Max Havelaar, Sejarah, dan Pilpres
A
A
A
Sarkawi B Husain
Penikmat Film dan Pengajar di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
BEBERAPA minggu lalu, saya menjadi salah seorang pembicara dalam pemutaran dan diskusi film Max Havelaar yang digagas kawan-kawan di Universitas Airlangga (Unair). Film ini mendapat penghargaan di beberapa festival film dunia, seperti Festival Film Teheran (1976), Festival Film Napels (1976), Festival Film Bodil Eropa (1981), dan film terbaik dalam Festival Film Denmark. Dengan prakarsa kawan-kawan Matahari Society, film yang pernah dilarang di Indonesia sampai 1987 ini ditayangkan kembali untuk pertama kalinya dalam Festival Seni Surabaya (FSS) pada 10 Juni 2008.
Pemutaran film ini menjadi sangat signifikan mengingat tahun ini bangsa kita sedang melangsungkan sebuah hajatan penting, yakni pemilihan DPR, DPD, DPRD, dan presiden. Beberapa hari setelah pemilu, kita juga memperingati Hari Kartini. Film ini mengajarkan banyak hal mulai dari humanisme yang tidak mengenal ras, penindasan di bawah bangsa sendiri, dan kedahsyatan sebuah buku. Tulisan ini melihat secara singkat konteks sejarahnya dan pelajaran apa yang bisa dipetik darinya, terutama dalam menyongsong pemilihan presiden yang tinggal hitungan hari.
Max Havelaar dan Bupati Lebak
Film yang diadaptasi dari buku Max Havelaar ini paling tidak hendak menceritakan dua hal. Pertama , pertentangan antara Asisten Residen Max Havelaar dengan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara (seorang kepala wilayah Sunda yang terhormat dan berpengaruh karena keturunannya tinggi). Sebagai asisten residen yang baru, sesaat setelah tiba di Rangkasbitung, Max Havelaar melihat Lebak hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan karena diperas oleh bupati dan keluarganya, terutama menantunya yang menjabat sebagai Demang Parangkujang. Dia menilai bupati telah melakukan pemerasan terhadap rakyat (knevelarijn ). Cerita tentang Saijah dan Adinda, baik dalam buku maupun film, mewakili kesengsaraan rakyat di bawah Pemerintah Belanda yang hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Kedua , Max Havelaar juga menentang "Indische Baten", suatu keuntungan yang dinikmati Belanda dari Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel ). Sistem yang diperkenalkan oleh van den Bosch tahun 1830 ini mewajibkan penduduk menyediakan sejumlah hasil bumi untuk ekspor yang nilainya sama dengan pajak tanah. Menurut prakiraan, penduduk harus menyerahkan 2/5 dari hasil panen utamanya atau sebagai penggantinya 1/5 dari waktu kerjanya dalam satu tahun.
Tulang punggung sistem ini adalah kaum bangsawan feodal sehingga posisinya yang lama harus dikembalikan agar pengaruh mereka bisa dipergunakan untuk menggerakkan rakyat, memperbesar produksi, dan menjalankan pekerjaan yang diminta pemerintah. Tahun 1860 keuntungan tanam paksa 34% atau lebih dari sepertiga seluruh pendapatan negeri Belanda. Keuntungan ini dipakai untuk membangun sistem perkeretaapian, terusan laut utara, dan membayar utang nasional. "Bangsa kita membangun jaringan kereta api dengan uang curian," kata Havelaar.
Selain itu, van den Bosch mendorong para pegawai (termasuk para bupati) untuk menyukseskan perkebunan-perkebunan dengan merangsang mereka lewat sistem persentase. Sistem ini memang efisien, tetapi menjadi sumber korupsi dan penyelewengan. Sistem ini dianggap sebagai legalisasi pemerintah kolonial terhadap segala macam pemerasan.
Posisi Bupati Lebak yang ambigu sangat berkaitan dengan sistem pemerintahan kolonial Belanda yang menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung. Dalam diri bupati terjadi konflik peranan dalam person yang sama, yaitu sebagai pegawai Belanda dan sebagai kepala rakyat serta kepala keluarga. Sebagai pegawai Belanda, dia memperoleh gaji sebesar f700/bulan (tidak cukup sama sekali). Akan tetapi, sebagai pemimpin lokal, dia harus menghidupi ±200 anggota keluarga, harus merayakan 4 hari raya Islam, karena pada saat peringatan tersebut harus menyediakan berbagai macam hadiah, harus menyediakan penginapan bagi perwira Belanda yang melaksanakan perjalanan dinas ke daerahnya.
