Kriminalisasi Kampanye Golput
A
A
A
Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen Departemen Hukum Pidama Fakultas Hukum UGM
VOX populi, vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Adagium tersebut cukup menggambarkan konsep demokrasi. Sayangnya di Pemilu 2019 ini sempat santer tersebar kampanye-kampanye golput (golongan putih) atau ajakan untuk tidak memilih. Sempat timbul kekhawatiran bahwa angka golput pada Pemilu 2019 akan cukup tinggi. Timbul kemudian pertanyaan, apakah terdapat konsekuensi hukum dalam aksi golput atau bahkan ketentuan pidana mengenai hal tersebut? Artikel ini bermaksud mengkaji bagaimana hukum positif saat ini mengatur tentang golput dan bagaimana seharusnya ke depan.
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mendasari proses Pemilu Presiden, Anggota DPR, DPD, dan DPRD maka tidak banyak pasal yang berkaitan dengan golput. Dengan berbagai ketentuan khusus mengenai pidana pemilu, paling tidak golput berkaitan dengan Pasal 510 dan 515 UU Pemilu. Pasal 510 mengatur "Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak dua puluh empat juta rupiah". Ketentuan ini lebih kepada perbuatan aktif yang dilakukan seseorang di dalam situasi pemilu yang berakibat pada "kehilangan" hak pilihnya seseorang. Ketentuan ini pada dasarnya sangat umum, namun berbentuk delik materiil di mana harus dibuktikan bahwa perbuatan seseorang tersebut benar-benar memiliki akibat terhadap kehilangan hak pilih orang lain. Sebagai contoh jika pada 17 April 2019 seorang pemberi kerja memaksa dan mewajibkan pekerja bekerja selama masa pemilihan tanpa ada izin untuk menggunakan hak pilih maka pemberi kerja dapat dipidana. Namun, ketentuan ini tidak dapat menjerat seseorang yang mengampanyekan gerakan golput, karena pilihan tetap diserahkan kepada orang yang memiliki hak pilih mau menggunakannya atau tidak. Untuk itu kampanye golput tetap tidak dapat dijerat menggunakan pasal ini.
Selain Pasal 510, golput dapat juga berkaitan dengan Pasal 515 di mana memidana "setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya". Ketentuan ini pada dasarnya populer disebut dengan politik uang atau jika dilakukan di pagi hari pada waktu pemungutan suara disebut dengan "serangan fajar". Politik uang dan serangan fajar biasanya dikaitkan dengan "suap" untuk memilih calon tertentu. Namun, dalam UU Pemilu, politik uang bisa dijerat jika itu bermaksud untuk mengarahkan "golput". Namun, syaratnya di sini harus ada pemberian janji atau uang atau materi lainnya. Kampanye golput sebagaimana yang menjadi gerakan saat ini tetap tidak dapat dijerat jika tidak ada pemberian materi apa pun. Oleh karena itu, melihat aturan, baik dalam Pasal 510 dan Pasal 515 UU Pemilu, maka arah pemidanaan terhadap golput memiliki persyaratan yang tidak sederhana sehingga itu belum dapat menjerat gerakan kampanye golput.
Namun, pada Pemilu 2019 ini dikhawatirkan sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya di mana angka golput akan meningkat. Pada Pemilu Presiden 2004, angka golput telah mencapai 21, 8% dan pada Pemilu 2009 mencapai 29,1%. Lalu, pada Pemilu 2014 berkisar pada 30%. Angka-angka tersebut diprediksi akan meningkat pada pemilu kali ini. Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia atau penelitian oleh HICON Law and Strategic diramalkan angka golput di atas 30%. Jika hal ini terus meningkat, demokrasi di Indonesia dapat kehilangan legitimasinya dan dana pemilu yang sangat besar tidak dapat digunakan secara optimal. Hal ini dipertegas dengan terbentuknya gerakan-gerakan golput, seperti Pendukung Dildo (Nurhadi Aldo) dan Milenial Golput.
Bagaimana kondisi ini jika ditinjau dari hak asasi manusia? Berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 setiap orang berhak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil. Kemudian, Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa "Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya". Kemudian pasal ini diperkuat dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang yang sama dengan rumusan "setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum...". Berdasarkan ketentuan tersebut jelas bahwa hak untuk memilih dan memiliki keyakinan politik dijamin oleh konstitusi. Namun, harus dipahami bahwa Berdasarkan Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007 dan berbagai peraturan lainnya, Hak politik (dipilih dan memilih) dapat dibatasi oleh undang-undang. Sebagai contoh, pada Kasus Tindak Pidana Korupsi, Hakim Pengadilan Tipikor dapat mencabut hak politik dari narapidana maksimal lima tahun setelah menjalani pidananya. Hal Ini adalah bentuk pembatasan hak politik sebagaimana diperbolehkan oleh Pasal 28J ayat 2 UUD NRI Tahun 1945. Untuk melindungi hak politik, pembatasan hak politik menjadi penting. Lalu, apakah mungkin membatasi hak memilih dalam konteks golput?
