Teror Sri Lanka dan Spirit Memperjuangkan Damai

Selasa, 23 April 2019 - 06:39 WIB
Teror Sri Lanka dan...
Teror Sri Lanka dan Spirit Memperjuangkan Damai
A A A
Tom Saptaataja
Teolog dan Kolumnis

KEMANUSIAAN kembali terluka oleh kebiadaban terorisme. Belum kering air mata para korban teror di dua masjid di Kota Christchurh pada Jumat berdarah 15 Maret lalu, teror mengguncang Sri Lanka, Minggu (21/4). Jika di Selandia Baru ke-50 korban teror yang tewas adalah umat Islam yang tengah menunaikan salat Jumat di dua masjid, para korban di Sri Lanka adalah umat kristiani yang tengah merayakan Hari Raya Paskah di tiga gereja.

Jumlah korban tewas di Sri Lanka mencapai 207 orang, beberapa di antaranya warga asing, termasuk warga Amerika Serikat dan Inggris. Sementara korban luka mencapai 450 orang. Kementerian Luar Negeri Indonesia memastikan tak ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban, sebagaimana rilis KBRI Kolombo, Minggu (21/4).

Gereja St Anthony menjadi lokasi pertama penyerangan, disusul Gereja St Sebastian di Negombo, utara Kolombo, dan gereja di wilayah Batticalo, timur Kolombo. Ledakan terjadi ketika para jemaat sedang melaksanakan kebaktian Hari Paskah. Bom berikutnya menyerang tiga hotel, yaitu di Hotel Shangri-La Colombo, Kingsbury Hotel, dan Cinnamon Grand Colombo.

Jika Selandia Baru sebagai negara teraman di dunia di posisi ketiga (di bawah Islandia dan Denmark) masih menjadi sasaran teror, Sri Lanka adalah negeri yang punya catatan kelam akibat perang, kerasan, teror, dan konflik antaretnis.

Jumlah penduduk Sri Lanka mencapai 22,4 juta (2017). Sekitar 69% populasi adalah Suku Sinhala yang mayoritas beragama Buddha. Kelompok besar lainnya adalah Suku Tamil, yang mayoritas beragama Hindu 15%, dan tinggal di sebelah utara dan timur. Sementara 10% Islam dan 7% Kristen.

Sri Lanka mengalami sejarah konflik antaretnis, yakni mayoritas Sinhala dan minoritas Tamil sejak era kolonial Inggris. Kita tentu ingat beragam aksi kelompok militan Pembebasan Macam Tamil Eelam (LTTE) yang terbentuk pada 1976. Mereka menyerukan negara terpisah "Eelam" meliputi wilayah di utara dan sebelah timur dari Sri Lanka.

Aksi kekerasan sporadis juga kerap terjadi di Sri Lanka. Seorang sopir mobil van di Kota Kandy, Sri Lanka, 22 Februari 2018 tahun lalu dianiaya oleh empat pemuda muslim karena ribut soal insiden kecelakaan. Sopir dari etnis Sinhala itu akhirnya meninggal di rumah sakit. Keesokan harinya massa dari kelompok Buddha ekstremis menyerang warga muslim dan membakar toko, rumah, serta sebuah masjid hingga menewaskan seorang pria.

Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok-kelompok Buddhis garis keras seperti Bodu Bala Sena (BBS) atau dikenal sebagai Kekuatan Buddha telah dituduh menggerakkan kebencian sektarian di Sri Lanka, sedangkan dari Islam adalah NTJ (National Thowheeth Jama'ath), kelompok radikal yang sudah diketahui keberadaannya sejak 2018. Sementara terkait serangan ke tiga gereja tersebut, setidaknya 13 orang telah ditangkap oleh pihak berwenang Sri Lanka (SINDOnews.com, 22/4).

Begitulah, masalah terorisme dewasa menjadi kian rumit karena para teroris suka mengaitkan aksinya dengan agama. Ini terjadi di semua agama, sebagaimana ditulis John W. Morehead dalam bukunya "Armageddon Enters the New Age of Terroism: A Commentary on Terrorisme and Religon" (September 2001).