Dalam jangka panjang, buku Max Havelaar memiliki pengaruh sangat kuat atas pendapat umum di negeri Belanda. Profesor Fasseur (Leiden University) misalnya, mengatakan seluruh negeri menggigil ketika membaca tentang penindasan yang berlangsung di Jawa ditulis dalam buku itu. Salah satu paling terkenal di Indonesia adalah C.Th. van Deventer (perumus politik etis dan ahli hukum). Setelah membaca buku Max Havelaar , dia memutuskan pergi ke Hindia Belanda ketika berusia 15 tahun. Pada 1899, van Deventer menerbitkan artikel dalam majalah De Gids "Een Eereschuld" (suatu utang kehormatan): "Negeri Belanda berhutang pada bangsa Indonesia terhadap semua kekayaan yang telah diperas dari negara mereka".
Pelajaran Berharga
Lalu, apa signifikansinya dengan pemilihan presiden yang sebentar lagi digelar? Pertama , film ini mengandung banyak pelajaran, terutama contoh buruk dari seorang pemimpin yang melakukan eksploitasi terhadap rakyatnya. Film diangkat dari realitas Indonesia pada abad ke-19 ini menjadi cermin betapa rakyat setiap hari membanting tulang mencari penghidupan yang layak harus jatuh miskin dan melarat akibat pemimpin yang menjadikannya sapi perahan. Kedua , seorang pemimpin seperti Max Havelaar tidak menjadikan jabatannya sebagai jalan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat yang dipimpinnya. Sebaliknya, dia rela malam-malamnya diganggu oleh masyarakat yang hendak melaporkan penindasan yang terjadi. Ketiga , film ini menyadarkan kita betapa banyak calon pemimpin yang berlindung di balik keluguan rakyat. Alih-alih memperjuangkan kesejahteraan rakyat, banyak pemimpin justru memanfaatkan rakyat yang dipimpinnya untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya. Keempat , film ini juga memperlihatkan sejumlah pesta dan jamuan kepada pejabat yang datang ke daerah menjadi salah satu pintu masuk terjadinya banyak praktik korupsi. Sebuah kenyataan yang sangat mudah ditemui saat ini. Semoga Pemilu 17 April 2019 melahirkan pemimpin yang amanah dan berpihak pada rakyat.
Penikmat Film dan Pengajar di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
BEBERAPA minggu lalu, saya menjadi salah seorang pembicara dalam pemutaran dan diskusi film Max Havelaar yang digagas kawan-kawan di Universitas Airlangga (Unair). Film ini mendapat penghargaan di beberapa festival film dunia, seperti Festival Film Teheran (1976), Festival Film Napels (1976), Festival Film Bodil Eropa (1981), dan film terbaik dalam Festival Film Denmark. Dengan prakarsa kawan-kawan Matahari Society, film yang pernah dilarang di Indonesia sampai 1987 ini ditayangkan kembali untuk pertama kalinya dalam Festival Seni Surabaya (FSS) pada 10 Juni 2008.
Pemutaran film ini menjadi sangat signifikan mengingat tahun ini bangsa kita sedang melangsungkan sebuah hajatan penting, yakni pemilihan DPR, DPD, DPRD, dan presiden. Beberapa hari setelah pemilu, kita juga memperingati Hari Kartini. Film ini mengajarkan banyak hal mulai dari humanisme yang tidak mengenal ras, penindasan di bawah bangsa sendiri, dan kedahsyatan sebuah buku. Tulisan ini melihat secara singkat konteks sejarahnya dan pelajaran apa yang bisa dipetik darinya, terutama dalam menyongsong pemilihan presiden yang tinggal hitungan hari.
Max Havelaar dan Bupati Lebak
Film yang diadaptasi dari buku Max Havelaar ini paling tidak hendak menceritakan dua hal. Pertama , pertentangan antara Asisten Residen Max Havelaar dengan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara (seorang kepala wilayah Sunda yang terhormat dan berpengaruh karena keturunannya tinggi). Sebagai asisten residen yang baru, sesaat setelah tiba di Rangkasbitung, Max Havelaar melihat Lebak hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan karena diperas oleh bupati dan keluarganya, terutama menantunya yang menjabat sebagai Demang Parangkujang. Dia menilai bupati telah melakukan pemerasan terhadap rakyat (knevelarijn ). Cerita tentang Saijah dan Adinda, baik dalam buku maupun film, mewakili kesengsaraan rakyat di bawah Pemerintah Belanda yang hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Kedua , Max Havelaar juga menentang "Indische Baten", suatu keuntungan yang dinikmati Belanda dari Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel ). Sistem yang diperkenalkan oleh van den Bosch tahun 1830 ini mewajibkan penduduk menyediakan sejumlah hasil bumi untuk ekspor yang nilainya sama dengan pajak tanah. Menurut prakiraan, penduduk harus menyerahkan 2/5 dari hasil panen utamanya atau sebagai penggantinya 1/5 dari waktu kerjanya dalam satu tahun.