Dalam konteks golput, kita dapat mengambil contoh dari Belgia, Australia, dan negara lainnya yang mengenal konsep compulsory voting di mana datang hadir ke TPS menjadi sebuah kewajiban dan ada sanksi berupa denda administratif jika tidak hadir. Bentuk ini diyakini meningkatkan partisipasi pemilih. Di negara-negara tersebut tidak berpartisipasi dalam pemilihan masuk sebagai perbuatan melawan hukum. Di Indonesia sendiri, sempat pada 2009, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat fatwa haram golput dengan landasan pentingnya terlibat memilih pemimpin. Sebagai negara dengan mayoritas muslim, fatwa MUI ini juga cukup mengundang kontroversi, namun nilai yang diambil adalah bahwa golput memiliki dampak negatif bagi demokrasi.
Selain hal tersebut, yang perlu juga menjadi perhatian adalah kampanye dan gerakan-gerakan golput. Sekalipun hal tersebut adalah sebuah hak, namun jika sudah berupa ajakan perlu pencegahan. Oleh karena itu, golput memang tidak dapat dipidana jika mengacu pada prinsip cogitationis poenam nemo patitur yang bermakna, seseorang tidak dapat dipidana atas apa yang dipikirkannya. Untuk itu, sepanjang golput masih merupakan keyakinan pribadi (forum internum ) tidak dapat dijerat, namun jika hal tersebut sudah menjadi ajakan ke publik atau bersifat forum externum perlu larangan yang tegas. Jika diperbandingkan dengan Undang-Undang Penistaan Agama, tidak beragama bukan merupakan perbuatan pidana. Namun, mengajak orang lain untuk tidak beragama dapat dipidana. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dan selayaknya dibentuk larangan mengajak orang lain golput untuk menjaga dan melindungi demokrasi Indonesia. Untuk saat ini, warga negara Indonesia harus menyadari bahwa golput bukanlah pilihan yang bijak.
Dosen Departemen Hukum Pidama Fakultas Hukum UGM
VOX populi, vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Adagium tersebut cukup menggambarkan konsep demokrasi. Sayangnya di Pemilu 2019 ini sempat santer tersebar kampanye-kampanye golput (golongan putih) atau ajakan untuk tidak memilih. Sempat timbul kekhawatiran bahwa angka golput pada Pemilu 2019 akan cukup tinggi. Timbul kemudian pertanyaan, apakah terdapat konsekuensi hukum dalam aksi golput atau bahkan ketentuan pidana mengenai hal tersebut? Artikel ini bermaksud mengkaji bagaimana hukum positif saat ini mengatur tentang golput dan bagaimana seharusnya ke depan.
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mendasari proses Pemilu Presiden, Anggota DPR, DPD, dan DPRD maka tidak banyak pasal yang berkaitan dengan golput. Dengan berbagai ketentuan khusus mengenai pidana pemilu, paling tidak golput berkaitan dengan Pasal 510 dan 515 UU Pemilu. Pasal 510 mengatur "Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak dua puluh empat juta rupiah". Ketentuan ini lebih kepada perbuatan aktif yang dilakukan seseorang di dalam situasi pemilu yang berakibat pada "kehilangan" hak pilihnya seseorang. Ketentuan ini pada dasarnya sangat umum, namun berbentuk delik materiil di mana harus dibuktikan bahwa perbuatan seseorang tersebut benar-benar memiliki akibat terhadap kehilangan hak pilih orang lain. Sebagai contoh jika pada 17 April 2019 seorang pemberi kerja memaksa dan mewajibkan pekerja bekerja selama masa pemilihan tanpa ada izin untuk menggunakan hak pilih maka pemberi kerja dapat dipidana. Namun, ketentuan ini tidak dapat menjerat seseorang yang mengampanyekan gerakan golput, karena pilihan tetap diserahkan kepada orang yang memiliki hak pilih mau menggunakannya atau tidak. Untuk itu kampanye golput tetap tidak dapat dijerat menggunakan pasal ini.
