak. Selain tiga alasan tersebut, UU Arbitrase menutup pintu pembatalan putusan arbitrase, termasuk alasan pelanggaran ketertiban umum yang diatur Pasal 62 ayat (2) UU Arbitrase.

Berbagai macam contoh kasus di atas akan meninggalkan pesan kepada investor: arbitrase yang menawarkan cara terbaik penyelesaian sengketa bisnis ternyata putusannya bisa dibatalkan pengadilan dengan berbagai macam alasan. Membiarkan kondisi seperti ini sama saja menguatkan predikat Indonesia sebagai negara yang tidak ramah terhadap arbitrase. Hal ini jelas menghambat upaya Indonesia yang sedang memoles diri sebagai negara tujuan investasi.

Kelebihan arbitrase atas litigasi tidak selayaknya hanya jargon belaka. Menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan, termasuk pimpinan nasional yang baru terpilih dalam pesta demokrasi 2019, untuk menjamin bahwa semua aktivitas bisnis mendapat kepastian hukum. Sudah banyak kajian, salah satunya Constraints to Indonesia's Economic Growth oleh Bank Pembangunan Asia pada 2015, yang menyimpulkan adanya korelasi positif antara proses penegakan hukum dan pembangunan ekonomi (Abiyoso, 2018).
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0766 seconds (0.1#10.140)