Tulang punggung sistem ini adalah kaum bangsawan feodal sehingga posisinya yang lama harus dikembalikan agar pengaruh mereka bisa dipergunakan untuk menggerakkan rakyat, memperbesar produksi, dan menjalankan pekerjaan yang diminta pemerintah. Tahun 1860 keuntungan tanam paksa 34% atau lebih dari sepertiga seluruh pendapatan negeri Belanda. Keuntungan ini dipakai untuk membangun sistem perkeretaapian, terusan laut utara, dan membayar utang nasional. "Bangsa kita membangun jaringan kereta api dengan uang curian," kata Havelaar.
Selain itu, van den Bosch mendorong para pegawai (termasuk para bupati) untuk menyukseskan perkebunan-perkebunan dengan merangsang mereka lewat sistem persentase. Sistem ini memang efisien, tetapi menjadi sumber korupsi dan penyelewengan. Sistem ini dianggap sebagai legalisasi pemerintah kolonial terhadap segala macam pemerasan.
Posisi Bupati Lebak yang ambigu sangat berkaitan dengan sistem pemerintahan kolonial Belanda yang menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung. Dalam diri bupati terjadi konflik peranan dalam person yang sama, yaitu sebagai pegawai Belanda dan sebagai kepala rakyat serta kepala keluarga. Sebagai pegawai Belanda, dia memperoleh gaji sebesar f700/bulan (tidak cukup sama sekali). Akan tetapi, sebagai pemimpin lokal, dia harus menghidupi ±200 anggota keluarga, harus merayakan 4 hari raya Islam, karena pada saat peringatan tersebut harus menyediakan berbagai macam hadiah, harus menyediakan penginapan bagi perwira Belanda yang melaksanakan perjalanan dinas ke daerahnya.
Dalam jangka panjang, buku Max Havelaar memiliki pengaruh sangat kuat atas pendapat umum di negeri Belanda. Profesor Fasseur (Leiden University) misalnya, mengatakan seluruh negeri menggigil ketika membaca tentang penindasan yang berlangsung di Jawa ditulis dalam buku itu. Salah satu paling terkenal di Indonesia adalah C.Th. van Deventer (perumus politik etis dan ahli hukum). Setelah membaca buku Max Havelaar , dia memutuskan pergi ke Hindia Belanda ketika berusia 15 tahun. Pada 1899, van Deventer menerbitkan artikel dalam majalah De Gids "Een Eereschuld" (suatu utang kehormatan): "Negeri Belanda berhutang pada bangsa Indonesia terhadap semua kekayaan yang telah diperas dari negara mereka".
Pelajaran Berharga
Lalu, apa signifikansinya dengan pemilihan presiden yang sebentar lagi digelar? Pertama , film ini mengandung banyak pelajaran, terutama contoh buruk dari seorang pemimpin yang melakukan eksploitasi terhadap rakyatnya. Film diangkat dari realitas Indonesia pada abad ke-19 ini menjadi cermin betapa rakyat setiap hari membanting tulang mencari penghidupan yang layak harus jatuh miskin dan melarat akibat pemimpin yang menjadikannya sapi perahan. Kedua , seorang pemimpin seperti Max Havelaar tidak menjadikan jabatannya sebagai jalan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat yang dipimpinnya. Sebaliknya, dia rela malam-malamnya diganggu oleh masyarakat yang hendak melaporkan penindasan yang terjadi. Ketiga , film ini menyadarkan kita betapa banyak calon pemimpin yang berlindung di balik keluguan rakyat. Alih-alih memperjuangkan kesejahteraan rakyat, banyak pemimpin justru memanfaatkan rakyat yang dipimpinnya untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya. Keempat , film ini juga memperlihatkan sejumlah pesta dan jamuan kepada pejabat yang datang ke daerah menjadi salah satu pintu masuk terjadinya banyak praktik korupsi. Sebuah kenyataan yang sangat mudah ditemui saat ini. Semoga Pemilu 17 April 2019 melahirkan pemimpin yang amanah dan berpihak pada rakyat.
(wib)