Selain Pasal 510, golput dapat juga berkaitan dengan Pasal 515 di mana memidana "setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya". Ketentuan ini pada dasarnya populer disebut dengan politik uang atau jika dilakukan di pagi hari pada waktu pemungutan suara disebut dengan "serangan fajar". Politik uang dan serangan fajar biasanya dikaitkan dengan "suap" untuk memilih calon tertentu. Namun, dalam UU Pemilu, politik uang bisa dijerat jika itu bermaksud untuk mengarahkan "golput". Namun, syaratnya di sini harus ada pemberian janji atau uang atau materi lainnya. Kampanye golput sebagaimana yang menjadi gerakan saat ini tetap tidak dapat dijerat jika tidak ada pemberian materi apa pun. Oleh karena itu, melihat aturan, baik dalam Pasal 510 dan Pasal 515 UU Pemilu, maka arah pemidanaan terhadap golput memiliki persyaratan yang tidak sederhana sehingga itu belum dapat menjerat gerakan kampanye golput.
Namun, pada Pemilu 2019 ini dikhawatirkan sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya di mana angka golput akan meningkat. Pada Pemilu Presiden 2004, angka golput telah mencapai 21, 8% dan pada Pemilu 2009 mencapai 29,1%. Lalu, pada Pemilu 2014 berkisar pada 30%. Angka-angka tersebut diprediksi akan meningkat pada pemilu kali ini. Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia atau penelitian oleh HICON Law and Strategic diramalkan angka golput di atas 30%. Jika hal ini terus meningkat, demokrasi di Indonesia dapat kehilangan legitimasinya dan dana pemilu yang sangat besar tidak dapat digunakan secara optimal. Hal ini dipertegas dengan terbentuknya gerakan-gerakan golput, seperti Pendukung Dildo (Nurhadi Aldo) dan Milenial Golput.
Bagaimana kondisi ini jika ditinjau dari hak asasi manusia? Berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 setiap orang berhak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil. Kemudian, Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa "Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya". Kemudian pasal ini diperkuat dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang yang sama dengan rumusan "setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum...". Berdasarkan ketentuan tersebut jelas bahwa hak untuk memilih dan memiliki keyakinan politik dijamin oleh konstitusi. Namun, harus dipahami bahwa Berdasarkan Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007 dan berbagai peraturan lainnya, Hak politik (dipilih dan memilih) dapat dibatasi oleh undang-undang. Sebagai contoh, pada Kasus Tindak Pidana Korupsi, Hakim Pengadilan Tipikor dapat mencabut hak politik dari narapidana maksimal lima tahun setelah menjalani pidananya. Hal Ini adalah bentuk pembatasan hak politik sebagaimana diperbolehkan oleh Pasal 28J ayat 2 UUD NRI Tahun 1945. Untuk melindungi hak politik, pembatasan hak politik menjadi penting. Lalu, apakah mungkin membatasi hak memilih dalam konteks golput?
Dalam konteks golput, kita dapat mengambil contoh dari Belgia, Australia, dan negara lainnya yang mengenal konsep compulsory voting di mana datang hadir ke TPS menjadi sebuah kewajiban dan ada sanksi berupa denda administratif jika tidak hadir. Bentuk ini diyakini meningkatkan partisipasi pemilih. Di negara-negara tersebut tidak berpartisipasi dalam pemilihan masuk sebagai perbuatan melawan hukum. Di Indonesia sendiri, sempat pada 2009, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat fatwa haram golput dengan landasan pentingnya terlibat memilih pemimpin. Sebagai negara dengan mayoritas muslim, fatwa MUI ini juga cukup mengundang kontroversi, namun nilai yang diambil adalah bahwa golput memiliki dampak negatif bagi demokrasi.
Selain hal tersebut, yang perlu juga menjadi perhatian adalah kampanye dan gerakan-gerakan golput. Sekalipun hal tersebut adalah sebuah hak, namun jika sudah berupa ajakan perlu pencegahan. Oleh karena itu, golput memang tidak dapat dipidana jika mengacu pada prinsip cogitationis poenam nemo patitur yang bermakna, seseorang tidak dapat dipidana atas apa yang dipikirkannya. Untuk itu, sepanjang golput masih merupakan keyakinan pribadi (forum internum ) tidak dapat dijerat, namun jika hal tersebut sudah menjadi ajakan ke publik atau bersifat forum externum perlu larangan yang tegas. Jika diperbandingkan dengan Undang-Undang Penistaan Agama, tidak beragama bukan merupakan perbuatan pidana. Namun, mengajak orang lain untuk tidak beragama dapat dipidana. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dan selayaknya dibentuk larangan mengajak orang lain golput untuk menjaga dan melindungi demokrasi Indonesia. Untuk saat ini, warga negara Indonesia harus menyadari bahwa golput bukanlah pilihan yang bijak.
(wib)