Apalagi, kita perlu sungguh menyadari bahwa sesungguhnya perlawanan menghadapi terorisme terkait agama itu sudah memasuki kawasan konflik gagasan atau adu kekuatan untuk merebut hati dan pikiran banyak orang.

Oleh karena itu, kita yang masih punya nurani kemanusiaan, kita perlu bersinergi dan menjadikan terorisme sebagai musuh bersama bagi kemanusiaan. Apalagi, terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa yang menyebabkan penderitaan bagi para korban dan keluarganya. Aksi para teroris di mana pun, termasuk di Sri Lanka, jelas sangat keji dan biadab.

Kekejian dan kebiadaban itu seolah membenarkan pendapat Robert Ardrey. Dalam bukunya "African Genesis", Ardrey menyatakan bahwa "manusia adalah binatang buas yang naluri alamiahnya adalah membunuh dengan senjata".

Maka, terkait terorisme yang membajak agama, kita harus mampu membedakan mana yang terorisme dan mana yang agama. Bedanya, terlihat dari hasil akhir. Lihatlah apa yang dihasilkan para teroris? Hanya kehancuran manusia, baik si pelaku maupun para korban yang sering kali tidak tahu apa-apa dan tidak terkait dengan aspirasi perjuangan para teroris. Jadi, kita bisa melihat sendiri bahwa hasil akhir terorisme itu benar-benar antikemanusian dan perdamaian, meskipun mereka melakukan itu konon demi perjuangan agama, bahkan Tuhan.

Maka, menolak terorisme dan segala aksinya berarti kita harus kembali kepada esensi sejati dari agama. Esensi agama apa pun sejatinya selalu membawa pesan damai dan menghargai kehidupan, baik kehidupan kita sendiri maupun sesama. Ajakan teroris yang memuja kekerasan dan altar kematian harus tegas kita tolak.

Apalagi, jika kita menggali pesan semua agama, kita akan mendapatkan pesan yang sama bahwa kehidupan harus dihargai, bukan malah dilecehkan. Islam berpesan: Tidak seorang di antara kamu bisa disebut orang beriman jika dia tidak mencintai saudaranya seperti dirinya sendiri (The Forty-Two Traditions of An-Nawawi).

Senada dengan Islam, agama Kristen seperti bisa dibaca dalam keempat Injil juga punya pesan: "Tuhan adalah pengasih, bukan pembenci; Tuhan adalah penyayang kehidupan bukan kematian, pecintai damai bukan perang".

Sewaktu bertemu Paus Fransiskus di Vatikan, 8 November 2017, Imam Besar Al Azhar Sheikh Ahmad al-Tayyeb menyatakan: "Kita perlu berdiri sama, bergandengan tangan, untuk membawa kebahagiaan pada kemanusiaan. Agama-agama mulia bertujuan membuat orang bahagia, bukan untuk membuat orang menderita." (Vatican New , 8/11/2017).

Berkaca dari Sri Lanka dan Selandia Baru, negeri kita jelas harus tetap waspada atas berbagai ancaman teror. Sebab, sejak 2000 silam, negeri kita juga kerap menjadi sasaran terorisme. Kita tentu masih ingat Tragedi Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang. Yang tragis malah ada sekuelnya, yaitu Bom Bali II pada 1 Oktober 2005 yang menewaskan 22 orang dan 102 lainnya luka-luka.

Jangan lupa pula kondisi damai di mana pun sangat mudah atau rentan untuk dirusak. Jadi, perlu semangat tanpa lelah untuk terus memperjuangkan perdamaian. Akhirnya terkait upaya memperjuangkan perdamaian, mari renungkan pesan Paus berikut:

"Kita masing-masing dipanggil untuk menjadi seorang perajin perdamaian dengan menyatukan dan tidak memecah-belah, dengan memadamkan kebencian dan tidak berpaut padanya, dengan membuka jalan untuk dialog dan bukan dengan membangun tembok-tembok baru! Mari kita berdialog dan saling bertemu dalam rangka membangun sebuah budaya dialog di dunia, sebuah budaya perjumpaan!" (Paus Fransiskus, kepada para peserta dalam pertemuan Internasional untuk Perdamaian, 30 September 2013)".
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9072 seconds (0.1#10.140)